Nala berjalan turun ke lantai bawah. Menemukan suasana di ruang makan tampak ramai. Dia tercekat, karena mendapati anggota keluarga suaminya ada di ruang makan, menyantap sarapan bersama.
Nato Azda seolah enggan menyambut tamu yang notabene masih dari bagian dari marga yang ia sandang. Mengingat, hubungan Azda tidak terlalu baik dengan mereka di masa lalu, membuat Nala paham benar duka apa yang coba Azda simpan di dalam dirinya sendiri.
"Masakan siapa ini? Lezat sekali."
Nala menarik napas. Bersikap santun dengan menyapa mereka di ruang makan. Alih-alih pergi begitu saja dan membuat cibiran pedas itu menghantuinya sepanjang hari.
"Azda, kupikir kau dan Aida Nahira sudah menikah. Ternyata kau masih mempertahankan benalu ini di rumah."
Azda mendesah. Melirik Nala dalam diam saat dia menegak air putih, dan meminta Argi untuk mendekat. Berkata sembari berbisik dan pria itu lekas mengerti apa yang majikan besarnya inginkan.
"Permisi."
Nala bergeser. Meremas tas selempangnya dengan canggung kala mendapati semua mata menatapnya sinis. Ada bibi tertua Azda, Hayate. Ada juga putri semata wayangnya yang super manja, Rina. Mereka berdua yang benar-benar masih mewarisi garis keturunan Uchiha secara murni. Dan bibi tertuanya, yang masih mengelola beberapa bagian perusahaan keluarga di luar negeri.
Argi kembali ke ruang makan. Kali ini tidak dengan tangan kosong. Melainkan membawa sesuatu yang sekiranya membuat Hayate sumringah, dan Rina yang tengah menegak jus jeruknya menyeringai.
Azda membelikan oleh-oleh untuk mereka. Di saat Nala menatapnya kaku, dan ada baiknya dia pergi dari sini sebelum semua orang menyadari.
"Kalung ini untuk siapa?"
Rina menatap Nala yang hendak berbalik. "Hei, jalang. Ini pasti untukmu, kan? Kalungnya tidak sesuai seleraku."
Rina membuang kalung itu bersama kotaknya ke arah Nala yang membeku. Saat kotak itu terbuka, dan kalung cantik itu terjatuh di atas lantai, Nala memungutnya dalam diam.
Benarkah? Azda membelikan kalung cantik ini untuknya?
Suaminya hanya diam. Menatap kalung perak berlapiskan bandul berlian yang sedang dia genggam. Nala tidak banyak berkata saat hanya mampu mengerjap, berbinar menatap kalung cantik berharga mahal di atas telapak tangannya.
Hayate tertawa parau. "Astaga, sayang. Bagaimana bisa kau menolak kalung mewah itu? Ambil saja untukmu."
Azda menatap Argi sebentar. Dan pria itu tertunduk lesu. Karena sepertinya, ada kesalahan saat Argi membawakan buah tangan itu dari ruang kerjanya.
Rina memilih untuk acuh. Mencoba beberapa barang yang Azda belikan, dan beberapa perhiasan yang memang sesuai seleranya. Di saat Hayate lebih senang mengoleksi berlian dan tas Hermes bernilai mahal dibanding barang-barang tak berguna itu.
Nala memasukkan kembali kalung itu, dia berniat membawanya ke kamarnya. Namun, baru dua langkah dia menaiki tangga, dia merasakan cekalan tangan lain, memaksanya untuk naik ke ujung tangga dan dengan kasar merampas kotak kalung itu dari tangannya.
"Jangan bermimpi ini untukmu," desis Azda dingin.
Nala mengerjap. Menatap kotak yang tidak lagi ada di tangannya. Melainkan ada di tangan suaminya sekarang.
"Aku—," Nala menahan napas. "Aku tidak tahu. Aku hanya mengiyakan apa yang Rina katakan."
Azda mendengus. Mencibir apa yang Nala baru saja lakukan adalah lelucon. "Kau pikir siapa yang mau membelikanmu hadiah semahal ini? Kau berpikir kalau kau pantas?"
Nala menipiskan bibir. Menatap netra pekat itu dalam diam dan dalam debaran menahan pedih karena ucapan tajamnya.
"Kalau memang itu tidak diperuntukkan untukku, bisakah kau bicara baik-baik? Aku tidak mencuri, aku hanya akan menyimpannya. Hentikan prasangka aku akan menjual kalung itu demi kebutuhanku sendiri."
Nala menahan napas. "Lagipula, itu kalung untuk Nahira, kan? Baik. Kalung itu sangat cantik. Dia pasti menyukainya."
Azda menggeram dalam suaranya. Dia berjalan, melewati bahu Nala yang merosot saat menuruni anak tangga. Dan kembali ke ruang makan, membentak Argi sebentar sebelum Nala ikut turun, menatap anggota keluarga suaminya dalam diam dan berjalan pergi.
***
"Berapa?"
"Lima dolar saja. Ini kuberi harga bonus karena bunga ini stok terakhir sebelum aku merangkai yang baru."
Nala mengeluarkan dompetnya. Memberikan beberapa lembar uang pada penjual bunga di pinggir jalan. Dia mencari adakah toko bunga terdekat, dan menemukan bahwa toko bunga ini tidak terlalu jauh dari letak perhelatan acara yang sedang digelar sekarang.
Dia mendapat undangan selepas makan siang. Nala tidak tahu darimana undangan itu mendarat di atas meja kubikelnya, dan baru menyadari kalau Argi yang menaruhnya di sana setelah pria itu mengirimkan pesan dan meminta Nala untuk datang.
Nala sendiri tidak tahu mengapa dia datang ke acara dimana suaminya mendapat penghargaan sebagai pengusaha muda terbaik di kelasnya. Tidak hanya Nato Azda, ada dua kandidat lain yang sama besarnya dengan sang suami. Namun, Nala kali ini datang hanya untuk meramaikan, hanya untuk bertepuk tangan.
Serta menaruh bunga sebagai tanda ucapan selamat yang tulus akan penghargaan yang Azda dapatkan selama ini. Hasil kerja kerasnya membuahkan hasil. Tidak ada yang bisa membuatnya bangga lebih dari ini sebagai seorang istri.
Nala berjalan. Daripada menghentikan bis atau taksi yang melintas, dia lebih baik berjalan. Di saat beberapa tamu menghindari jalanan yang kotor dan asap kendaraan, Nala malah berkebalikan.
Sampai di aula pertemuan. Aula Tokyo yang sudah sering dijadikan tempat pertemuan besar antar pengusaha dan kalangan dari pemerintah jika menggelar acara.
Nala menunjukkan undangan yang dia bawa sebelum diperbolehkan masuk. Saat petugas di depan gedung mengatakan padanya bahwa Nala bisa mencari tempat duduk dimana pun yang ia inginkan dan menikmati hidangan yang disediakan.
Nala berterima kasih. Lalu, berjalan masuk ke dalam untuk melihat-lihat isi di dalam aula. Dimana dia untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di dalam. Selama kurun waktu tiga tahun pernikahannya, Azda mengajaknya hanya untuk mengabaikannya. Membiarkan Nala dipermalukan, dan pria itu akan pergi begitu saja melepas dirinya yang memilih untuk pergi menahan tangis seorang diri karena malu.
Matanya mencari-cari kemana sosok Argi. Atau sosok Nato Azda yang ingin dia berikan ucapan selamat. Nala bukannya tidak tahu hal ini, dia tahu. Dan rasanya sulit saat ingin mengatakan kau hebat atau kau luar biasa saat dia terlalu takut menghadapi reaksi balasan Azda untuknya.
Nala duduk di salah satu kursi kosong. Yang tidak terlalu jauh dari panggung mungil, di mana para pembawa acara tengah bersiap-siap bersama beberapa pemain musik di belakang. Dan di saat orang-orang besar dengan label yang mentereng secara tidak langsung membuat Nala tidak percaya diri.
Apalah dia dibanding mereka yang hadir di sini, kan?
Nala menarik napas panjang. Dia belum juga menemukan Argi yang biasanya datang tepat waktu. Asisten suaminya pasti yang mengemudi mobil saat ini. Karena setelah Nala pulang dari rumah ibunya, mencari gaun lama, Nala menemukan rumahnya sepi. Azda tidak kembali ke rumah.
Nala mengerjap. Ketika dia menemukan Nato Azda datang. Dan saat dia berdiri, menatap hampa pada pemandangan yang tengah disoraki oleh para tamu yang hadir.
Azda datang tidak seorang diri.
Dia bersama Aida Nahira, yang merangkul lengannya posesif. Senyum tidak lepas dari wajah cantiknya. Nahira tampil sempurna malam ini, memakai gaun terbaik dari deArragner ternamaan, memakai ikat rambut berlapis emas dan juga kalung perak sama yang Nala genggam pagi tadi, mengalung indah di lehernya.
Azda hanya mengangguk ala kadarnya. Tidak terlalu antusias dengan acara ini. Di saat dia berjalan, menyalami beberapa orang yang datang menghampiri. Dan melempar pujian bahwa mereka benar-benar seperti pasangan serasi dan sempurna.
Nala menunduk. Menatap bunganya dalam diam ketika dia mendongak, melihat Argi yang juga menatapnya. Pria itu memandangnya penuh rasa bersalah. Bersalah karena tidak seharusnya Nala melihat ini di depan umum. Dan menyakiti hatinya lagi.
Nala kembali duduk. Mendengar bisik-bisik dari belakang punggungnya yang mengatakan kalau gaunnya seperti gaun di tahun 80-an. Dan Nala mungkin akan membenarkan, kalau gaun ini adalah gaun kesayangan ibunya. Gaun tercantik yang pernah Nala lihat di potret kenangan ibunya semasa muda dulu.
Nala mencintai gaun ini, dan ibunya memberikan dengan senang hati sebagai bentuk warisan yang dia kagumi pada putrinya sendiri. Memakai gaun ini di acara resmi, bukan salahnya, kan?
Nala berdiri saat dia meremas bunganya. Ketika beberapa orang tampak saling menebar senyum untuk berfoto bersama. Atau para gadis yang notabene keturunan dari para pewaris kaya ini mencoba bermain mata pada pria-pria lajang yang berdompet tebal.
Azda menepuk salah satu pria paruh baya yang terus memujinya. Saat dia melihat Nahira tengah berbincang dan larut dalam obrolan, dia segera menarik diri.
"Kenapa kau di sini?"
"Ah, Azda," sapa Nala dengan senyum. Dia melambai pada pria berpakaian formal yang berprofesi sebagai juru kamera di dalam ruangan. "Bisakah kemari sebentar?"
Azda mengangkat alis. Saat pria itu bersiap membidik kameranya, dan Azda yang mendadak pergi, membiarkan dirinya seorang diri di depan kamera.
"Nona?"
"Maaf," Nala membungkuk. Berbalik pergi saat pria itu mendesah pelan dan berbalik.
"Selamat. Aku bangga padamu."
Nala menaruh bunga itu di atas tempat khusus yang memang ditunjukkan untuk Nato Azda. Dia menatap sang suami yang memunggunginya, yang melarikan matanya ke arah lain daripada melihatnya saat ini.
"Kau pasti benar-benar bangga sekarang. Tidak mudah mendapatkan predikat ini, kan? Kerja kerasmu tidak sia-sia."
Azda menoleh. Tersenyum lebar saat dia menatap mata suaminya yang terlalu pekat. Saat Nala mengulurkan tangan, bermaksud menjabat tangannya, Azda malah menarik bunganya kembali, meremasnya kencang. Dan mencekal tangan Nala sampai ke pintu belakang.
"Kenapa kau datang? Apa Argi yang memintamu datang ke sini?"
Nala belum menjawab saat Azda melempar bunga itu ke wajahnya. "Dengar, mau sampai kapan kau mempermalukan dirimu sendiri di acara ini? Aku sendiri bahkan tidak mau mengajakmu datang bersama. Dan kau masih punya niat untuk datang?"
"Aku terkadang tidak mengerti dengan jalan pikiranmu, Nala."
Nala menunduk. Menatap ikatan bunga yang terlepas, membuat bunga lily itu tercecer di atas rumput dengan kasar dan tak berdaya.
"Pergi sebelum aku menyeretmu paksa keluar dari acara ini. Sebelum aku benar-benar marah."
Nala masih diam. Saat dia mendongak, dan mendapati suasana hati Azda berubah buruk, dia tidak seharusnya mencari kematiannya sendiri.
"Aku minta maaf."
"Pergi."
Nala memungut bunga malang itu dalam diam. Menatap Azda yang berlalu begitu saja dan menatapnya tajam, menyiratkan kebencian yang amat dalam. Dan saat Nala mengusap helaian kelopak yang kotor, dia mendengar suara seseorang mendekat.
"Sebenarnya, apa yang Nato Azda lakukan itu tidak pantas. Apalagi terhadap perempuan."
Nala mendongak. Menemukan pria berbadan tinggi dengan jas hitam berpadu kemeja putih yang tampak mencolok berdiri di hadapannya. Senyum pria itu tidak sampai mata, tapi cukup membuat Nala lelah.
"Aku permisi."
Pria itu berdeham. "Kau ... Asha Nala, bukan?"
Nala terpaku. Menahan langkahnya diam selama beberapa saat sebelum dia berbalik, menemukan tatapan pria itu tertancap pada giok hijaunya yang berpendar redup.
"Tidak baik juga mengingat siapa aku. Kau tahu, aku salah satu dari mimpi burukmu semasa sekolah dulu."
Nala terdiam. Memiringkan kepala saat diam-diam sudut bibirnya melengkung ke atas.
"Aydin, kah?"
Pria itu tertegun. Menatap Nala dengan kedua mata mengerjap berulang kali dan mendesah pelan. "Ah, kau mengingatku."
Nala tertawa pahit. "Mata angkuhmu ... tidak bisa terlupakan begitu saja."
Aydin mendengus. Dia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan menatap Nala dalam gamang.
"Aida Nahira itu datang bersama Nato Azda. Dan melihatmu sekarang, aku berpikir kalau memang definisi teman itu benar adanya."
Nala mengangkat alis.
"Teman itu—kalau tidak mendukung, dia pasti menikung."
Nala menatap Aydin cukup lama. Lalu, dia diam-diam mengulum senyum. "Senang melihatmu lagi, Aydin."
Nala belum sempat berbalik saat Aydin berlari ke arahnya. Mengambil bunga itu dari genggaman tangannya dan memasang raut tanpa ekspresi.
"Kau tidak tahu atau kau lupa? Aku salah satu tiga besar yang meraih penghargaan ini bersama Nato Azda," Aydin mengangkat bunganya. "Karena tidak ada yang memberiku bunga secantik ini, jadi untukku saja, ya?"
Aydin menatapnya lekat-lekat. Saat Nala menghela napas, dan memandang pria itu yang siap berbalik pergi.
"Aku belikan bunga yang baru!"
Aydin menoleh ke arahnya. Mengangkat bunganya dan mengangguk.
"Aku menunggu! Sampai nanti!"
Dan membiarkan Nala seorang diri di taman belakang, meratapi sepi seorang diri. Namun, sebelum dia benar-benar pergi, dia menyempatkan diri untuk kembali melamun, memikirkan ucapan sang suami sebelum akhirnya kalah dan membiarkan kedua kakinya menuntun dirinya ke jalan pulang.