3

1548 Words
Nala menatap pantulan dirinya sekali lagi pada cermin meja rias. Kamarnya memang tidak terlalu memiliki banyak barang. Hanya beberapa saja yang sekiranya memang cukup untuk dirinya. Seperti ranjang, lemari pakaian, meja rias, dan tentunya fasilitas kamar mandi. Dengan sedikit berlari, Nala beranjak turun ke bawah. Menemukan Nato Azda tengah memasang jam tangan, dan lagi-lagi meninggalkan meja makan yang penuh makanan untuk mereka sarapan bersama dengan sia-sia. Meja makan itu penuh. Belum tersentuh sama sekali. Nala mendengar salah satu pelayan yang bertugas membersihkan lantai menahan tawa. Mencela karena Nala selalu bangun pagi-pagi sekali untuk memasak, membuat sarapan untuk suaminya. Dan mendapati kalau selama tiga tahun yang ia lakukan sia-sia, Nala mulai pesimis. Dia bergerak. Mendekati Azda setelah meraih jas hitam pria itu di atas sofa. Dengan senyum, dengan tatapan hangat yang bisa dia berikan, dia memberikannya. Respon yang Azda berikan mungkin membuatnya sakit hati. Pria itu menarik jasnya kasar, berlalu begitu saja saat Azda menatap Argi, dan tanpa kata seakan Argi memang sudah paham benar watak sang bos, dia menurut. Nala menghela napas. Memandang masakannya di atas meja yang tidak tersentuh sama sekali. Saat dia mendengar asisten rumah tangga senior yang lebih tua menatapnya. "Lagi? Kau membuang makanan lagi, Nala? Benar-benar. Kalau kau tidak pintar memasak, tidak seharusnya kau memasak. Sudah tahu Tuan Nato tidak pernah menyentuh masakanmu. Masih saja banyak lagak menyiapkan sarapan dan makan malam." Nala kehilangan suaranya. Dia membisu. Meremas kemejanya dan mendesah pelan. Dengan lemah, dia membuka piring, mencoba menyantap makanannya sendiri dalam diam. Saat tatapan dari para asisten rumah tangga itu mengejek tanpa ampun. Seakan memang penderitaan Nala pantas ditertawakan. Dengan berat hati, Nala bangun dari kursinya. Dia sendiri pun sama seperti suaminya yang tidak berselera memakan sarapan buatannya sendiri. Berniat agar dia dan Azda makan bersama, mereka akan berbicara dan masing-masing bercerita, sayangnya keinginan itu hanya ada di dalam mimpi. Mimpinya terasa nyata dan indah. Berbanding dengan fakta yang berkebalikan. "Tolong, bersihkan meja ini." "Kau pikir kau siapa? Bersihkan sendiri," katanya ketus. Berlalu dari hadapan Nala sembari membawa lap kotor untuk membersihkan meja dapur. Nala mengangguk. Dia merapikan semua alat-alat makan di atas meja. Membuang makanan itu karena percuma, tidak ada satu pun yang akan memakan masakannya. Mereka anggap, makanan ini adalah racun. Racun yang bisa saja Nala gunakan agar Azda—majikan mereka tewas mengenaskan. Dan mengambil seluruh hartanya. Nala menghela napas. Saat dia mengalungkan tasnya dan berjalan ke luar rumah, terkejut menemukan Azda masih ada di luar mobil, masih dengan ponselnya. Nala mendekat untuk menghampiri. "Umm, bisakah aku menumpang sampai halte depan? Hehe. Sekali saja, sekaliiiii saja." Azda tidak perlu repot-repot membalas atau sekedar meliriknya. Saat dia meminta Argi untuk menyupir pagi ini dan Argi segera masuk ke dalam. Memegang kemudi setir, lalu menatap Nala lirih. Nala menipiskan bibir. Memasang senyum terbaiknya untuk menepis semua pilu di hatinya. Tangannya melambai, tersenyum cerah saat mobil mewah itu melaju. "Hati-hati di jalan!" *** "Apa Tuan Azda selepas kembali dari Kanada membelikan oleh-oleh, ya?" Nala mengangkat alis. Menatap Ayumi dengan senyum separuh. Saat dirinya mengetahui jelas fakta itu. Bahwa suaminya kembali dengan keadaan selamat sudah menjadi anugerah untuknya. Dia bahkan tidak pernah berpikir Azda akan membelikannya buah tangan untuknya di rumah. "Entahlah. Menurutmu?" Nala sama sekali tidak merasa cemburu atau kesal jika Ayumi berbicara tentang suaminya. Tatapan mata gadis itu bersinar, seperti masa mudanya dulu. Nala merindukannya. Merindukan masa-masa dimana dia memandang dunia dengan binar mata yang sama. Namun, sekarang berbeda. Semua perlahan lenyap, karena terkikis waktu dan usia yang tidak lagi sama.  "Hehe. Aku mendadak iri dengan siapa pun yang bersama Tuan Uchiha sekarang." Nala terdiam. Menghela napas panjang saat dia menempelkan dagunya pada tutup botol air mineral. Tatapannya menerawang jauh, lepas dari orang-orang yang kumpul di lobi setelah jam makan siang berakhir. "Nala, apa kau punya pacar?" Nala menatap Ayumi dengan alis terangkat. "Apa aku terlihat memiliki seseorang di sisiku sekarang?" Ayumi menggeleng. "Maka dari itu aku bertanya, menganggap kalau kau masih sendiri dan terkadang berpikir ... mengapa?" Nala hanya tersenyum. "Hmm, mungkin karena terlalu nyaman?" "Jangan begitu. Kita, manusia terkadang ingin sekali menemukan orang yang bisa melengkapi, bisa melindungi dan menjaga, saling percaya satu sama lain. Seburuk apa pun masa lalu kita, jauh di lubuk hati paling kecil ini, kita selalu menginginkan sosok itu walau dalam mimpi sekali pun." Nala termangu menatap Ayumi yang sedang tersenyum. "Karena euforia kalimat sendiri lebih baik itu jauh lebih terasa menenangkan, menyenangkan, dan mungkin benar-benar melegakan karena kita tidak memiliki beban apa pun untuk saling menjaga dan memahami. Tapi berat rasanya, bukan?" Nala hanya diam. Tidak lagi membalas. Sorot matanya berubah. Dia mungkin tidak tahu apa yang Ayumi hadapi saat dia di rumah. Atau Ayumi yang bercerita bahwa keluarganya tidak baik-baik saja. Dia gadis yang baik, dan sedikit berapi-api. Namun, Ayumi akan tetap menjadi gadis tertutup. Menyimpan banyak masalah dalam kepalanya. Dan berpikir kalau dia akan baik-baik saja. "Ayumi." Ayumi menoleh menatap Nala yang tersenyum. Jelas, Ayumi tidak akan tahu senyum apa yang Nala berikan, demi menyimpan timbunan rasa sakit di hatinya. "Kalau ada apa-apa, bicaralah. Katakan padaku. Aku akan sebisa mungkin menjadi pendengar yang baik. Karena mereka yang memiliki tekanan dan depresi itu hanya perlu didengarkan, bukan? Aku ada di sini. Jangan takut." Dia benar. Ayumi terlihat sebisa mungkin menahan tangis. "Aku baik-baik saja. Dan terima kasih banyak," Ayumi meremas tangan Nala di atas meja. "Aku bertahan karena dirimu, Nala. Kalau tidak ada, aku tidak tahu harus bagaimana." Nala tersenyum. Memiringkan kepala saat dia balas meremas tangan itu. Dan mendesah pelan. "Jangan cemas, aku di sini. " Ayumi terlihat membutuhkan pertolongan. Dari segi mana pun, dia terlihat tidak pernah tampak bahagia jika datang dari rumah. Walau dia sebenarnya memiliki kontrakan lain di dekat kantor, itu sedikit membantu memperbaiki suasana hatinya yang rusak. "Sudahlah. Siap untuk kembali bekerja?" Ayumi tersenyum. Menghapus basah di sudut matanya dan berdiri. "Aku siap membantai Tuan Kama kalau kau ingin tahu." Nala mengangkat bahu. Dia sudah membawa kembali dompet dan ponselnya. Dan terhenti di tengah jalan saat melihat Azda dari dalam lift, berjalan dengan terburu-buru entah karena apa. Nala menatapnya. Ingin bertanya dan tahu batasan apa yang telah terbangun di antara mereka berdua. Selain dirinya yang diam, dan Ayumi yang kini menarik tangannya untuk pergi. *** Kening Nala berkerut. Menemukan mobil mewah yang terparkir tidak jauh dari halamannya. Nala tidak memiliki pekarangan yang luas. Selain di rumah suaminya. Dan menemukan mobil ini terparkir, rasa-rasanya dia tidak lagi terkejut. Nala berjalan masuk. Ritual yang selalu ia lakukan sebelum kembali ke rumah sang suami adalah mengunjungi ibunya. Sesibuk apa pun dia, mengunjungi ibunya yang seorang diri adalah kewajiban. Satu-satunya anggota keluarga yang dia miliki dan harus dia jaga. Nala tidak mau menyesal di kemudian hari karena mementingkan jam kerja yang padat, atau lelah di tubuhnya dan mengabaikan sang ibu. Meski dia selalu berkata untuk mementingkan diri sendiri terlebih dahulu, Nala rasa itu mustahil. Matanya mengerjap menemukan Nato Azda duduk di sofa. Bersama ibunya yang tengah berbincang. Keakraban mereka tentu tidak lagi asing di mata Nala. Yang bergerak gelisah saat mendekat. "Aku pulang." "Anakku," suara ibunya mengalun. Mengulurkan tangan menggenggam tangan putrinya dengan senyum. "Lihat, Azda datang. Kenapa kau pulang tidak bersama suamimu?" Nala berdeham. Saat Azda rupanya tidak mau berusaha membantunya mencari jalan keluar. "Aku punya banyak pekerjaan hari ini. Jadi, membiarkan suamiku kembali lebih dulu." "Ah," Taya menipiskan bibir. "Apa Azda tidak cerita kalau dia akan berkunjung?" "Tidak. Aku belum bertemu Nala di kantor seharian. Ini mendadak karena mendadak aku merindukan Ibu Taya," kata Azda. Yang akhirnya mau bicara setelah lama diam. Nala menghela napas. Menunduk menatap senyum ibunya bagaikan belati yang menikam jantungnya. Nala melepas remasan tangan itu, untuk mencari tempat duduk di saat senyum Taya masih setia menemani langkahnya. "Azda bilang, dia menawarkan diri untuk menutupi hutang-hutang ayahmu. Ibu bilang, tidak perlu. Karena hutang ayahmu sudah sepenuhnya ditanggung dirimu," ujar Taya pelan. Giok Nala bergulir. Menatap suaminya dalam diam saat Azda sepertinya enggan untuk balas menatapnya. "Sebanyak itu, apa tidak memberatkan? Sudah sangat lama aku menawarkan ini, Ibu Taya. Jangan membuatku sedih." Nala mendesah pelan. Menatap Azda dengan sorot mata tak terbaca. "Tidak perlu. Aku bekerja untuk ini. Untuk melunasi hutang-hutang yang Ayah tinggalkan." "Terima kasih untuk kebaikanmu." Taya mengerling. Menatap Nala dengan kening mengernyit. Saat Azda menoleh ke arahnya, memandang sang istri datar. Taya terdiam. Dia meremas tangan Nala. Memintanya untuk tidak berdebat dengan suaminya yang berbaik hati membantu keluarga mereka. "Ibu," panggil Nala serak. "Sebentar, Ibu mau pergi ke kamar. Tunggu di sini." Ibunya memutar roda kursi itu sendiri. Saat Nala menatapnya dalam pias. Kontras dengan rasa gundah yang bercokol dalam benaknya. Dia mendesah, menolehkan kepala kala mendengar suara dengusan dingin. "Benar-benar. Kau angkuh sekali menolak bantuanku? Kau pikir kau siapa?" Nala menunduk. Menatap vas bunga bonArra yang ibunya sukai saat pertama kali melihatnya di toko hias. "Aku sudah banyak berhutang padamu. Tidak lagi," Nala menengadah dengan senyum. "Selama ragaku masih sanggup bekerja, aku akan bekerja. Terima kasih." Azda mendengus. Dari raut wajahnya, pria itu tidak suka mendapat penolakan berulang kali dari istri dan mertuanya yang terus-terusan menggeleng saat dirinya menawari bantuan. Dengan dalih, bahwa Nala dan ibunya telah berhutang banyak. Azda murni ingin membantu Ibu Taya, bukan semata-mata karena dia kasihan pada istrinya. Tidak. "Ibu membuat ini selama satu bulan penuh. Untuk Nala dan untuk Azda." Nala terkejut menemukan sepasang pakaian hangat hasil rajutan tangan ibunya. Matanya mengerjap, mencari tahu kesibukan ibunya selama ini selain menjahit dan senang memainkan tanaman untuk dia olah agar terlihat lebih cantik. "Ini ... bagus," Nala tersenyum. "Terima kasih." Taya mengangguk. Ibarat kata, lelahnya selama ini pudar. Terbayarkan dengan senyuman sang anak dan saat Azda menatap pakaian itu dalam diam. "Azda, ada apa? Apa pakaian itu terlihat buruk?" Azda menggeleng. "Ini bagus. Terima kasih." Senyum Taya melebar mendapat pujian itu. Dia menatap Nala dan Azda bergantian. Kemudian, diam-diam mengulas senyum bahagia. Bahagia karena mendapati putrinya bersama orang yang tepat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD