5

1308 Words
Aida Nahira namanya. Gadis yang menjadi pemenang telak menduduki posisi hati Azda paling tinggi. Nala tidak perlu menjadi cenayang untuk tahu apa yang ada di dalam isi hati suaminya. Atau mengada-ada dalam delusi bahwa mereka bersama hanya karena nama besar atau Nahira yang cantik tiada tara. Cukup dengan sorot mata, saling tatap, cinta itu ada. Menyakitkan. Saat dia sendiri harus mengurai perasaan itu menjadi satu kalimat untaian yang dia sendiri masih berpikir apa artinya. Mungkin, tidak sesakit ini kalau dia tidak jatuh cinta. Mungkin, tidak akan sesakit ini kalau dia berkata apa adanya. Tanpa memikirkan kondisi ibunya yang terus menurun setiap waktunya. Atau, Nala yang berpikir egois karena tak sanggup pergi. Dan memilih bertahan walau badai itu menyamai topan yang memporak-porandakan hatinya. Pada dasarnya, semua kembali. Dan Nala bersikap acuh, mati rasa seakan semua akan membaik. Nanti, suatu saat nanti kau akan membaik. Nanti yang akan berubah menjadi tidak pernah. Kedua matanya mengerjap. Banyak alasan yang membuat Azda bertahan di dalam pernikahan mereka. Salah satunya adalah ibu, ibunya, dan atas nama keluarga Uchiha yang menjunjung tinggi harga diri dan martabat. Nahira si balerina yang sukses. Kemampuan indahnya tidak hanya memukau banyak penonton yang rela mengocek biaya mahal hanya untuk melihatnya bermain. Tapi, kemolekan tubuhnya ditunjang dengan paras rupawan menjadi bayaran mahal atas pertunjukkan yang ia sajikan. Aida Nahira mungkin banyak dikenal sebagai sosok yang ramah. Namun, ada beberapa waktu di saat dia menjadi sosok dingin dan tak tersentuh. Tiga tahun sudah. Dia menjadi mimpi buruk bagi kehidupan rumah tangganya. Tidak, bukan salah Aida Nahira. Ini salahnya. Karena datang ke kehidupan mereka. Menghancurkan mimpi yang pernah Azda bangun bersamanya. Dengan dalih, ini semua untuk keluarga. Mau sampai kapan Nala terus begini? Menatap mereka dari kejauhan. Meresap dalam sepi dan menyadari bahwa hatinya telah tersayat-sayat dalam pedih? Seharusnya, dia berbalik pergi. Melarikan diri dan beranggapan bahwa yang dia lihat baru saja adalah mimpi buruk. Akan tetapi, senyum dan sorot mata sang suami tidak menunjukkan hal sebaliknya. *** "Kau melamun." Nala menghela napas. Menatap ibunya yang datang dengan suara lemah. Dokter yang biasa menangani ibunya dalam pemeriksaan rutin mingguan mengatakan, Asha Taya mungkin bisa hidup lebih lama jika dia tidak tertekan, atau dia tidak berpikir yang berlebihan. Buatlah dia bebas dan bahagia. Kunci hidup lama pada dasarnya sama saja, bukan? Bebas dan bahagia. "Aku memikirkan pekerjaan," ujarnya lamat. Menatap langit-langit kamar yang didominasi pesawat kertas. Terbentuk dari origami aneka warna. Hasil kerajinan tangan yang Nala lakukan di saat dia kesepian, atau sedang berteman dengan sepi. "Kenapa dengan pekerjaan?" "Berat dan terlalu banyak," Nala mendesah. "Jika ada pekerjaan yang lebih baik, aku benar-benar akan pergi dari perusahaan itu." "Di sana ada Azda, ada suamimu. Kau tidak bicara padanya?" Nala menunduk. Meremas lengannya sendiri saat dia menarik napas panjang. "Kami tidak pernah melibatkan pekerjaan di dalam rumah. Azda sudah sangat pusing memikirkan perusahaan," Nala tersenyum. "Aku terlihat tidak pantas kalau mengeluh tentang pekerjaanku yang belum apa-apa dibanding dirinya." Taya tersenyum tipis. Menatap putrinya sayang saat jemarinya mengusap pipi cekung Nala. Dia yang salah melihat, atau memang bobot badan putrinya merosot tajam? "Nala, makanlah yang banyak. Jangan sakiti dirimu sendiri," Taya mengusap rambut sang anak penuh kelembutan. "Sedih rasanya. Melihatmu yang tertekan karena hutang keluarga dan ibumu yang menyedihkan ini. Maaf, karena Ibu belum bisa membahagiakanmu." Nala menoleh. Menggeleng pelan saat dirinya mengulurkan tangan, meremas kedua pipi ibunya yang pucat. "Jangan bicara begitu, Ibu. Alasan aku bertahan sampai detik ini adalah Ibu. Sudah berapa kali aku bilang? Aku akan lakukan apa pun asal Ibu di sini, asal Ibu bahagia." Sang ibu menunduk. Tidak sanggup menatap mata putrinya yang redup. Mungkin, ini kesalahannya. Tidak mempedulikan putrinya yang bekerja dari pagi hingga petang, mengabaikan sorot matanya yang tidak lagi sebebas dulu. Seakan ada luka yang tengah dia pendam, dan Nala tak sanggup membunuh luka itu. "Kalau ada yang ingin Nala ceritakan, bicaralah. Ibu akan mendengar." Nala mengusap pangkal hidungnya. Tersenyum dengan tangan yang kini melingkari bahu sang ibu dengan sayang. "Tidak ada. Lelahku hilang saat aku bertemu Ibu." Mau tak mau, seulas senyum merekah manis di bibir ibunya yang kering dan pucat. Nala menunduk, menyandarkan kepalanya di bahu sang ibu yang mengusap punggugnya dengan lembut. Penuh kehati-hatian. Tidak peduli sekuat apa pun dia mencoba bertahan seorang diri, ada kalanya airmata itu tetap memberontak meminta untuk membebaskan diri. *** "Besok, aku akan pergi ke makam Bibi Kana. Kau mau ikut?" Awalnya, Nala datang untuk menaruh nampan berisi camilan kering dan teh hangat untuk suaminya yang lembur di ruang kerja sampai tengah malam. Nala tidak tega melihatnya. Terlebih, Argi bilang Azda belum makan apa pun setelah makan siang. Saat Nala menawarkan diri untuk membuatkan makan malam, Azda dengan tegas menolak. Berkata kasar bahwa masakan dia lebih buruk dari sampah yang ada di tempat sampah. Nala tidak akan melakukannya kalau Azda sudah berkata tidak.  Dan Argi mengantarkan masakan Cina yang dia beli di pinggir jalan. Azda baru mau memakannya. Tetapi, hanya seorang diri di ruang makan. Nala tidak berani mendekat, atau menarik kursi untuk duduk di sebelahnya. Bertanya apakah rasa masakannya enak atau bercanda kalau Azda benar-benar seperti orang kelaparan. Nyatanya, kedua itu tidak bisa ia lakukan. Selain berdiri di ujung tangga, meremas tangannya sendiri dan terdiam. Menemukan dirinya tak bisa maju, atau lakukan apa pun untuk berada di sisi suaminya. Azda bahkan tidak perlu repot-repot untuk meliriknya. Atau memalingkan muka sekedar menangkap ekspresi wajah istrinya sekarang. Pria itu tetap membatu, berfokus pada layar dan lagi-lagi tak menghiraukan ucapan Nala. "Buku ini bagus, kan? Aku pernah membacanya semasa sekolah dulu. Hm, coba kulihat," katanya. Kembali bermonolog. Nala meraih buku dalam rak, membukanya dan mencari halaman utama saat dia membaca sNahirapsis di belakang buku. "Aku hampir lupa separuh jalan ceritanya." Lagi-lagi hening. Tidak ada suara apa pun yang menyapa pendengaran Nala selain suara lembaran kertas yang sedang dia balik. Nala menghela napas. Menaruh buku itu kembali ke raknya. Dia menatap Azda sebentar, sebelum akhirnya memberanikan diri untuk maju. Dan menelan pil pahit yang sama, kalau Azda tidak menyentuh minuman atau makanan yang ia suguhkan. "Kenapa kau tidak menikahi Nahira saja?" Gerakan tangan Azda terhenti. Ketika keningnya mengernyit, menatap Nala sambil lalu. "Bukan urusanmu." "Menjadi urusanku, karena masalah rumah tangga harus diseleArrakan baik-baik," katanya pelan. "Jika kau punya kuasa untuk menolak, kau seharusnya menolak. Bukankah, ini juga menyakitimu?" Nala tidak tahu kalau nada suaranya berubah secepat itu. Berganti menjadi serak. Sebisa mungkin dia mencoba untuk mempertahankan intonasi datar tanpa perasaan itu, dia selalu gagal. "Keluarga Uchiha keras. Marga ini terlahir seperti tanpa belas kasihan," ujar Azda datar. "Aku tidak akan membuat gadis yang kucintai menderita berada dalam lingkup ini." Nala termangu. Menyadari alasan Azda yang singkat, namun menjelaskan semuanya cukup membuatnya terdiam. Azda benar adanya. Jika dia menjadi pria itu, dia tidak akan membiarkan seseorang yang ia cinta menderita di dalam keluarga yang menjunjung tinggi harga diri dan uang sebagai segala-galanya. "Kau benar." Untaian kalimat itu sepenuhnya tidak salah. Nala hanya tidak tahu harus bagaimana dia menyikapinya. Azda tidak berbohong tentang perasaannya. Tetapi, ini membuatnya sakit. "Seharusnya, kau menceraikanku." Alis Azda tertaut satu sama lain. Memandang Nala dengan sorot mata yang terang-terangan berisi penolakan. "Cerai?" "Apa itu melukai harga dirimu? Baik, bagaimana kalau aku yang mengatakan itu sendiri padamu? Ada baiknya kita hidup masing-masing." Nato Azda mendengus. Selayaknya kalau ucapan Nala baru saja yang meluncur adalah guyonan. Lelucon yang bukan pada tempatnya. "Seakan kau bisa saja hidup tanpaku." Nala mendesah pelan. Menatap remasan tangannya sendiri. Tremor di tangannya perlahan demi perlahan naik, bergerak konstan. Merasakan kedua matanya yang berat, Nala tidak seharusnya mencoba menahan airmatanya sendiri. Tetapi, membayangkan kalimat kebencian yang Azda lontarkan, jauh lebih mengerikan dari apa yang bisa dia bayangkan. Azda tidak mencintainya. Tiga tahun pernikahan mereka, Azda tidak pernah melihatnya, atau sekedar menganggap bahwa dirinya ada di rumah ini. Namun, jika dia menangis, ego pria itu tentu akan menjeritkan kemenangan. Karena pada dasarnya, senjata semua perempuan di dunia ini adalah menangis. Menjadi satu-satunya pelepas hati yang terlanjur tercabik. "Tidak usah pedulikan ibuku. Dia baik-baik saja." Azda menghela napas. "Kau seharusnya meminta sehari setelah menikah. Dan kau baru mengatakannya sekarang. Sungguh, konyol." "Ini semua hanya perasaan atau bagaimana, tetapi aku merasa tidak ada pernikahan." Azda menatapnya. Sepenuhnya menatapnya. "Keluar sekarang, Nala." Nala menarik napas. "Baik, kita bicarakan ini lagi nanti. Selamat malam." Nala bergerak mundur. Menatap Azda sebentar sebelum akhirnya berlalu pergi. Mengunci diri di dalam kamar untuk waktu yang lama sampai pagi menjelang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD