4

1355 Words
"Turun." Nala mendengar suara kunci mobil terbuka. Saat Azda memalingkan muka dari jalanan di depannya, dan memilih untuk memberhentikan mobilnya di pinggir jalan yang sepi. "Kau dengar? Turun." Nala membuka sabuk pengamannya dalam diam. Menenteng tas berisikan pakaian hangat ibunya saat dia mendorong pintu itu, dan menutupnya. Sebelum membungkuk dan berpesan agar Azda tidak mengebut di jalan dan hati-hati. Memintanya lekas untuk pulang. Mata Nala memandang lurus pada sedan hitam yang melesat meninggalkannya dalam diam. Nala tidak tahu kemana suaminya akan pergi. Tetapi, melihat pria itu yang terburu-buru, sepertinya dia tidak perlu menebak lagi kemana Azda akan membawa dirinya pergi. Nala berlari mengejar bis yang berhenti tepat di depan halte. Saat dia terlalu banyak melamun, dan nyaris melewatkan bis terakhir. Beruntung, sang supir masih mendengar dan melihat dari spion mobil, dia dengan baik hati menghentikan laju mobilnya dan membiarkan Nala masuk. Lalu, mencari tempat duduk yang kosong. Nala sayup-sayup mendengar suara rintik air hujan yang membasahi atap mobil. Dan jendela yang tiba-tiba berembun. Dengan helaan napas, dia memejamkan mata. Karena tujuannya adalah dua halte sebelum pemberentian terakhir, dia masih memiliki waktu untuk memejamkan mata selama sepuluh menit. Sesampainya di rumah, Nala melihat Argi tengah berbincang bersama asisten rumah tangga. Entah, apa yang sedang pria itu bicarakan karena Argi sepertinya tidak suka. Dan saat melihat ekspresi kecut asisten muda itu, dia juga tampaknya tidak suka kalau Argi memarahinya. Argi menoleh. Menemukan Nala yang hampir basah kuyup saat dia mengangguk, dan Nala bergegas pergi ke kamarnya yang tepat berada di seberang kamar utama, kamar suaminya. Nala menatap berkas-berkas yang sedang dia susun membentuk satu laporan utuh. Berdasarkan tanggal dan waktu pembuatan, dia mulai mencari satu-persatu. Sampai tanpa sadar jam telah menunjuk pukul satu pagi. Rumah terlihat lebih sepi. Para asisten yang bekerja, dan Argi sepertinya telah masuk ke kamar mereka dan beristirahat. Karena Nala tidak mendengar suara apa-apa lagi selain pemanas ruangan, dan napasnya sendiri. Kantuk mulai menyerang. Hampir mengalahkan rasa cemas yang bercampur menjadi firasat buruk akan suaminya sendiri yang belum menunjukkan tanda-tanda sudah kembali. Nala berdiri, merentangkan tangannya ke atas kepala saat dia menoleh, menemukan situasi rumah yang sepi sekali lagi dan mendesah. Kedua matanya mengerjap mendengar bunyi mesin mobil yang masuk ke dalam garasi rumah. Dia bergegas ke pintu utama, membukakan pintu tanpa Azda mengetuknya. "Kau ... mabuk?" Nala tercekat. Mencium alkohol yang pekat, menguar dari napas dan tubuh suaminya. Pakaian pria itu lekat dengan tembakau, dan berbagai jenis aroma yang Nala benci. "Azda, kau mabuk?" "Bukan urusanmu." Nala tidak berhenti sampai di sana. Dia berjalan, menghalangi langkah suaminya ketika Azda menunduk, menghela napas panjang. "Minggir." "Kemana saja kau? Jam berapa ini?" Azda lagi-lagi menggeram. "Minggir." "Jawab aku!" Satu tamparan dia terima. Di pipi kanannya yang memerah saat Nala terhuyung, menyadari kalau tenaga suaminya jauh lebih besar ketika pria itu tidak sadar karena alkohol. "Kau tidak dengar? Minggir. Jangan halangi aku." Nala meringis. Mengusap pipi kanannya saat dia kembali maju, menahan langkah pria itu untuk bergerak lebih jauh. "Pernahkah sedikit saja kau berpikir bagaimana perasaanku? Kau yang selalu kasar! Kau yang selalu bermain tangan! Kau juga yang nyaris membunuhku karena kau percaya aku melukai dirinya, kan?" Kedua mata Azda menyipit. Dalam bayangan samar, dan dalam hentakkan kasar tangannya yang berulang kali berusaha menepis tangan dingin istrinya. "Jangan sentuh aku. Kau pikir aku mau disentuh dengan tangan kasarmu?" Nala terpaku. Menatap Azda yang mendekat, mencekal tangannya saat pria itu menunjuk telapak tangannya yang kasar. "Lihat ini, Nala. Lihat ini. Ini bukan mencerminkan siapa kelasmu. Buruh akan selamanya buruh. Tangan ini kasar. Tidak sesuai seleraku." Nala menurunkan tangannya. Menatap Azda dalam gamang saat dia mendesis. "Sampai detik ini, aku berusaha." Walau dirinya tahu, kalau Azda tidak akan mendengarnya. Tidak akan pernah. Azda mendengus. Berjalan melewati bahunya saat Nala mengepalkan tangan, menoleh pada sang suami yang perlahan menjauh. "Oh, ya. Aku lupa satu hal." Nala terdiam. Menunggu kalimat itu kembali menyambung. "Aku membuang pakaian yang ibumu jahitkan untukku. Mau bagaimana, lagi? Itu tidak sesuai seleraku." Nala menahan napas. Mendengar tawa itu meluncur bebas. Saat Azda berjalan, berpegangan pada tangga dan berlalu menuju kamarnya sendiri. Nala tidak lagi mendengar apa-apa selain pintu yang terbanting dan suara napasnya sendiri yang sesak. *** Nala mengernyitkan kening jijik melihat Tuan Kama baru saja kembali dari tenda proyek yang tertutup rapat bersama anak magang yang berasal dari tim supervisor. Entah, apa tugasnya karena Nala belum bicara. Namun, melihat apa yang mereka berdua lakukan di dalam, dia sepertinya tahu. "Nala." Nala menoleh. Mendekat pada Tuan Yamato yang memintanya untuk masuk ke dalam tenda itu mencari ponselnya. Dia meminta tolong, karena dia harus menghubungi mandor lain yang sanggup menyeleArrakan bagian lain setelah ini. "Ah, sebentar." Tidak niat sampai hati menolak, Nala bergegas masuk. Mencari dimana ponsel yang disebutkan tadi, dengan hitung-hitung beramal membantu seseorang. Sampai hidungnya mencium bau aneh, dan saat Nala mendengus jijik menatap bekas cairan yang belum sepenuhnya kering atas karpet. Sialan, Tuan Kama! Dengan cepat, Nala melarikan diri dari tenda. Mencari kemana Tuan Yamato, saat dia memberikan ponsel berharga murah itu dan mundur untuk mengecek persiapan lain. Mungkin, pembangunan gedung ini akan rampung di tahun depan. Jika mandor ditambahkan, dan dana yang dikucurkan juga besar. Perusahaan tempatnya bekerja mungkin bisa saja mempercepat pembangunan ini, jika melihat berapa banyak investor yang berani menanam saham di proyek baru mereka. Nala termenung menatap bangunan proyek ini. Dia mungkin punya impian kecil setelah mimpinya kandas di tengah jalan. Nala harus menjalani hari yang berat selepas dia tidak mampu bersekolah lagi karena keterbatasan biaya, dan harus mengulang semua dari awal atas beasiswa yang dia dapatkan. Katakan saja mimpinya aneh atau buruk, tapi dia lelah bekerja di lapangan seperti ini. Nala memiliki keahlian lain dengan membuat kue. Dan keinginan besarnya untuk memiliki toko kue sendiri. Kecil-kecilan, membuat ibunya bangga adalah harapan besar yang belum mampu ia wujudkan. Meminta pada Azda jelas bukan jawaban. Juga bukan pilihan yang bisa dia ambil. Nala bahkan tidak pernah menerima uang sepeser pun atas nafkah yang pria itu berikan. Sebanyak apa pun uang yang Azda timbun di dalam rekeningnya, Nala tidak pernah tahu. Juga tidak pernah merasakan. Tak apa. Selama dia bekerja, semua akan baik-baik saja. Dia masih bisa hidup dengan baik sampai detik ini, dia seharusnya banyak bersyukur karena masih mampu menghasilkan selagi bernapas. Nala mengerjap. Menghela napas panjang saat beberapa alat berat berlalu-lalang di depannya. Dikomando ketua mandor yang berulang kali memantau dan mengawasi jalannya pembangunan, Nala tahu dia tidak boleh terlalu dekat agar tidak terkena debu dan beberapa kerikil yang terlempar dari tempatnya. Nala menoleh. Menemukan Tuan Kama yang sama sekali tidak berguna ada di sini. Hanya karena Nato Azda memintanya untuk terjun ke lapangan, hadirnya pria itu makin menambah jijik Nala yang berada di sekitarnya. Ayumi ada di kantor. Bukan waktunya dia terjun ke lapangan. Dia akan kembali besok pagi, dan bergantian Nala yang akan tetap di kantor. "Kau bisa kembali, Nala." Tuan Yamato menepuk bahunya. Saat Nala telah bekerja keras membantunya dalam beberapa hal yang tidak sempat dia pegang, Tuan Yamato merasa Nala berhak kembali lebih awal ke kantor dari jam seharusnya. "Biar aku yang bicara pada Tuan Kama." "Terima kasih." Nala tersenyum. Membungkuk pada Tuan Yamato sebelum dia melepas topi proyeknya, menyimpannya di loker seperti biasa dan mengalungkan tasnya untuk bergegas pergi mencari bis yang ada di dekat lokasi. Nala tidak mungkin menumpang pada Tuan Kama kalau dia telah terbiasa menaiki angkutan umum sebagai sarana transportas terbaik antar kantor dan lapangan proyek. Hanya membutuhkan waktu sepuluh menit, Nala sampai di gedung berlantaikan tujuh puluh. Hampir menyentuh langit. Dan tampak megah dilihat dari sisi mana pun. Nala bergegas pergi. Mengerjakan laporan mingguan seperti biasa yang masih tersimpan dalam komputernya dan bersiap menaiki anak tangga saat dia melihat Azda berjalan, dengan ponsel di telinga. Nala menoleh. Menatap sang suami dalam diam. Saat Azda menuruni anak tangga, membalas sapaan keamanan dengan anggukan kepala dan saat senyum Nala lenyap mendapati pria itu berdiri tepat di samping mobil mewah yang berhenti. Azda menurunkan ponselnya. Menemukan pria itu mundur saat pintu itu terbuka, dan menemukan sosok lain turun dengan anggun. Dan dengan tampilan sempurna yang mencuri atensi Nala. Nala membeku. Di teras kantor yang sepi. Saat beberapa karyawan yang melewatinya dengan acuh, tidak perlu repot-repot menolehkan kepala untuk menatapnya dua kali. Bibir Nala gemetar, menemukan gadis cantik itu memeluk suaminya dengan senyum manis. Yang mungkin sudah menjadi makanan sehari-hari. Nala seharusnya tidak lagi terkejut dengan pemandangan yang mampu membuat jantungnya berdenyut perih. Nala menunduk. Menarik napas panjang saat dia menemukan kalau Azda membalas pelukan itu tak kalah erat. Yang memukulnya telak, dan menyuruhnya tanpa kata untuk mundur. Dan memilih untuk bersikap seakan tidak melihat apa-apa. Berpura-pura tidak tahu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD