SEMBILAN: Antara Mati Atau, Matilah?

1625 Words
Wanita itu melompat kearahku dan nyaris menyergap ku, Salman yang menyadarinya sebelum ia melompat, berhasil mendorongku dengan kuat sehingga aku tidak tertangkap olehnya. Lagi-lagi dia kembali bangun dan berlari ke arahku, namun Salman menahan lehernya dan membatasi pergerakannya. "Apa yang harus kulakukan?" Sahutku panik melihat Salman yang terlihat kesulitan mengimbangi tenaga yang dikeluarkan mayat hidup itu. "Gunakan gunting itu dan incar kepalanya!" Ucap Salman dengan telunjuk mengarah ke meja yang menjadi tempatku bersandar setelah Salman menghempas ku. Aku mengambil gunting yang biasa digunakan untuk membedah pasien, kemudian bertatapan dengan wajah pucat wanita yang sedang di bekap oleh Salman, aku tidak tega melihat wajahnya yang akan aku tancapkan dengan gunting ini. "Sedikit lebih cepat! Aku hampir kehabisan tenaga" Sahut Salman yang mulai terlihat kelelahan. Aku mengarahkan gunting yang kupegang tepat di depan keningnya, kemudian menutup mataku dengan tangan kiri lalu mengeksekusi nya. Gunting pun tertancap dikepala wanita itu, darah mengucur keluar dari kepalanya, pupil matanya berputar diikuti gerakannya yang mulai melambat, hingga akhirnya berhenti. Salman melepaskan genggaman tangannya dari leher zombie itu, tubuhnya tergeletak lemas di lantai, aku menutup mataku yang mulai mengeluarkan air mata karena menyadari kenyataan bahwa aku baru saja membunuh seseorang. Tangisku lepas begitu saja, dengan isak yang cukup keras membuat Salman tidak tega karena menyuruhku melakukan hal itu, dia mendekatiku dan memelukku agar tenang dan tidak menyalahkan diriku sendiri. Dunia ini sudah gila, dan mengajakku untuk menjadi gila bersamaan dengan datangnya peristiwa seperti ini. Persitiwa yang membuat nyawa seseorang tidak ada artinya lagi di mata orang lain, akupun melepaskan semuanya, beban yang ada dikepalaku meledak di ruangan ini dan aku menangis di sandaran Salman. "Tenanglah Mel, ini bukan salahmu, kau adalah wanita yang kuat Melinda, aku iri padamu" Ucapan yang dikeluarkan Salman membuat ku sedikit lega dan mulai menerima kenyataan bahwa aku benar-benar harus bertahan hidup, aku tidak lagi ingin menjadi beban bagi orang di sebelahku, aku juga tidak ingin melihat lagi adanya korban di depan mataku karena mencoba melindungiku, dan berdoa kepada Tuhan semoga semua ini segera berakhir. *** "Mel, bangun!" Suara Salman membangunkan ku, aku mengucek mataku dan tidak menyadari bahwa aku ketiduran di pelukan Salman. "Maafkan aku!" Sahut ku reflek melepas tubuhku yang sedari tadi bersandar pada Salman. "Tidak apa-apa, aku punya kabar baik, sepertinya polisi sudah sampai di depan rumah sakit ini, aku mendengar sirine mobilnya beberapa kali" Ucap salman. "Lalu apa yang sedang terjadi di lantai bawah? Mengapa para polisi tidak naik dan menyelamatkan kita?" Tanyaku seraya melihat jam di tangan ku sudah menunjukan pukul 12 siang. "Entahlah, aku memikirkan 2 kemungkinan, yang pertama, semenjak kita menghubungi Dinda kita mengetahui bahwa mayat hidup itu berhasil turun ke lantai dua, dan menginfeksi setiap orang di gedung ini, namun akses ke lantai 1 sama sekali belum terbuka dan para zombie itu masih terkunci di lantai 2, dan kemungkinan kedua, mungkin pihak rumah sakit masih bisa mengendalikan situasi kemudian menemui polisi dan memberi tahu mereka bahwa mereka mendapat panggilan palsu atau semacamnya kemudian mejalankan rencana sesuai arahan kepala rumah sakit, entahlah benar atau tidak, tapi hanya 2 kemungkinan itu yang terlintas di kepalaku" Jelas Salman. "Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang?" "Lebih baik kita mencoba keluar dari ruangan ini dan mencari akses ke lantai bawah, karena zombie yang berada di depan pintu ini sudah pergi entah kemana, mungkin kita bisa mencoba peruntungan kita" Salman menjelaskan nya tanpa keraguan, walaupun aku tahu bahwa sebenarnya dia juga merasakan ketakutan jika harus bertemu dengan zombie-zombie itu lagi. Tapi keadaan memaksanya untuk tetap melakukan sesuatu. Aku mengangguk, menuruti apa yang ia sarankan, walaupun kemungkinan kami selamat sangatlah kecil, namun cepat atau lambat kami berdua tetap akan mati, mati dengan hanya menunggu rencana yang akan dilakukan pihak rumah sakit, atau mati saat keluar dari ruangan ini dan dimakan oleh para zombie hidup-hidup, semuanya sama saja, tapi aku akan menyesali kematianku apa bila aku tidak melakukan apa-apa sama sekali. Kami berdiri, Salman memimpinku di depan, dia mengintip keadaan di luar ruangan ini terlebih dahulu, melihat tidak ada siapapun yang berada di depan pintu ini, Salman langsung membukanya perlahan-lahan, meminimalisir segala macam suara yang dikeluarkan agar tidak menarik perhatian. "Rrawwwrrrrgggg" Suara zombie yang berlari tiba-tiba dari lorong sebelah kiri membuat kami terkejut karena dia sangat dekat dengan kami, Salman mempererat besi yang ia pegang, menunggu posisi yang pas kemudian mengayunkan sebilah besi itu tepat di kepalanya, zombie itu menabrak tembok dengan cukup keras setelah mendapat pukulan dari Salman. Pergerakannya berhenti sejenak, kemudian pandangannya kembali menoleh ke arah kami dan mengeluarkan suara aneh seperti raungan binatang buas. Aku yang berada di belakang Salman dengan pisau bedah di tanganku, langsung mengarahkan pisau itu tepat di jidat nya dan menusuk tengkoraknya hingga menembus ke otak, tubuh zombie itu pun tergeletak di lantai dan berhenti bergerak, kami melanjutkan langkah kami meninggalkan nya begitu saja, kami berjalan menuju pintu utama yang dibuka menggunakan akses card, dan di balik pintu itu ada tangga yang akan menuntun kami menuju ke lantai bawah. *tiiuutt Suara kartu akses yang menempel pada pintu itu menandakan bahwa kami berhasil membukanya. "Aneh, mengapa pintu ini bisa terbuka? Apakah operator mengabaikan perintah kepala rumah sakit dan membuat nya bisa di akses?" Tanya Salman yang jelas tidak ku ketahui sama sekali tentang jawabannya. "Dari pada memikirkan jawaban dari pertanyaan itu, lebih baik bila kita cepat-cepat turun ke lantai bawah" Sahut ku menyarankan. Sebelum turun, Salman memberikan tongkat besinya padaku, dia berjalan ke arah kapak yang menempel di dalam kotak merah berdekatan dengan alat pemadam api di sebelahnya. Tangga yang akan kami turuni berbentuk sebuah lorong dan cukup gelap karena struktur gedung ini memang hampir 70% tertutup dari sinar matahari. Kami bertatapan, kemudian menarik nafas panjang guna mengumpulkan keberanian agar bisa menyusuri tangga yang cukup gelap dan juga menyeramkan di depan kami. Salman menepuk pundaku untuk meyakinkan ku agar bisa melewatinya, aku tersenyum kemudian mengikutinya dari belakang menyusuri tangga itu. Terlihat dua zombie yang sedang asik melahap makan siangnya di pertengahan tangga yang cukup luas, Salman mengisyaratkan ku agar tidak mengeluarkan suara sedikit pun dan mengulurkan tangannya menuntunku, ia berfikir untuk melewati dua zombie yang sedang mukbang itu tanpa harus mengganggu nya. berjalan jinjit, membuat langkah kaki yang keluar dari sepatunya sama sekali tidak mengeluarkan suara sedikitpun, aku menggenggam erat tangannya, karena ketakutan berfikir apabila zombie itu menyadari keberadaan kami. Dengan langkah kaki yang tidak sedikit pun terdengar, ternyata kami berhasil melalui zombie itu tanpa menarik perhatian mereka. Namun tiba-tiba. *kreeekkkkk Kakiku tidak sengaja menginjak retakan kaca yang berada di lantai dan berhasil membuat kedua zombie itu memandangi kami dengan tatapan menyeringai. "Lari!" Teriak Salman mempercepat langkahnya dan menarik tanganku. Aku menoleh kebelakang sembari berlari dan melihat kedua zombie itu mengejar kami dari belakang. "Ayo cepat! Cepat! Cepat!" Ketus Salman yang masih memperhatikan arah depan mencari jalan, sekaligus menuntunku. Kami berlari dengan kecepatan penuh agar tidak terkejar oleh dua zombie di belakang, namun didepan kami ada 5 zombie berdiri menatap kami, mereka menghalangi jalan menuju pintu yang dibaliknya berupa tangga menuju lantai 2, rute yang harusnya kami gunakan untuk turun. Salman tidak sempat berfikir dan spontan mengambil rute lain, satu-satunya rute terakhir untuk akses turun ke lantai dua, yaitu tangga darurat. "Sial kita terjebak!" Ucap Salman yang melihat pintu menuju tangga darurat sudah dipenuhi banyak zombie berjaga di depan pintu itu. Hanya ada 2 pintu yang tersisa di sebelah kanan dan kiri sebelum pintu yang mengarah ke tangga darurat di ujung, sialnya pintu itu terkunci. Aku mendobrak pintu sebelah kiri, sedangkan Salman mendobrak pintu yang di sebelah kanan. "APAKAH ADA ORANG DIDALAM?! SIAPAPUN! BUKA PINTUNYA, TOLONG KAMI, KAMI TERJEBAK!" teriak kami dengan wajah panik melihat zombie-zombie yang mengejar kami sudah hampir dekat dengan kami. Tidak ada satupun yang menjawab teriakan kami dari balik kedua pintu itu, membuatku putus asa dan menyerah. Tapi tidak dengan Salman. "Aku akan menahan mereka! Bisakah kau memanjat ventilasi yang ada diatas sana? Pergilah Mel! Aku akan membantumu" Perintah Salman yang seakan-akan ingin mengorbankan nyawanya. "Lalu bagaimana denganmu!? Aku tidak akan pergi sendirian" Jawabku pasrah melihat keadaan seperti ini. "Kau harus selamat Mel! Dunia ini membutuhkan orang sepertimu yang selalu memikirkan perasaan orang lain daripada dirimu sendiri, jadi aku mohon padamu untuk tetap hidup! Pergilah! Sebelum kita berdua yang akhirnya menjadi makanan mereka!" Kalimat yang Salman keluarkan membuat ku diterjang kesedihan yang mendalam, bagaimana aku akan tetap hidup apabila seorang Salman yang selalu melindungi ku malah memilih untuk menyerah disini. Aku menghiraukan perkataan Salman, dan memutuskan untuk tetap menggedor kedua pintu berharap keajaiban datang kepada kami. Salman berlari ke arah zombie yang mengejar kami dengan kapaknya, membuat jarak beberapa meter dariku kemudian menebas kepala setiap zombie yang mendekat ke arah kami. "SIAPAPUN TOLONG BUKA PINTUNYA! KAMI MASIH SEHAT DAN MEMBUTUHKAN TEMPAT BERSEMBUNYI! TOLONG BUKA PINTUNYA!" Teriaku lebih kencang dari sebelumnya. Namun masih belum ada respon sedikit pun dari balik pintu, sedangkan zombie itu terus berdatangan dan Salman sudah mulai terlihat kelelahan. *kregg srekk srekk. Aku mendengar sesuatu dari balik pintu sebelah kanan, seseorang berada didalam dan sedang membuka selot yang mengunci pintu itu. Hatiku senang bukan main, Tuhan masih sayang dengan kami dan masih memberikan kami kesempatan untuk hidup. Pintu itu terbuka sepenuhnya, seorang pria yang terlihat sepuh keluar dari balik pintu itu memegang sebuah senjata api berjenis shotgun di tangannya. "Hei pria kapak! Menyingkir dari sana! Dan kau masuklah!" Ucap pria itu kepada Salman dan menyuruhku untuk masuk lebih dulu. Suara tembakan yang cukup besar membuatku telingaku sakit dan menutupnya dengan kedua tanganku, Salman berhasil masuk ke ruangan diikuti pria itu dibelakangnya. Aku memeluk Salman dengan erat karena tidak percaya bahwa kami berdua masih bisa selamat dari kejadian barusan, pria yang bersama kamipun menutup pintu dan kembali menguncinya seperti semula. "Terima kasih banyak telah menyelamatkan kami pak!" Ucapku dengan hati yang sangat berterima kasih. "Tidak usah berterima kasih, sekarang kita impas!" Ketus pria itu. "Apa!? Apa maksud dari kata impas yang kau bicarakan!?" Ketus Salman kebingungan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD