EMPAT

2002 Words
Aku panik melihat mereka berhasil mendobrak masuk pagar rumahku, cepat-cepat aku beranjak dari kamarku menuju ke kamar ayahku. Dengan keadaan panik, aku membuka pintu lemari dan mencari-cari revolver milik Ayah yang selalu ia simpan untuk keadaan darurat. Setelah aku mendapatkan apa yang aku cari, suara langkah kaki terdengar jelas dari arah tangga, jantungku terasa berdetak lebih cepat, aku mempererat genggaman revolver ditanganku dan mengumpulkan nyali untuk menarik pelatuknya tanpa berfikir untuk siapa peluru ini ditujukan. Kini monster itu sudah tepat berada di depan pintu, berhadap-hadapan denganku, wajahnya yang pucat pasi dengan urat di sekitar retina matanya tidak mengubah kenyataan bahwa sebelumnya zombie itu adalah sosok bibi. "Bii- hiks- ini Febi bi, bibi masih inget Febi kan?" Sahutku terbata-bata, air mata jatuh perlahan-lahan membasahi pipiku, aku belum bisa menerima kenyataan bahwa peluru pertama dari senjata api yang ku pegang akan ditujukan untuk seseorang yang sudah menemaniku sejak kecil. Dia berjalan perlahan ke arahku, jalannya tersendat, matanya yang diisi dengan tatapan kosong membuat ku semakin sulit untuk menarik pelatuknya, namun bibir kecilnya seperti sedang mengisyaratkanku bahwa aku harus melakukannya. Aku hanya bisa pasrah dengan keadaan ini, satu hal yang aku tahu, aku tidak akan pernah bisa menarik pelatuknya dan memutuskan untuk menutup mata sekaligus mengosongkan fikiran. *DUARRR *** "Bibi!!!!" Aku membuka mataku dan reflek membangunkan tubuhku berubah menjadi posisi duduk, terdapat sedikit genangan air mata di bawah pelupuk mataku setelah terbangun dari mimpi buruk yang aku alami. "Mimpi sial itu lagi!" Gumamku. Aku bertanya-tanya di dalam hati mengapa akhir-akhir ini aku selalu di gentayangi mimpi itu, mungkin aku harus banyak berdoa sebelum pergi tidur mulai besok. Hari ini adalah hari sekolah, seperti biasa aku segera bergegas mandi dan berpakaian lalu turun ke lantai bawah untuk sarapan. Dibawah aku sudah melihat Ayah tengah duduk di sofa dengan sebuah tab yang ia pegang. "Ayah libur yah?" Setelah aku bertanya, Ayah melempar pandangannya dari tab dan menaruhnya di sofa kemudian menatapku dengan tatapan serius. "Nak, kemarilah!" Sahut ayahku. Aku menaruh tas sekolah ku di sofa lalu duduk di sampingnya, dan memutuskan untuk tidak terburu-buru berangkat ke sekolah karena aku penasaran tentang apa yang Ayah ingin katakan padaku. "Feb, Ayah akan pergi meneliti ke luar negeri mulai nanti sore, dan Ayah ingin kamu agar lebih mandiri mulai sekarang. Jangan macem-macem selama Ayah gaada dirumah, semua makanan udah Ayah sediain, dan masalah uang jajan nanti Ayah yang urus" Aku mengiyakan semua kalimat yang Ayah bicarakan dan langsung menggendong kembali tas ku ke pundak, aku berpamitan pada Ayah untuk berangkat. "Satu lagi nak!" Sambung Ayah ku tiba-tiba, aku tidak kembali duduk dan hanya menoleh kebelakang dengan alis yang sedikit terangkat. "Jangan pernah melupakan apa pesan yang sudah Ayah ajarkan sejak kecil" Aku mengangguk paham dan berlalu meninggalkan nya, aku menggaruk-garuk kepala karena bingung mengapa Ayah mengingatkan kembali hal yang telah lama terlewat. Aku mengerti maksud dari kalimat yang ia bicarakan adalah untuk terus menolong sesama manusia walaupun nyawa taruhannya, dia selalu membicarakannya sejak aku masih duduk di bangku kelas 3 SD. Namun yang aku pertanyakan, mengapa baru kali ini ia mengungkit hal itu lagi sekarang. Aku tidak ingin terlalu memikirkan hal yang membuat kepalaku semakin runyam, karena hal pertama yang aku fikirkan saat ini adalah bagaimana caranya melakukan langkah pertama untuk membuat Reno bisa berinteraksi denganku dan kawan-kawan ku. *** Sesampainya di sekolah kedua sahabatku Abang dan Erllangga sudah mengisi bangku di barisan belakang seperti biasa, namun di bangku Ade hanya ada tas tanpa pemiliknya. "Oi Bang! Ade mana?" Tanyaku. "Feb, sini duduk dulu, jangan kenceng-kenceng ngomongnya" Sahut Abang dengan jari telunjuk yang terangkat dan berhenti di ujung bibir. "Anak buah Reza tadi pagi dateng ke kelas kita" Erllangga mengeluarkan kalimat yang membuatku bingung apa tujuan mereka datang ke kelas kami. "Buat apa? Ngapain mereka kesini?" "Kita juga belom tau Feb, tapi tadi mereka dateng buat nyamperin Reno dan langsung ngasih kertas ke dia" Setelah kalimat dari Abang aku melirik ke arah meja Reno, sikap yang ia tunjukan tidak sedikitpun ada yang berbeda dari hari kemarin. Membuatku berfikir mengapa dia bisa setenang itu saat sedang berada di situasi seperti ini, mungkin dia tidak mengetahui surat yang di berikan oleh Reza melalui utusannya adalah surat yang kemungkinan berisi undangan untuknya bertemu dengan Reza. Dan pertemuan itu akan menjadi pertemuan yang berbahaya, hanya aku dan kawan-kawan ku yang tahu persis apa yang akan terjadi apabila Reza ingin bertemu langsung dengan salah seorang siswa di sekolah ini. Ade berlari dari arah keluar kelas menuju pada kami yang sedang berunding, nafas tersengalnya jelas menggambarkan bahwa akan ada hal buruk yang akan terjadi. "Ggg-ga-wat geng! Reza mau ngelakuin tradisi itu lagi jam istirahat nanti!" Tukas Ade dengan nafas yang naik turun setelah berlari. "Lo tau darimana De?" Tanyaku memastikan. "Ryan! Dia bilang kalo Reza gasuka anak buahnya diabisin depan banyak orang di kantin kemaren! Dan Reza mau ngundang Reno buat masuk geng mereka lewat tradisi itu" Kami bertatap-tatapan satu sama lain, memutar otak bagaimana caranya agar bisa menghentikan Reno untuk tidak pergi bertemu dengan Reza. "Gue bakal ngomong sama Reno!" Ucapku matang. "Tapi Feb, lu yakin Reno bakal dengerin omongan lu?" "Dengerin atau engga, masalah belakangan, yang pasti gue tetep harus kasih tau dia" Sambungku. Aku berjalan menuju meja Reno, dia melirik kearahku yang sudah berdiri di sebelah mejanya sekilas, kemudian pandangannya kembali kepada buku yang sedang ia baca. "Ren, gue boleh tau ga surat yang di kasih sama anak kelas 3 C tadi?" Tanyaku ragu dengan jawaban yang akan di keluarkan Reno. "Udah gue buang" Jawaban yang singkat namun cukup untuk menusuk hatiku yang jelas peduli pada keadaannya. "Tapi Ren! Lu tau kan isinya apa? Gue cuma pengen tau isinya" Bujuk ku berusaha mendapatkan perhatian lebih darinya. "Bukan urusan lo" Lagi-lagi jawaban yang ia keluarkan membuat niat baik ku sedikit bergetar dan memutuskan untuk tidak terlalu frontal mendapatkan perhatian darinya. "Ohyaudah Ren, sorry ya ganggu, tapi kalo misalnya lu ngerasa gabisa nyelesain masalah sendirian, jangan takut buat percaya sama orang disekitar lu, walaupun mereka gabisa bantu nyelesain tapi gue yakin kalo mereka bisa bantu nge ringanin. Jangan pernah ngerasa kalo lu kuat nanggung beban berat sendirian padahal hati lu minta pertolongan, sekali lagi maap ganggu dan nyoba buat ikut campur" Sahutku dengan nada yang menurun disertai bunyi bel jam pelajaran pertama, aku kembali berjalan ke mejaku namun semua sahabatku menepuk-nepuk tangan secara bersamaan untukku. Aku sama sekali tidak mengerti untuk apa tujuan mereka bertepuk tangan. "Hebat lo Feb, lo ngomong apa sampe Reno ngeliatin lu mulai dari mejanya dan balik lagi kesini?" Setelah perkataan Ade, aku langsung menoleh kebelakang dan melihat Reno sedang menatapku sebentar, tatapannya sudah mulai berbeda dari sebelumnya dan mungkin ini adalah pertanda awal aku bisa lebih membuatnya percaya padaku bahwa aku benar-benar ingin membantu meringankan beban yang sedang ia hadapi. *kringggggg Bel istirahat bergema di seluruh kelas sekolah ini, aku dan sahabat-sahabatku langsung berunding tentang langkah apa yang akan kami lakukan selanjutnya. "Jadi kita harus ngapain sekarang Feb?" "Jujur aja nih ya, tadi gue gabisa bujuk Reno buat ga nurutin permintaan si Reza, tapi..." Aku menggantung kan kalimat ku karena malu tentang penolakan yang kudapat dari Reno. "Tapi apa Feb? Pasti dia bilang kalo ini bukan urusan lo, iyakan?" Aku terkejut mendengar perkataan yang di keluarkan Erllangga, darimana dia bisa tahu bahwa Reno berbicara persis seperti apa yang dia katakan. "Hehehe pasti lo bingung kan kenapa gue bisa tau, karena sebelomnya pas di kantin..." Aku menunggu Erllangga menyelesaikan kalimat nya dengan tatapan serius. "Karena sebelomnya pas di kantin, gue juga ditolak begitu sama Reno hehehe, gue spontan nanya kenapa dia pindah dari Malaysia kesini, eh jawaban dia sama kaya tolakan lu tadi Feb" Sahut Erllangga dengan pose menggaruk-garuk kepalanya. "Yaampun, ini bener-bener dah bungkus indom*e gaada otak atau emang ada tapi ga di pake otaknya, jelas-jelas dia gabakal mau nanggepin lu bambang, mending otak lu di giveaway aja dah Er!" Sahut Abang sewot. "Hahaha Er, lu boleh dah polos ke semua orang, tapi pengecualian buat si Reno, karena dia gabakal mikir kalo lu itu polos, melainkan dia berfikir kalo lu orang yang suka nyulik anak-anak dengan motif ngasi permen, karena muka polos lu mendeskripsikan hal tersebut ke setiap orang yang baru ketemu sama lu" Sambung Ade. Aku hanya tersenyum mendengar percakapan mereka dan memikirkan jalan keluar yang lain. "Gue tau kita harus apa, mending sekarang kita siap-siap buat ngejalanin rencana ini" Aku melihat Reno yang sedang berjalan keluar, feeling ku mengatakan bahwa dia akan langsung mencari keberadaan orang yang mengirimkan surat kepadanya. Setelah dia sampai di luar kelas, aku menceritakan semua rencanaku pada sahabat-sahabatku, setelah semuanya sudah paham, aku langsung mengejar Reno. Saat sampai di depan lorong kelas 3 C, aku kehilangan jejak Reno, semua anak buah Reza berkumpul di lorong itu untuk mencegah siapapun yang ingin melewati lorong tersebut. Dan aku tahu betul tujuan dari semua ini, diujung lorong tempatku berdiri adalah lapangan olahraga indoor yang ada di sekolah ini, lapangan itu sangatlah luas juga jauh dari ruang guru, tempat yang sempurna untuk melakukan tradisi yang biasa di lakukan oleh Reza "tradisi anggota baru" Dan tugas dari sekumpulan anak buah Reza yang berisi kurang lebih 30 orang di depan ruangan itu adalah untuk mencegah siapapun yang ingin masuk ke ruangan tersebut agar tidak mengganggu jalannya proses tradisi. "Woy Febi! Ngapain lo disini?" Sahut salah satu anak buah Reza yang melihatku berdiri sendirian di depan mereka, aku dan kerumunan itu hanya berjarak kurang lebih 15 meter. "Bukan urusan lo!" Jawabku santai. "Lo pasti mau ngejar anak baru di kelas lo yang lagi di ospek di ruang olahraga kan?" Sahut anak lain. Aku semakin geram karena ternyata Reno sudah masuk lebih dulu kedalam sedangkan aku masih di cegat di tempat ini, sekejap aku mengeluarkan telfon genggam ku dan menelfon seseorang. "Nelfon guru lu ya!?" Teriak Aldi, salah satu petinggi di geng Reza yang memimpin di keramaian itu. "Jangan macem-macem ya Feb! Gue tau lo cukup jago dalam teknik beladiri, tapi kita rame loh, mustahil buat lo bisa bangun setelah kita keroyok, mending sekarang lo balik ke kelas lo biar gue ga kena marah sama bos Reza karena berisik diluar" Sambung Aldi. Kalimat rendahan yang dikeluarkannya semakin membuatku gondok, sudah berjalan selang 2 menit semenjak aku menelfon dan seharusnya mereka sudah sampai. Suara langkah kaki kerumunan terdengar jelas dari arah belakangku, Aldi yang sebelumnya memasang muka songong berubah menjadi ekspresi panik setelah melihat kerumunan yang datang dari arah belakangku. Ya, inilah rencana pertamaku, membawa setengah populasi dari murid kelas dua yang di pimpin oleh Riski, pasti kalian bertanya-tanya bagaimana bisa aku mengumpulkan murid sebanyak itu dalam sekejap, baiklah, sebelumnya aku akan menceritakan seorang Riski yang pernah di bilang Ade bahwa dia ingin masuk ke geng ku namun aku menolaknya. Riski adalah anak murid kelas 2 A di sekolah kami yang berarti dia berbeda satu tahun dengan kami, dan background dia di sekolah ini sebenarnya hampir sama seperti Reza, dia memimpin sebuah organisasi yang memiliki banyak anggota dan juga relasi, dia merupakan anak yang tergolong kuat dan pernah menjadi incaran Reza untuk diajak bergabung di anggotanya. Namun dia menolaknya, pada saat pulang sekolah, dengan tidak sengaja kami melihat Riski yang sedang di pukuli oleh 6 orang anak buah Reza di halaman belakang sekolah, aku dan kawanku yang kebetulan ada di sana langsung membantunya tanpa fikir panjang, dan menumbangkan 6 orang tersebut dengan cepat. Itulah mengapa dia ingin bergabung dengan kami dan ingin membalas budi karena telah menyelamatkannya, dan kerumunan yang membantuku saat ini adalah bentuk balas budi darinya. "Lo aman Feb?" Sahut Riski dan ketiga sahabatku. "Aman Ki, makasih banget udah mau dateng kesini" Ucapku seraya menepuk pundaknya. "Tenang... Ini belom bisa gue sebut bales budi malah, terus apa yang harus kita lakuin sekarang?" Riski bertanya dengan semangat yang terlihat jelas di wajahnya. "yaa karena guru-guru gabisa ngehukum Reza buat ga ngelakuin hal busuk lagi, jadi... KITA SENDIRI YANG AKAN NGELAKUINNYA!" Teriakan menggema dari kubu kami terdengar riuh setelah aku mengeluarkan kalimat itu, walaupun kami membawa pasukan kelas 2 untuk melawan kelas 3, semangat yang mereka tanamkan untuk terus membela kebaikan sangat patut di apresiasi, dan berkat mereka mungkin hari ini aku bisa menyelamatkan Reno sekaligus membuat Reza kembali ke jalan yang benar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD