2

1431 Words
"Ibu, Nala pulang." Nala menaruh bungkusan plastik berisi makanan ke atas meja makan. Dia selalu mencintai rumah minimalis yang nyaman ini. Menemaninya selama sisa remajanya yang abu-abu sebagai tempat terbaik untuk dia berlari dari kenyataan. Mungkin, anggapannya tidak sesempurna ini. Karena di sini, dia juga mendapatkan luka yang membekas hingga bertahun-tahun lamanya. Dan mungkin, akan selamanya. Nala membuka pintu kamar ibunya. Tersenyum kecil saat dia berjalan, membungkuk di samping kursi roda sang ibu, lalu mengecup pipinya lembut. "Ibu, Nala pulang." Nala melihat ibunya menoleh. Mengembalikan pigura foto masa remaja dirinya bersama sang ibu yang tengah tersenyum di depan gerbang SMA Tokyo. Nala mencintai kenangan itu. "Anakku," dia berujar pelan. Mengusap pipi Nala dan berlalu untuk menatap pintu yang terbuka. Terkejut karena Nala pulang dengan membawa makan malam. "Nala, kau makan malam di sini?" Nala tersenyum. Mengangguk saat dia mengalungkan tangannya pada tubuh ringkih sang ibu. Yang tak lagi seperti dulu. Tidak apa. Tidak apa. Nala tetap menyayangi malaikat tanpa sayap di hidupnya apa adanya. Tidak peduli ibunya tidak memiliki tangan atau terlahir tidak bisa melihat, Nala akan tetap mencintainya. "Ayo, ini kesukaan Ibu." Ibunya tersenyum. Saat Nala mendorong kursi roda itu ke arah meja makan. Dan benar saja, senyumnya melebar menemukan makanan cina yang selama ini ia rindukan ada di atas meja. "Bagaimana?" "Apa kau membelinya di restauran langganan?" Nala mengangguk. Mengikat rambut panjangnya dengan sanggul asal, saat dia kembali dengan dua piring dan segelas teko air putih. "Heem. Ibu pasti merindukannya. Aku sudah berjanji, kan? Aku akan membelikannya." Ibunya tersenyum. Mengulurkan tangan untuk mengusap pipi putri kebanggaannya. Dan saat dia membantu Nala membuka bungkusan, Nala memberikan sumpit bersih untuknya. "Andai saja Ayahmu ada di sini." Nala terdiam. Menarik napas saat dia melirik sang ibu yang masih tersenyum. Bukan itu, bukan itu yang ingin Nala lihat. Senyum kepalsuan yang menghancurkan hatinya selama bertahun-tahun. Nala hanya diam, tidak membalas. Saat mereka berdua berdoa, dan mulai menyuap makanan ke dalam mulut masing-masing. Nala akan membuka percakapan seperti biasa. Menceritakan harinya. Dan sang ibu akan menjadi pendengar terbaik, sembari sesekali tersenyum dan memberikannya jempol atas rasa bangganya pada Nala, putrinya yang terkenal pantang menyerah. Meski luka itu nyaris membunuhnya, Asha Taya benar-benar bersyukur Nala masih ada untuknya. Masih hidup untuknya. "Nala." Tatapan mata Nala jatuh pada telapak tangan yang mulai berkerut itu di atas punggug tangannya. Remasan lembutnya membuat Nala menahan napas. "Di dalam doa Ibu, kau selalu yang utama. Kebahagiaanmu, berdoa agar kau tetap sehat. Berdoa agar putri Ibu selalu bahagia. Agar dia tidak lagi terluka dan menderita. Tuhan mengabulkan doaku, kan?" Nala ingin menangis sekarang. Dia menunduk, memejamkan mata menahan debaran tak terperi yang mulai menikam jantungnya. Nala ingin menjerit, berkata pada sang ibu bahwa dia ... "Ibu yang terbaik. Tuhan akan mengabulkannya karena dia menyayangi Ibu." Nala tidak lagi bisa membendung airmatanya. Menatap Asha Taya yang tersenyum saat setitik airmata lolos dari manik teduhnya. Manik hangat yang membuat Nala bertahan di saat dia hanya ingin tidur, tidur untuk selamanya. "Tuhan juga menyayangi putriku yang cantik ini." Dan Nala tidak tahu harus berkata apa saat dia membiarkan airmatanya tumpah, dan membiarkan sang ibu mengusap pipinya yang basah. *** Nala memiringkan kepala. Menemukan kondisi rumah yang sepi. Saat dia menghela napas, melepas ikatan rambutnya dan berjalan masuk. Rumah ini tentu jauh lebih besar dari rumah mungilnya. Yang dia tempati bersama ibunya. Nala tidak bisa membandingkan betapa luas rumah ini. Rumah yang dia huni bersama seseorang ini jelas bukan tandingan bagi siapa pun. Bahkan, rumah tetangga mereka tidak akan seluas ini. Nala berjalan. Menemukan bungkusan bekas makanan ada di atas meja. Dia mendadak merasa bersalah, menatap hampa pada meja makan yang sepi itu sebelum dia beranjak naik ke lantai dua. Nala bergegas masuk ke dalam kamarnya. Mandi dengan cepat, mengganti pakaiannya dengan pakaian tidurnya. Setelah pulang bekerja besok, dia akan mencuci pakaiannya sendiri. Karena pembantu yang bertugas mencuci pakaian, mengecualikan dirinya. Hanya pakaian Nala yang tidak akan dia cuci. Dan meminta Nala untuk mencuci pakaian miliknya sendiri. Nala sama sekali tidak keberatan. Langkahnya menuruni anak tangga. Dengan sandal rumah yang ia gunakan, Nala berbelok ke arah dapur. Terkesiap menemukan tangan kanan kepercayaan suaminya ada di dapur. "Argi?" Pria berperawakan tinggi besar itu menoleh. Saat dia menghela napas, menaruh dua bungkusan plastik dari supermarket ke atas meja. "Tuan Uchiha memintaku berbelanja. Aku membelikan beberapa kebutuhan kulkas tadi," kata Argi. Matanya menatap Nala lekat. "Nona Nala terlihat lelah. Pergilah untuk tidur." Nala menggeleng pelan. Dia membuka bungkusan plastik itu, melihat apa saja yang Argi beli dari supermarket dan tersenyum. "Kau saja yang beristirahat," kata Nala. "Aku pikir Azda akan kembali besok pagi. Kenapa dia terburu-buru?" Argi terdiam. Matanya yang redup membuat Nala yang menanti jawaban hanya bisa termangu. Dengan senyum menahan pedih, Nala tertawa pelan. "Aku mengerti." Argi tidak sampai hati mengatakannya. Mau bagaimana lagi? Nala adalah istri dari majikannya. Tiga tahun mereka berdua menikah, hanya Argi yang bersikap sopan memanggilnya Nona. Di saat orang di dalam rumah, tidak sama sekali menganggap keberadaannya ada. Nala tampak sibuk menata barang belanjaan yang Argi bawa. Dengan cekatan, dia memisahkan tempat sayuran, bersama buah-buahan. Dan telur juga s**u tawar di rak tertenu. Setelah seleArra, Nala tidak langsung membuang bungkus plastik itu. Dia menyimpannya dalam wadah, untuk digunakan di waktu selanjutnya. Plastik itu tentu berguna, dan membuangnya sama saja menimbun sampah untuk merusak ekosistem tanah. Argi masih berdiam diri di sana. Mengawasi Nala dengan tatapan lirih. Dia ingin mengatakan segalanya, namun sisi sensitifnya sebagai seorang manusia biasa kembali tersentuh. Dia tidak mungkin menyakiti perempuan sebaik ini untuk kesekian kali. "Azda makan dengan baik selama dia di Kanada, kan?" Argi mengangguk. Saat matanya menatap Nala yang sedang membuang sampah dan mencuci piring. Nala kembali membersihkan meja, tersenyum senang saat menilai hasil kerjanya. "Dia tidak minum-minum atau meminum kopi terlalu sering, kan?" Argi menggeleng. Nala mendesah pelan. Saat dia menghentikan kegiatannya, menatap kosong pada permukaan meja yang telah bersih. "Aku merindukannya. Tahukah dia?" Nala menatap Argi dengan senyum di wajahnya. "Dia pasti tidak tahu," kata Nala geli. Menahan pedih di hati. "Azda tidak pernah mau mengangkat telepon dariku. Aku sendiri tidak tahu, apa dia menyimpan nomorku atau tidak." Argi menunduk. Menatap sepatunya sendiri. "Maaf, Nona Nala." "Untuk apa?" Nala menatap Argi ramah. "Kau tidak salah sama sekali. Aku malah berterima kasih padamu. Selama ini, kau yang selalu mengabariku. Kemana pun Azda pergi, kau berbaik hati memberitahuku. Agar aku tidak mencemaskannya. Aku benar, kan?" Argi menatapnya. Tanpa reaksi berarti. Saat dia berpaling, tidak sanggup memandang mata Nala yang jauh lebih terluka. "Aku berdoa yang terbaik untuk kalian berdua. Selamat malam." Nala mendesah pelan. Menatap bayangan Argi yang mulai menjauh. Dia memiliki tempat sendiri di dalam rumah ini, kamar khusus untuknya. Dan Argi tanpa berkomentar banyak, menerimanya dengan lapang d**a. Nala berjalan naik ke atas. Setelah mengganti lampu dan mematikan beberapa lampu agar lampu redup otomatis menyala, dia berjalan naik ke lantai atas. Menemukan pintu ruang kerja suaminya terbuka, Nala mendorongnya lembut. Menemukan Nato Azda tertidur sembari telungkup di atas meja kerja. Dengan kertas berserakan dan layar laptop yang masih menyala. Nala mendekat. Menahan langkahnya selama beberapa detik. Saat dia kembali maju, menunduk untuk menatap berkas-berkas itu. Bahkan, setelah pekerjaan menumpuk itu membuat kacau di Kanada, Azda masih harus bekerja demi membangun kerajaan bisnis yang dia pikul di pundaknya. Atas nama keluarga. Nato Azda akan selalu mementingkan perusahaan di atas segalanya. Meski, raganya lelah sekali pun, dia akan terus keras kepala. Memaksakan kesehatannya untuk tetap bekerja. Walau malam semakin larut, atau kondisi tubuh yang terus menurun. Dia akan tetap melakukannya. Selama dirinya belum benar-benar terbaring di atas ranjang karena demam. Nala merapikan berkas-berkas itu menjadi satu dengan hati-hati. Tanpa membangunkan sang suami yang terlelap. Di saat dia menatap laptop itu sebentar, menyimpan data-data yang telah Azda kerjakan, lalu mematikannya. Nala kembali untuk mengambil selimut dalam lemari kecil. Dan bantal untuk menyangga punggung suaminya agar tidak sakit di pagi hari. Dengan pelan, dia melebarkan selimut itu, membungkus tubuhnya dan terdiam sejenak. Jemari Nala yang bebas bergerak, menyentuh permukaan wajah itu dengan lembut. Di saat helaan napasnya memberat, di samping kedua matanya yang mulai basah. Kontras dengan senyum yang sedang ia berikan pada sosok yang tengah terlelap dalam damai. Nato Azda jelas sedang bermimpi indah. Namun, bukan tentangnya. Jemari Nala berpindah, mengusap lembut kerutan samar di dahi sang suami karena belaian tangannya. Karena jika Azda dalam mode sadar, Nala tidak akan bisa menyentuhnya sebebas ini. Ketika tangannya membelai rambut legam itu. Di saat airmatanya lolos, Nala merasa menjadi sosok lemah dan tak berdaya. Merasa dirinya egois. Dia membungkuk, menatap wajah yang ia puja dalam diam itu dari dekat. Dengan lirihan lemah, Nala berkata dalam bisikan pilu. "Apa kau mencintaiku?" Dia tahu, dia sudah mendapatkan jawaban yang ia tanyakan dalam benaknya berkali-kali. Dan itu seharusnya menjadi periArra agar dia tidak lagi bersikap baik. Tetapi, ada hati yang harus ia jaga. Hati ibunya. Yang menyayangi Azda layaknya anaknya sendiri. Nala tidak mungkin menghancurkan hati sang ibu meski dia ingin menjerit bahwa dia menyerah, bahwa dia lelah dan putus asa. "Apa kau mencintaiku?" "Tidak." "Tidak akan pernah." Nala menghela napas. Beranjak bangun, saat dia melepas usapan tangan itu dan berlalu pergi. Mematikan lampu ruang kerja Azda dalam diam, dan menutup pintu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD