DELAPAN: Firasat!

1969 Words
Aku yang sudah berjarak 15 meter dengan Felix sigap membuka pintu dan berlalu dari pandangannya, setelah melewati pintu, aku mencari sebilah besi untuk mengganjal pintu itu agar tidak bisa dibuka dari sisi lorong. "SEMUANYA, LARI! SELAMATKAN DIRI KALIAN!" Perintah ku dengan suara lancang hingga terdengar sampai ke telinga semua dokter yang berada di ruang penjagaan ini. "Ada apa dengan mu Melinda!? Jelaskan secara pelan-pelan apa yang membuatmu takut setengah mati seperti ini?" Ucap Salman, salah satu dokter yang telah menjadi seniorku di rumah sakit ini. "Apa kau baru melihat hantu?" Ucap suster yang berada di samping Salman. Para dokter yang lain hanya melirik ku dengan tatapan kebingungan melihat sikap ku yang mungkin mereka anggap aneh, namun semua ini terjadi begitu cepat, tidak ada waktu untuk berfikir apalagi bertanya tentang apa yang sedang terjadi di rumah sakit ini. "MENJAUHLAH DARI FELIX! Dan orang-orang yang mempunyai mata dengan urat di sekitar retina matanya!" Jelas ku mempersingkat. "Tenanglah, ada apa dengan Felix?" Tanya Salman yang masih belum mengetahui keadaannya. "CUKUP DENGARKAN AKU DAN PERGILAH DARI SI-" Belum selesai aku berbicara, pintu yang menghalangi ruangan ini di gedor-gedor. Semua dokter yang berjaga di ruangan ini terkejut bersamaan suara pintu yang digedor cukup kencang, semakin lama gedoran itu semakin cepat, kami masih terdiam membisu memandangi pintu yang diganjal besi itu perlahan-lahan bergetar dan baut di sisi pintunya mulai bergoyang kendor. "Siapa itu?" Tanya Salman kebingungan yang mungkin juga menjadi pertanyaan setiap nyawa diruangan ini. "Iii-tt-u mereka!" Jawabku dengan mulut yang terbuka lebar tidak percaya, seiring berjalannya waktu, gedoran tangan yang berada dibalik pintu itu semakin bertambah hingga akhirnya membuat besi di gagangnya bengkok dan terpental. Kami menatap pintu itu dengan seksama, menanti wajah yang akan keluar dari balik pintu, sang mayat berjalan menampakkan dirinya, tidak hanya satu, melainkan 4, 1 mayat, 2 pengantar jenazah, dan satu lagi, teman kerja ku, Felix. Air mataku tak bisa dibendung, melihat wajah pucat nya yang dulu berwarna coklat matahari, membuatku tidak bisa mempercayai apa yang kulihat hari ini, Matanya tidak berurat melainkan berwarna hitam pekat, namun bola mata nya kini menunjukkan sebuah kekosongan yang sangat jelas terlihat, namun mempunyai banyak pertanyaan bagaimana ini semua bisa terjadi, atau mungkin pertanyaan yang tidak ada seorang pun bisa menjawabnya, bagaimana semua ini akan berakhir?. "MELINDA! AYO LARI! Bagaimana bisa kau melamun di keadaan seperti ini!" Suara seseorang terdengar samar di telingaku, aku memfokuskan pandanganku kepada orang itu. "Felix?" Ucapku kepada seseorang yang terlihat samar di mataku. "Apa? Untuk apa kau masih menyebut nama yang jelas-jelas sudah menjadi mayat dan berusaha menyerang kita, ini aku Salman! Ayo kita segera pergi dari sini!" Sahut Salman sedikit berteriak karena keadaan ruangan yang sudah mulai ricuh dan banyak suara teriakan dimana-mana. Aku tersadar dari lamunan ku yang berisi kesedihan setelah Salman menarik paksa tanganku, melihat keadaan sekeliling, semuanya terlihat mengerikan, para mayat hidup itu membabi-buta demi mengisi perut lapar mereka, mengejar para manusia yang masih normal dan mengubahnya menjadi seperti mereka, sesekali melompat kemudian merobek daging para dokter yang berada di ruangan ini. Tanpa pikir panjang, Salman langsung bertindak mencari sebuah benda padat yang mungkin bisa dijadikan senjata, beberjaga-jaga apabila mereka melihat dan mengejar kami, aku berlari mengikuti Salman, menuju arah lift yang berada di ujung koridor lobby lantai ini. "Tolong aku! Siapapun tolong aku!" Teriak seorang perawat yang berjarak hanya beberapa meter di belakang kami. Aku menoleh ke arah belakang, wanita itu berteriak sambil berlari panik, diikuti seseorang dibelakangnya, mengejar nya dengan mulut yang di penuhi darah, wajah pria yang mengejarnya sudah terlihat tidak beraturan, membuat wajahnya mirip seperti habis terkena air panas yang mendidih. Aku menunggunya, dengan perasaan takut yang amat besar, aku memaksakan tubuhku untuk tidak meninggalkan orang lain lagi, karena insiden yang menimpa Felix sudah menjadi perasaan bersalah terbesar yang pernah aku alami selama bekerja menjadi dokter. "Apalagi yang kau tunggu! Kita harus berlari ke lift itu sebelum terlambat!" Perintah Salman menyuruhku untuk meninggalkan wanita itu. "Tidak! Aku tidak akan meninggalkan nya!" Jawabku menunjuk wanita yang masih berusaha menghindar dari kejaran monster di belakangnya. "Setidaknya kita harus membuat lift itu terbuka lebih dulu!" Aku menghiraukan Salman dan masih menunggu wanita itu, Salman berinisiatif untuk lebih dulu memencet tombol naik di lift hingga lift menghampiri kami dari lantai 1 menuju lantai 5, kami berada di lantai paling atas gedung rumah sakit ini. Pintu lift terbuka lebar di belakangku, Salman yang sudah duluan menahan pintu lift itu agar tidak tertutup. Wanita itu sudah sangat dekat denganku, begitu juga dengan mahluk yang mengikutinya, aku mengambil sebuah bangku besi dan bersiaga menunggu momen yang tepat untuk menghempas benda ini ke arahnya. "Merunduk!" Perintahku kepada wanita yang sudah berada di depanku, dia menunduk, tapi tidak dengan mahluk yang mengejar nya, dengan ancang-ancang yang mantap dan momen yang sudah tepat, aku mengayunkan bangku besi yang kupegang dengan sekuat tenaga, mengarah tepat di wajahnya dan membuat tubuhnya terlempar ke tembok yang ada disisi kiri kami. Wanita yang selamat dari kejaran itu langsung kubawa ke arah Salman, kami sampai di dalam lift, namun sial, kejadian yang tidak kami inginkan terjadi. Pintu lift sama sekali tidak mau tertutup, seperti ada sensor yang menghalangi nya agar tidak bisa berfungsi. Salman tahu penyebabnya, ia langsung menekan tombol darurat, mic berbentuk speaker yang terhubung langsung ke tempat operator gedung rumah sakit ini berada ternyata membuat lift itu tidak bisa di operasikan. "Apa ada orang disana!? Ini aku dokter Salman, ada sesuatu yang aneh terjadi di gedung ini, kami berada di lift lantai 4, untuk siapapun yang melihat kami, kami mohon aktifkan kembali pengoperasian lift ini!" Teriak Salman kepada mesin itu. "Dokter Salman, ini ruang operator! Di mohon untuk tetap tenang dan bertahan di atas sana sementara waktu, kami akan mencari cara untuk mengeluarkan kalian!" Jawab seorang pria yang keluar dari speaker. Kami bertiga saling bertatapan, tidak mengerti apa yang dipikirkan oleh pihak rumah sakit, panik yang tak terbendung di diri kami membuat kami kehilangan akal dan berfikir cara satu-satunya agar kami selamat adalah turun ke lantai yang ada dibawah. "Apa maksudmu! Nyawa kami dipertaruhkan disini! Apa kau tahu apa yang sadang terjadi di lantai ini!? Cepat operasikan liftnya saja! Dan selamatkan kami sekarang juga!" Ucap wanita yang bersama kami, aku tahu betapa hebat ketakutan yang ia alami saat melihat ia dikejar oleh monster mengerikan itu tadi. "Aku sangat minta maaf, tapi ini kebijakan dari kepala rumah sakit, kami sudah memantau kalian dari CCTV 10 menit yang lalu, dikarenakan pihak rumah sakit belum memahami situasi nya, mereka mengunci seluruh akses yang ada di lantai paling atas ke lantai dibawahnya, agar mahluk-mahluk itu tidak menyebar ke sisi lain rumah sakit!" Suara terakhir itu membuat kami mematung, menunggu ajal yang akan mendatangi kami, kebijakan rumah sakit menggunakan metode seperti ini mungkin bertujuan meminimalisir korban jiwa, tapi apakah nyawa kami para dokter yang ada diatas sini sudah tidak berharga. Aku bertanya-tanya kepada diriku sendiri. "Apa mereka sudah gila!? HEI K*PARAT! CEPAT NYALAKAN LIFTNYA!" Ucap Salman geram seraya memukul mesin berkali-kali menggunakan tangannya, bukan jawaban yang ia dapat, melainkan suara alarm darurat yang tiba-tiba berbunyi cukup nyaring di seluruh sudut gedung rumah sakit ini. "Sudah cukup! Lebih baik kita cari cara lain untuk pergi dari sini!" Sahutku memberi solusi. "Kkk-kawan-ka-wann! Lihat itu!" Sahut perempuan yang bersama kami dengan suara terbata-bata, jarinya menunjuk ke arah pintu yang berjarak sekitar 30 meter diujung lorong, pintu yang berhadapan dengan lift yang sedang kami singgahi. Kawanan monster atau bisa disebut zombie, keluar bersamaan dari pintu itu, bertabrak-tabrakan dengan zombie yang berada di sampingnya. Wajah yang dulunya merupakan temen kerja kami sekarang telah berubah, berlari ke arah kami yang terlihat seperti mangsa empuk untuk para kawanannya, jumlahnya mencapai kurang lebih 20 jiwa, membuat kami panik tak karuan dan hanya berfikir bahwa kami akan berakhir disini. "Lari ke pintu itu!" Teriak Salman yang belum menyerah, ia tidak ingin berakhir disini tanpa berusaha terlebih dahulu. Kami berlari melewati pintu yang ada disamping lift, tidak peduli arah mana yang kami tuju, intinya kami harus berlari, menghindari pemangsa lapar yang mencoba menjadikan kami makanannya, sesekali 1-2 zombie sudah dekat dibelakang kami, tapi Salman mengangkat besinya dan mengayunkan nya ke kepala mereka satu persatu dan terus berlari, melindungi kami agar tidak tertangkap oleh mereka, dan menjadi seperti mereka. Berlari tanpa arah memang terdengar seperti manusia putus asa, namun hanya ini usaha yang bisa kami lakukan, untuk tidak menyerah begitu saja, dan memberikan nyawa kami secara cuma-cuma. "Masuk ke ruangan itu!" Perintah Salman menunjuk ruangan berisi tempat penyimpanan obat dan cairan, butuh kartu akses agar bisa masuk kesana. Salman pun menyelak kami berdua, dengan sigap ia mengeluarkan sebuah kartu dari saku belakangnya dan menempelnya di pintu, setelah pintu berhasil terbuka. Kami langsung masuk kemudian menutupnya. Pintu yang menggunakan akses card merupakan pintu yang sangat kuat dan tidak bisa dijebol, dan kacanya pun tidak tembus pandang. Setelah kami sampai di dalam ruangan bersuhu rendah itu para zombie yang mengejar kami tadi terhenti di depan pintu, mereka menggedor pintu sebentar kemudian berhenti, karena mungkin kaca satu arah ini menyembunyikan keberadaan kami. "Mereka berhenti?" Tanya Salman. "Apa mungkin karena mereka tidak melihat kita?" Jawabku menebak-nebak. "Mungkin, karena pintu ini memang menggunakan kaca satu arah. Apapun alasannya setidaknya aku bersyukur masih bisa beristirahat sebentar disini" Jawab Salman. Salman duduk di lantai pojok agar bisa memposisikan tubuhnya untuk rileks bersandar, sedangkan aku hanya bersandar di dekat pintu menghadap ke arah luar, melihat wajah Felix yang nampak kosong beserta kawanannya, membuatnya tidak terlihat seperti Felix lagi. Belum sampai 1 menit kami beristirahat, kami menyadari keberadaan telfon genggam yang berada menempel di tembok, dilapisi kotak berbahan plastik yang menyelimuti alat interaksi tersebut agar tidak termakan suhu. Salman mengangkat gagangnya perlahan, memencet nomor satu persatu, nomor yang ia tekan akan menghubungkannya dengan meja lobby yang berada di lantai satu. "Tunggu! Jangan nomor itu!" Sahutku yang membuat Salman menghentikan jarinya di nomor terakhir. "Kenapa? Mungkin dokter di lobby akan membantu kita" Ucap Salman berharap. "Tidak, kita harus memikirkan hal terburuk apabila meja lobby sudah mengetahui insiden ini dan sudah mendapatkan instruksi dari kepala rumah sakit untuk tetap menyembunyikan kejadian ini. Mungkin kita akan membuang kesempatan ini dan membuat komunikasi di lantai ini diputus" Jelasku membaca situasi. "Lalu siapa yang harus kita hubungi?" Aku menaruh tanganku di dagu, sedikit melirik ke arah atas mencari jalan keluarnya. "Aku tahu! Kita bisa menghubungi adiknya Felix yang berada di bagian farmasi lantai 2, dan menelfon nya secara pribadi melalui ponselnya! Aku punya nomornya dan sekarang masih jam 7 kurang, seharusnya dia masih berada di dalam gedung ini" Ucapku seraya mengambil alih gagang telfon. Aku menekan nomor telfon Dinda adiknya Felix, berharap dia bisa membantu menyelamatkan kami. "Hallo?" Sahut Dinda dari telfon, kami bersyukur lega karena dia langsung mengangkat nya. "Hallo Dinda? Ini aku Melinda temen kakakmu! Tolong kamu ikutin kata-kataku dan gausah bertanya dulu, ini menyangkut nyawa aku dan para dokter di lantai 5, buatlah alibi seakan-akan kamu sedang menelfon ibu kos mu!" "Iya halo? Ohh ibu kos ya? Iya kenapa bu?" Suara Melinda terdengar mengikuti instruksi dari kami. "Setelah itu, kamu menjauh sebisa mungkin dari orang di sebelahmu!" "Masalah pembayaran kos, ohiya baik bu sebentar, aku permisi sebentar ya kak, biasa ibu kost, hehe" Sahut Melinda beralibi ke teman yang berada di sekitarnya. "Aku udah ngejauh Mel, ada apa?" Tanya Dinda meminta jawaban. "Oke, akan aku persingkat! Aku dan Salman terjebak di lantai 5, disini ada fenomena yang sangat mengerikan, banyak dokter yang terjangkit virus aneh dan menjadi kanibal, kami terjebak di ruang penyimpanan obat beserta cairan yang ada di lantai 5 gedung Utara, akses kami untuk turun ke lantai bawah ditutup dan kami gabisa keluar karena banyak monster itu disekitar kami, aku mohon padamu untuk menelfon polisi agar datang dan membantu kami, kurang lebih ada 30 orang yang berada di lantai ini, kami tidak tahu persis berapa orang yang masih hidup dan bertahan seperti kami, namun menurut apa yang kami lihat, sudah banyak korban jiwa yang meninggal dan menjadi kanibal seperti yang lain di lantai ini" Jelas ku panjang lebar. "Ternyata dugaanku benar bahwa ada sesuatu yang terjadi di gedung ini dan pihak rumah sakit menutupinya, para pasien yang ada di lantai 4 kebawah akan di evakuasikan ke luar gedung, kepala rumah sakit berbicara lewat speaker bahwa telah terjadi kerusakan jaringan listrik di area lantai 5 dan kemungkinan besar bisa menyebabkan terjadinya ledakan. Oleh karena itu sudah hampir seluruh pasien evakuasi berkumpul di lantai dua menunggu akses ke lantai satu dibuka. Namun hingga kini belum kunjung terbuka" "Apa!? Apa mereka berniat meledakan gedung ini beserta kami yang terkunci di lantai 5? Ini sudah keterlaluan, Dinda aku mohon kepadamu untuk segera menghubungi polisi dan meminta mereka datang kesini, cepatlah kita tidak punya banyak waktu" "Aku sudah menghubungi nya saat berbicara denganmu dari 5 menit yang tadi dan mungkin mereka mendapat pesannya, tapi--" "Tapi apa Din?" Suara Dinda yang terpotong membuat firasatku tidak enak. "Aa-apa i-itu mah-luk yang k--ka-lian maksud? Mata berurat, tubuh yang pucat, dan- aaaaaa!!!" Suara telfon Dinda mendadak terputus diakhiri suara teriakan panik orang banyak. Aku shock mendengar suara ricuh yang berada di lantai 2, kemungkinan zombie-zombie itu berhasil turun. Membuatku tidak tahu lagi apa yang harus di lakukan, hingga akupun menyadari sesuatu, wanita yang sedari tadi bersama kami sama sekali tidak mengeluarkan tanda kehidupan. Aku dan Salman memandangi tubuhnya yang kaku tersandar di lemari, kulitnya pucat namun matanya tertutup, tetesan darah muncul dari kerah bajunya membuat kami sadar apa yang akan terjadi selanjutnya. Matanya terbuka lebar, retinanya di penuhi urat, dan sialnya kami baru mengetahui bahwa ia telah lama terinfeksi hingga akhirnya terjebak bersama kami diruangan yang sempit ini. Aku dan Felix hanya terpaku memandanginya yang baru berubah menjadi zombie dan hanya berjarak 5 meter didepan kami. "Matilah kita!" Sahutku lemas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD