Aydin menunduk. Menemukan bunga lily yang jauh dari kata sempurna. Melainkan, hanya ada perumpaan yang menyedihkan. Seperti, bunga yang malang. Miris sekali bunga cantik ini harus hancur karena seseorang.
Kedua mata Aydin mengerjap. Menatap Nato Azda yang tengah bercakap-cakap santai bersama dua kolega paruh baya berasal dari jaringan telekomunikasi terbesar di Jepang. Bau-bau perArrangan bisnis mulai tercium. Apalagi, tidak hanya dirinya yang mendapati posisi kedua setelah makhluk arogan itu.
Ada Avin Gamaliel yang menduduki posisi ketiga. Saat tatapan Aydin menyapu Gaara yang sedang duduk bersama perempuan seksi entah jalang mana yang dibawa pria itu, sorot mata Avin Gamaliel tidak bisa berbohong.
Aydin juga laki-laki. Pria matang yang mengetahui benar sifat laki-laki lain. Nato Azda dan Avin Gamaliel.
Dengan dengusan, Aydin berjalan. Membelah meja makan saat dia memilah-milah mana makanan yang bisa dia makan. Di saat orang lain beramai-ramai mencari muka, dia sendiri enggan untuk bermain-main atau sekedar memamerkan senyum agar menarik perhatian.
Di saat mereka berlomba-lomba memamerkan pasangan dan harta, Aydin datang seorang diri. Dengan pakaian agak lusuh dan wajah mengantuk karena dia langsung datang tanpa beristirahat setelah perjalanan panjang nan melelahkan dari Birmingham.
"Bunga yang bagus."
Aydin mendengus mendengar suara dingin itu menyapa dari sisi sebelah kiri. Dia mencoba bolu cokelat, dan mengernyit. "Senang mendengar suaramu lagi, Yamanaka."
Aida Nahira mencibir. Menatap Aydin yang sama sekali tidak mau melihat ke arahnya, membuatnya mendengus tajam. "Kau masih seangkuh dulu rupanya."
"Setidaknya, aku tidak semurah Nato Azda yang rela lakukan hal bodoh demi dirimu," kata Aydin. Tersenyum manis saat dia menatap wajah Nahira dari dekat. "Bolunya tidak terlalu enak. Jangan dimakan."
Nahira menipiskan bibir. Menaruh gelas anggurnya di atas meja saat sorot matanya berubah dingin. "Kau belum berubah."
"Benarkah?" Aydin mengunyah pie s**u di dalam mulutnya. "Aku merasa menjadi pribadi yang lebih baik. Yang jelas, aku bukan lagi tukang palak. Yang akan memaksamu untuk memberikan uang saku, atau Nala."
Bibir Nahira menipis. "Jangan bawa-bawa dia di dalam percakapan kita."
Kepala Aydin tertunduk. "Kau benar-benar teman yang buruk, Yamanaka. Aku berpikir, tidak ada gunanya memiliki teman di dunia ini. Karena pertama, mereka bisa saja semodel denganmu yang muka dua. Atau kedua, dia yang menghancurkanmu. Semacam duri di dalam selimut?"
Aida Nahira hampir saja meremukkan gelas kaca yang dia pegang, sebelum suara Azda menarik kesadarannya.
"Selamat untukmu, Azda"
Aydin menatapnya sebentar, lalu tanpa berbasa-basi pergi begitu saja. Berbalik tanpa menghiraukan tatapan Azda yang mementingkan ego dan reputasi tengah menatapnya tajam.
Dan saat sorot mata kelam itu turun ke bawah, alis Azda menyatu menemukan bunga lily yang telah rusak, bunga serupa yang Nala bawakan untuknya ada di tangan pria itu.
***
Jika ini akhir pekan, yang akan Nala lakukan adalah membersihkan rumah, mencuci pakaian, dan pergi mengunjungi ibunya yang tinggal seorang diri di rumah.
Tetapi, sebelum itu, dia akan pergi ke suatu tempat. Untuk memenuhi tugasnya terlebih dulu. Seperti agenda rutin yang memang sudah seharusnya dia lakukan setiap seminggu sekali.
Dia sudah mengajak Azda. Berulang kali. Meminta pria itu untuk datang bersama mengunjunginya, mungkin saja, sosok yang telah terbaring itu merindukannya. Merindukan suara putranya.
Nala mengikat rambutnya yang sudah tersisi rapi. Setelah mandi, setelah dia menyantap roti bakar, dan setelah pelayan dapur menyiapkan sarapan, Nala berniat mencuci pakaiannya sendiri sebelum matahari naik. Dan malam harinya, pakaian yang ia cuci sudah kering dan siap disetrika.
Langkah Nala terhenti saat dia kembali naik ke atas. Pelayan rumah tangga memintanya juga mencuci seprai di kamar sang suami. Nala tidak keberatan sama sekali untuk mencucinya.
Ketika dia terdiam. Mengetuk pintu itu dua kali, dan tidak ada sahutan dari dalam. Nala mengernyit. Baru sadar kalau Azda pulang larut. Dia tidak tahu kapan suaminya kembali karena dirinya sudah tenggelam dalam mimpi.
Nala menarik napas panjang. Membuka gagang pintu dengan hati-hati. Dia tidak akan membangunkan Azda kali ini, karena ini akhir pekan, Azda juga perlu istirahat setelah bekerja keras.
Kedua mata Nala melebar. Menemukan dua sosok yang bergerumul di atas ranjang. Selimut yang tersingkap menjelaskan segalanya. Ketika tangannya gemetar, dan saat Nala hendak melangkah mundur, dia terpaku.
Menemukan salah satunya membuka mata. Menatap ke arahnya dengan waspada, sebelum sudut bibirnya tertarik ke atas.
"Hei, Azda. Istrimu ada di sini."
Kedua mata yang menyembunyikan iris segelap malam itu terbuka. Perlahan demi perlahan. Menyesuaikan cahaya di dalam kamar dari tirai-tirai kamar yang tertutup.
Nala membeku selama beberapa menit. Saat dia berdeham, mencoba tersenyum lemah. "Aku datang untuk—mengambil seprai kotor."
Aida Nahira mengulum senyum. Tanpa memedulikan ketelanjangannya, dia turun dari ranjang, memainkan rambut pirangnya. Mengikat rambutnya tinggi-tinggi dan dengan sengaja memamerkan beberapa bekas merah yang tampak jelas di antara leher, tulang selangka dan d**a.
"Ups. Maaf."
Nahira memungut pakaiannya. Tanpa malu memakainya di depan Nala yang mematung. Saat gadis itu melenggang pergi meninggalkannya bersama Azda yang kembali memejamkan mata.
"Aku tunggu di meja makan!"
Nala mendengar langkah kaki itu menuruni tangga, lalu tidak lagi terdengar. Saat dia kembali maju dengan canggung.
"Aku akan—,"
Azda bangun dari ranjang. Duduk sebentar untuk mengusap wajah dan rambutnya yang kusut. Ketika sorot mata Nala yang tengah menahan luka hanya mampu menatap punggung itu dalam diam.
Azda memakai celana tidurnya. Tanpa perlu memakai atasan dan saat dia mengacak rambutnya, berjalan meninggalkan Nala seorang diri di dalam kamar. Yang membatu, yang menatap saksi bisu kegiatan semalaman antara Azda dan Nahira.
Nala menarik napas. Mencoba untuk tetap tegar dan baik-baik saja saat dia membungkuk, melepas kain di ujung ranjang, dan harus berulang kali menahan napas saat dia menemukan jejak basah itu masih melekat di atas seprai putih s**u yang kini meninggalkan noda.
Nala meremas seprai itu. Mencoba menepis perasaan hancurnya sendiri ketika dia menggulungnya menjadi satu, dan melepas sarung bantal bersama guling. Kemudian, melangkah turun ke lantai utama, menemukan keduanya tengah sarapan bersama dan Nala berbalik, meninggalkannya keduanya dalam diam yang tengah berbincang hangat.
Saat langkahnya terhenti, menemukan Argi yang menatapnya gamang, Nala hanya tersenyum sebagai sapaan pagi. Dan kembali berjalan pergi membawa seprai kotor itu untuk dicuci.
***
"Apa kabar, Bibi Kana?"
Nala tersenyum mengusap batu nisan bertuliskan Nato Kana yang tampak mulai terkikis karena musim. Kedua matanya mengerjap, sesaat setelah Nala mencoba untuk menghalau buliran airmata yang menumpuk di pelupuk.
"Kabarku baik. Aku baik," Nala menarik napas panjang. Memainkan taburan bunga yang sebelumnya ia beli di depan pemakaman untuk ibu mertuanya. "Azda juga baik. Bibi Kana tidak perlu cemas. Dia makan dengan baik. Azda baik-baik saja."
Nala menunduk. Menatap gundukan tanah yang basah setelah dia menyiraminya dengan air. "Jangan khawatir, Ibu juga baik-baik saja. Dia terkadang bercerita, kalau dia merindukan Bibi Kana. Merindukan saat-saat kalian berbincang bersama."
"Yah, walau terkadang Ibu berbohong tentang kesehatannya sendiri. Aku pernah melihat, ibuku terbatuk setelah makan malam. Ada darah di telapak tangannya. Aku berpura-pura seakan tidak melihatnya. Bahkan, ketika ibuku mendorong kursi rodanya pergi untuk mencuci tangan, matanya tidak bisa bohong."
Nala tersenyum saat jemarinya memainkan kelopak bunga di atas gundukan tanah. "Maaf, Bibi Kana. Aku belum bisa membawa Azda datang untuk berkunjung. Tetapi jangan khawatir, jauh di lubuk hatinya dia pasti mendoakan ibunya."
Kepala Nala menengadah, memandang gumpalan awan yang bergerak seperti kapas putih di lautan biru bernama langit dengan mata berkabut. Dia tidak tahu mengapa dia ingin menangis sekarang. Mungkin, sepinya suasana atau hembusan angin yang mengetuk kulitnya, atau mungkin pedih di hati yang tak bisa ia jelaskan.
"Aku minta maaf,"
Nala berbisik pelan. "Jika, aku tidak bisa menjadi istri yang baik. Aku belajar memasak, beberapa kali di akhir pekan ikut kelas memasak. Rasanya menyenangkan. Dan mungkin, masakan yang kubuat tidak bisa menyenangkan hati suamiku."
Kedua mata Nala mengerjap. "Aku payah, kan?"
Kepalanya tertunduk. Menatap kedua jemarinya yang saling bertaut satu sama lain.
"Bibi Kana tidak perlu memikirkannya. Tidak hanya Azda yang bilang masakanku buruk. Orang-orang di rumah juga berkata hal yang sama. Lebih baik, orang gila yang memasak dibanding aku."
Nala mendengus. "Hanya Argi yang terkadang mau menghabiskannya. Aku tidak tahu, apakah perutnya sakit atau dia mengalami mual-mual setelah itu," Nala tertawa pelan. "Dia benar-benar baik."
"Aku akan mengunjungimu lain kali, Bibi Kana. Sampaikan salamku pada Kakak Azka dan Paman Azri. Semoga kalian bertiga bahagia di sana."
Nala bangun dari tempat duduknya. Menatap nisan itu sekali lagi dengan senyum, kemudian berjalan pergi. Meninggalkan isi pemakaman yang sepi.
Mungkin, mereka tidak lagi ingat pada kematian yang membayang. Di saat Nala merasa hari-harinya tidak lagi sama. Di saat Nala selalu berpesan pada dirinya sendiri untuk hidup lebih baik.
Karena suatu saat nanti, kau pasti membaik.
Nanti, yang mungkin akan berakhir dengan kata tidak pernah.
Nala menunduk. Meremas tas selempangnya saat dia menggigit bibir bawahnya. Menarik napas panjang guna bertahan dan tidak terjatuh saat isi kepalanya terasa penuh.
Nala menatap jalan di sepanjang makam yang sepi. Selain ibu tua yang berjualan bunga dan air di dekat pintu masuk, yang tampaknya sedang berusaha menahan kantuk.
Langkah Nala terhenti. Ketika dia menghela napas, dan membersihkan tangga yang terbuat dari tanah dalam diam. Mendudukkan diri di sana sampai keadaan membaik. Sampai hatinya yang bergejolak mulai padam.
Dan sampai airmatanya berhenti mengalir.