Nala menatap ibunya yang tersenyum berkali-kali mendapatkan putrinya membawakan bingkisan berupa brownies cokelat yang memang langka dijual di toko kue langganan sang ibu semasa muda. Karena brownies ini paling laris, dan saat Nala seringkali mendapati dirinya gagal mendapatkan makanan terbaik ini untuk sang ibu di rumah.
"Enak?"
Kepala ibunya terangguk. "Kau mau? Sini, Ibu suapi."
Nala tersenyum. Mengangguk pelan. Ketika dia merapatkan dirinya ke dekat sang ibu, dan merasakan potongan kecil brownies itu mendarat di dalam mulutnya.
"Ibu benar, ini yang terbaik."
Asha Taya tersenyum. Saat dia mengangguk dan mengusap tangannya. "Saat kau kecil, Ibu sering membawamu ke sana. Tetapi, pemilik toko sudah lama pergi karena kanker rahim. Jadi, Ibu sudah lama tidak mampir ke sana. Dan baru tahu, kalau putrinya yang meneruskan usaha besarnya."
Nala mengangguk dengan senyum. "Ini lezat. Aku akan coba membuatnya lain waktu."
"Ibu menunggu."
"Ibu akan menjadi jurinya," katanya, riang.
Taya terkekeh. "Tentu. Tidak akan ada penilaian antara satu sampai sepuluh. Yang ada hanya sepuluh dan sepuluh."
Nala tertawa.
"Bagaimana? Azda juga pasti memberikan penilaian yang sama dengan Ibu, kan?" Senyum Taya terbit layaknya matahari yang bersinar di pagi hari. "Apa dia memberikan nilai seratus? Sudah Ibu duga! Dia pasti setuju denganku. Kue buatan putriku memang yang terbaik." Tidak lupa memberikan kedua jempolnya pada sang anak yang membeku.
Nala menghela napas. Sebisa mungkin menarik sudut bibirnya untuk ikut tersenyum. Saat dia mengusap kerutan di bawah mata, dan di pipi sang ibu yang terlihat jelas saat ibunya sedang tersenyum.
"Ibu mau berjanji padaku satu hal?"
Taya terdiam. Menurunkan kedua jempolnya dengan hati-hati saat kedua matanya menyorot bingung. Tetapi, melihat senyum sang anak dan bagaimana kedua matanya tampak memancarkan sesuatu yang lain, Taya tidak bisa berkata tidak.
"Apa pun."
"Berjanjilah untuk tetap hidup. Setidaknya, sampai aku melihat Ibu bahagia dan bebas."
Sang ibu terpaku.
"Teruslah tersenyum seperti tadi," Nala mengulurkan kedua tangannya, menarik sudut bibir ibunya hati-hati dengan kekehan pelan khas anak-anak. "Nah, begini."
"Nala."
Nala tertawa. Dan perlahan, tawa itu lenyap saat dia mencoba sekuat tenaga untuk tidak menangis. "Aku hanya takut."
"Apa yang kau takutkan?"
Nala meremas tangan ibunya di atas pangkuan. "Ibu pergi."
"Nala," remasan di tangan putrinya mengerat. "Ibu di sini. Ibu saja belum menggendong cucu darimu. Kenapa Ibu harus pergi?"
Nala menatap matanya. Saat sorot itu berubah luka, dan Nala tahu benar. Sekuat apa pun ibunya mencoba berkata dia baik-baik saja, dia berbohong.
Ibunya berbohong.
"Ibu mau cucu perempuan atau laki-laki?"
"Ah?" Taya tersenyum. "Mana saja. Yang penting dia sehat, dan dia akan tumbuh menjadi anak yang pintar dan baik di masa depan."
Nala tertawa. "Huh. Sederhana sekali."
Ibunya ikut tertawa. "Sekarang giliran Ibu memintamu untuk berjanji."
Nala terpaku.
"Kau harus bahagia. Cukup sudah putriku menderita karena keluarganya berantakan. Nala berhak bahagia. Dan melihatmu sekarang, aku yakin kalau Azda pria yang baik."
Nala membisu. Lidahnya kelu untuk sekedar menjawab.
"Ibu berharap banyak padanya. Saat Ibu melepasmu kala itu, aku bicara banyak pada Azda. Menitipkanmu padanya. Meminta Azda agar menjaga putriku dengan baik. Nala sudah pernah terluka, jangan buat dia menangis lagi."
Senyum sang ibu kembali melebar. "Dan Nala tahu apa jawabannya saat itu?"
Kepala Nala menggeleng lemah.
"Azda berjanji. Dia menyanggupinya. Sederhana, namun dia bisa."
Tangan ibunya meremas kedua lengannya dengan sayang. "Saat Ibu pergi nanti, Ibu akan baik-baik saja. Setidaknya, Ibu tahu kau sudah aman di tangan yang tepat. Ibu akan pergi dengan senyuman."
"Jangan cemas," Nala menghela napas. Menatap langit-langit ruang keluarga di dalam rumahnya. Yang jauh dari kata besar, namun terasa nyaman. "Aku baik-baik saja. Ibu tidak perlu mencemaskanku."
Taya tersenyum. Dia mengulurkan kelingkingnya pada sang anak. Menatap Nala hangat. "Sekarang, kita sudah saling berjanji. Kemari, mana kelingkingmu?"
Nala terpaku. Menatap kelingking sang ibu yang terjulur di hadapannya. Saat dia tertawa, mengulurkan kelingking kecilnya dan menautkannya, dia mendengar suara ibunya yang tertawa lepas.
***
Dentaman suara musik mengalun sampai ke ruang VVIP yang terletak agak jauh dari ruangan biasa. Yang sesak dipenuhi remaja labil, atau perempuan-perempuan yang dengan sengaja memamerkan beberapa lekuk menonjol tubuh mereka sebagai ajang untuk menjual diri demi uang.
Tuntutan hidup memang sekeras itu. Terkadang, ada beberapa hal yang memaksa manusia untuk menabrak aturan dan adat istiadat. Menabrak larangan dan menjadikannya kewajiban. Karena demi tuntutan hidup yang memang luar biasa memaksa.
Gaya hidup yang harus memamerkan kekayaan. Memang, pada dasarnya manusia akan memuji mereka yang terlihat lebih hebat, lebih tinggi dan lebih memiliki uang dibanding mereka yang terlihat biasa-biasa saja dengan gaya sederhana.
Memamerkan kehidupan malam, memamerkan koleksi mobil, atau mampu membeli ponsel baru yang belum rilis selama dua puluh empat jam. Semua sudah menjadi makanan sehari-hari di era globalisasi yang semakin maju.
Orang-orang tidak akan bisa membedakan mana yang dilarang, mana yang melanggar aturan, dan mana yang beresiko tinggi di masa depan. Karena seutuhnya, uang berbicara. Dan seberapa besar mereka di akui yang terbaik di kelasnya.
Seperti itulah mereka-mereka yang datang malam ini ke bar malam. Mereka yang seakan-akan mencoba melupakan masalah, namun ada kalanya hanya ingin merasakan menjadi sosok lain di dalam diri mereka sendiri.
Argi menatap beberapa pasangan yang terlibat aksi tidak senonoh di lantai dansa. Seakan memang sudah menjadi makanan sehari-hari dan terbiasa, dan saat dia harus menelan semuanya demi majikan dimana dia telah bersumpah untuk setia.
"Mau apa, sayang?"
"Mobil, apartemen dan uang," ujar salah satu gadis berpakaian minim berwarna biru gelap. Kakinya yang polos terlihat menggesek-gesek kaki seorang pria tua yang tengah terkekeh, menjalankan tangannya ke d**a padat si gadis yang Azda taksir baru berusia delapan belas sampai sembilan belas tahun.
"Kita langsung saja, Tuan Darren."
"Sebentar, kesayanganku sedang merajuk," kata Tuan Darren, sembari mematikan rokoknya di atas asbak, dan mencium dalam bibir manis yang duduk gelisah di atas pangkuannya.
Azda memundurkan wajah. Mendengus dengan ekspresi masam saat dia menatap Argi yang masih memandang pemandangan menggelikan di depannya datar.
"As your wish, jangan pergi dulu malam ini. Datang ke tempat biasa. Kau nakal, dan kau harus diberi hukuman."
"Aw, tentu. Sampai nanti." Gadis itu melenggang pergi setelah menerima kartu kredit dari Tuan Darren. Membiarkan mereka berdua kembali bicara.
"Tuan Uchiha, aku mendengar kabar kalau kau dan Aida Nahira akan bertunangan."
Azda berdeham. "Aku berusaha untuk menekan berita itu sebelum mendapatkan hari baiknya, Tuan Darren."
Tuan Darren tertawa keras. "Astaga. Tunangan, setelah itu menikah. Apa kau tahu arti pernikahan?"
Azda terdiam. "Jika aku tidak tahu, aku tidak mungkin mengajak kekasihku serius kali ini."
Argi menatap Nato Azda dalam diam. Saat dia mendesah, menundukkan kepala dan memilih untuk menatap objek lain.
"Kau benar. Bagus. Jiwa anak muda," kata Tuan Darren sembari tertawa. "Aku juga sudah menikah. Hampir empat puluh tahun. Tetapi, karena istriku tidak lagi secantik dulu, tidak lagi sekencang dulu, dan yang paling penting tidak bisa memberiku kepuasan, aku melarikan diri mencari mainan lain. Dan gotcha, aku menemukannya."
Tuan Darren sedikit membungkuk untuk berbisik. "Dan rasanya? Sangat menyenangkan. Kau tidak akan bisa menggambarkan dengan kata-kata."
Azda menipiskan bibir. "Istri Anda tidak tahu?"
Tuan Darren tersenyum. "Tentu saja tidak. Yang terpenting, aku bisa memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan berbelanja, berkumpul bersama teman sosialitanya. Dia punya kehidupan lain, begitu pula diriku."
"Bagaimana jika istri Anda tahu?"
Tuan Darren menghembuskan asap dari bibirnya. "Yah, mau bagaimana lagi. Aku malas meladeni perempuan yang cengeng. Dia akan menangis, dan menangis. Lalu, menyalahkanku. Biarkan saja. Dia tidak akan bisa hidup tanpa uangku."
Azda terdiam. Mengangguk pelan saat dia mendorong map dimana perjanjian itu harus segera ditandatangani, dan setelah itu Azda akan mendapat keuntungan yang jauh lebih besar karena berhasil memanipulasi Tuan Darren.
"Kesepakatan kita. Lima puluh, lima puluh," Azda menyeringai. "Kita impas, bukan?"
Tuan Darren tertawa. "Tentu! Tentu!" Tanpa berpikir panjang, dia menandatangani dokumen itu sesuai kesepakatan dan semua penjelasan Azda yang mendetail, dia sudah memahami isi perjanjian mereka dengan baik.
Tuan Darren kembali tertawa saat dia mematikan rokoknya. "Aku tahu, Aida Nahira adalah balerina terbaik di negeri ini. Kau berkencan dengan orang yang benar, Uchiha."
"Aku tahu, aku sudah memilih yang terbaik dan sempurna." Azda berujar bangga. Saat dia meminta Argi untuk membawa dokumen itu ke dalam tasnya. Dan Argi dalam diam, memasukkanya ke dalam tas.
"Semoga malammu menyenangkan, Tuan Darren. Maaf, karena aku tidak akan mabuk malam ini."
Tuan Darren mengangguk. "Ya, baiklah. Tidak apa. Pergilah. Temui kekasihmu."
Azda membungkuk dua kali. Dan meninggalkan beberapa lembar uang pada bartender untuk membayar minuman Tuan Darren. Setelah itu, beranjak pergi.
"Sebentar."
Sebelum Argi masuk ke dalam mobil, Azda baru teringat sesuatu. "Uangku cair setengah jam lagi. Dan Nahira sedang merajuk memintaku mengirimkan uang. Kau bisa menghubungi Karin untuk mentransfer uang padanya?"
Argi mengangguk. "Tentu."
"Dia meminta tidak terlalu banyak. Tapi, berikan berlebih. Kirimkan saja lima ratus juta malam ini untuknya."
Argi terdiam. Sebelum, dia bersuara pelan. "Baik, Tuan Uchiha."
Azda membuka pintu penumpang Audi SUV miliknya. Saat mobil berjalan menuju rumah, dan saat dia teringat sesuatu.
"Aku mencurigai Aydin."
Argi melirik dari spion tengah dalam mobil.
"Dia bukan dari keluarga berada. Dan dia juga bukan terlihat pekerja keras. Tapi, mengapa dia bisa mendapatkan posisi terbaik selain Gaara dan aku?"
Argi tidak menjawab. Dia hanya diam, menatap Azda yang sesekali mengerutkan kening, tapi selepasnya kembali berwajah datar.
Saat pria itu memejamkan mata. Dan berbicara sesuatu yang membuat Argi kehilangan kata-kata.
"Aku akan mempersiapkan pernikahan. Sebelum itu, ada beberapa hal yang harus aku kerjakan," Azda menghembuskan napas panjang dengan kedua mata terpejam. "Seperti menyingkirkan Nala dan ibunya, semisal?"