Traktiran Pertama

1123 Words
Hampir saja Zanna berteriak kegirangan karena dia dinyatakan lolos interview, dan diterima di perusahaan ini. Bahkan dia juga nyaris sujud syukur. Zanna memang belum genap tiga puluh tahun, tapi rasa minder bersaing dengan para fresh graduate membuatnya berkecil hati. Jadi, ketika dirinya dikatakan lolos, ada rasa senang tak terkira memenuhi rongga dadanya. Orang yang pertama kali Zanna hubungi adalah Ryan. Tentu saja, Ryan pasti akan senang mendengar kabar baik ini. Namun, beberapa kali Zanna menghubungi lelaki itu, panggilannya tidak diangkat juga. Zanna mendesah kecewa, dan memutuskan memasukkan ponsel ke dalam tas yang ia bawa. Dia lanjut melangkah keluar. Persetan dengan Ryan yang susah dihubungi, yang penting sekarang dia diterima bekerja di salah satu perusahaan bonafit ibu kota, di umur akhir masa dua puluhan, garis bawahi itu. Langkah Zanna tampak ringan begitu keluar dari lift. Senyumnya mengembang sempurna seperti orang yang baru saja mendapat door prize mobil mewah. "Za! Tunggu!" Langkah Zanna terhenti. Suara itu memanggilnya kan? Tapi siapa? Dia nggak mengenal siapa pun di gedung ini. Kecuali.... Zanna langsung memutar badan. Dari tempatnya berpijak, dia bisa melihat Elard berjalan cepat menghampirinya. Ternyata dugaannya benar. Wanita itu semakin mengembangkan senyum. "Bagaimana? Kamu diterima di sini nggak?" tanya Elard langsung begitu sampai di hadapan Zanna. "Mmm, kamu maunya aku diterima atau ditolak?" Zanna malah bertanya menggoda ciri khasnya sekali dari dulu. Elard terkekeh. "Ya, diterima, dong. 'Kan kita bisa dekat lagi kayak dulu seandainya kamu di sini." Zanna lagi-lagi tersenyum dan tampak mengangguk. "Aku diterima, El!" serunya heboh, dan langsung menerjang Elard, memeluk lelaki itu. Dia tidak sadar bahwa ada banyak mata yang memperhatikan tingkahnya. "Serius?" "Iya, aku serius. Mulai besok aku udah mulai kerja dong." Zanna melepas pelukannya. "Wah, wah, selamat kalau begitu. Kamu harus traktir aku." Eh? Apa? Mendadak Zanna bengong dan tercenung. Belum juga gajian masa udah ditodong traktiran? Yang benar saja. Tanpa diduga Elard malah tertawa melihat reaksi Zanna. "Bercanda, Za." Zanna ikut terkekeh, dan menggaruk kepalanya yang tak gatal. Dia ingat kondisi dompetnya yang miris. "Udah makan siang?" tanya Elard kemudian. Zanna menggeleng. Jika tidak Elard ingatkan mungkin dia lupa. "Ya, sudah. Ayo kita makan." "Eh?" Zanna bengong. Dan lagi-lagi Elard tertawa. "Kali ini aku yang traktir nanti kalau kamu udah gajian, baru gantian. Setuju?" Mata Zanna berbinar. Lalu dengan riang menggeret tangan Elard. "Tunggu apa lagi?" Tingkahnya itu berhasil membuat Elard tertawa lagi. *** Zanna pikir, Elard akan mengajaknya makan di kantin karyawan. Lumayan tidak menguras kantong kalau makan di sana. Namun kenyataannya, sekarang mereka berdua duduk di sebuah kafe yang bagi Zanna sudah tidak pantas disebut kafe karena luas dan mewahnya tempat ini. Bahkan Zanna sontak menutup buku menu kembali ketika melihat daftar harganya. "Kamu aja yang pesan, El," ucap Zanna canggung. "Kamu nggak lapar?" tanya Elard bingung. Zanna mencondongkan badan ke depan, dan langsung diikuti oleh Elard. "Gila, El. Harga menu di sini mehong-mehong banget." Elard tersenyum. Ternyata itu masalahnya. "Nggak apa-apa, 'kan aku yang traktir." "Mending simpen aja duit kamu daripada buat makan makanan mahal yang akhirnya cuma jadi kotoran." Elard menepuk jidatnya sendiri. "Udah, deh. Kamu nggak perlu mikirin harga. Pesen aja." "Nggak mikirin gimana? Kamu gila, cuma menu udang aja dihargai tiga ratus ribuan. Mending kita pindah tempat aja." "Tapi Za–" "Udah, ayo kita keluar dari sini." Zanna langsung menggaet tangan Elard, membuat lelaki itu kebingungan. Seorang pelayan tiba-tiba menghampiri mereka. "Pak Elard, nggak jadi makan di sini?" tanya pelayan itu. "Nggak, Mbak. Saya nggak cocok sama menunya. Maaf ya," jawab Zanna menarik tangan Elard keluar resto. Elard belum sempat menjawab pertanyaan pelayan itu ketika secara paksa Zanna membawanya keluar resto. Zanna memilih makan di tempat yang harga menunya lebih manusiawi daripada kafe tadi. Kali ini dia bisa tersenyum lebar. Karena daftar harga menunya tidak membuat bola matanya keluar. Elard pasrah saja. Dia tidak berniat membuka buku menu. Dia salah tadi, harusnya tidak membiarkan Zanna membuka buku menu sehingga gadis itu tahu harga makanan di kafe pilihannya. Elard memesan menu pasta untuk makan siangnya, sedang Zanna iga bakar dan sepiring nasi. Zanna tidak bisa makan siang tanpa nasi. "Kamu serius cuma makan itu saja?" tanya Zanna. "Iya. Ini mengenyangkan kok." "Kamu diet nasi? Perasaan dulu nggak deh." Elard terkekeh. "Nggak, Za. Lagi ingin pasta saja." "Oh, mau coba punyaku?" "Nggak perlu, kamu makan saja biar kenyang." "Ya, sudah." Di tengah kegiatan makannya, mata Elard menangkap seseorang yang sangat dia kenal. Seorang lelaki berpostur tidak lebih tinggi dari dirinya sedang makan juga di lain meja bersama seorang wanita. Tidak jauh dari tempatnya duduk. Elard memandang jengah pada lelaki itu. Zanna di depannya mengikuti arah pandang Elard. Seakan tahu apa yang Elard rasakan, Zanna lantas memasang wajah sedih lalu menepuk pelan punggung tangan Elard. "Kamu sabar ya, emang ada sebagian lelaki itu begitu. Nggak bisa pegang janji setia. Lupakan saja lelaki kayak gitu, El," ujar Zanna membuat Elard serta merta langsung menatap gadis itu. "Maksudnya, Za?" tanya Elard bingung. "Lelaki di meja itu pacar kamu 'kan?" "Hah?" Elard tambah bingung. "Oh, baru gebetan. Ya udah, sebelum terlanjur sayang mending kamu lupain." Elard semakin tidak mengerti akan ucapan Zanna. Apa gadis itu pikir dirinya itu seorang... Ya Tuhan! Mendadak Elard mengingat sesuatu. Dari dulu Zanna memang menganggapnya itu memiliki orientasi seks menyimpang. Rasa pasta yang ia kunyah mendadak terasa pahit. "Za, aku–" "Tenang, sekarang kamu bisa cerita apa pun padaku. Aku siap mendengar, 'kan sekarang kita juga satu kerjaan." Elard akhirnya cuma bisa meringis. "Terima kasih." Elard akui selama ini dia belum mengklarifikasi pikiran Zanna tentang dirinya. Dulu dia pergi begitu saja tanpa menjelaskan sesuatu pada gadis itu. Seandainya Zanna masih menganggapnya begitu, ya itu wajar. Namun, gadis itu cukup baik karena tidak gembar-gembor pada orang lain. Zanna memang sahabat yang baik, karenanya Elard tidak pernah bisa keluar dari zona itu. *** Setelah makan siang, Elard mengantar Zanna pulang ke kosan. Mobilnya berhenti tepat di gerbang kos-kosan. "Kamu nggak ada niat pindah ke apartemen?" tanya Elard meneliti kawasan kos-kosan Zanna. Meskipun bangunan tua, tapi tempat Zanna ini lumayan bersih. "Untuk saat ini aku cuma bisa ngekos. Gila aja, buat makan aja mesti ngirit malah suruh pindah ke apartemen." Elard tertawa, dia mengacak rambut Zanna gemas yang entah kenapa itu membuat pipi Zanna tiba-tiba menghangat. Ryan jarang sekali melakukan hal-hal kecil seperti Elard. Jadi, perbuatan yang bagi Elard itu sepele berdampak berlebihan untuk Zanna. "Nanti. Kalau udah kerja dan dapat gaji besar pindah saja." "Semoga aku mampu. Btw, terima kasih ya, El, buat traktirannya. Sering-sering saja." Zanna tertawa bercanda. "Nggak masalah, samperin aku aja kalau mau makan," sahut Elard tertawa. "Ya udah, aku masuk, ya." "Oke, besok pagi jangan sampai telat." Zanna turun dari mobil Elard, dan membuka pagar gerbang kosannya. Dia melangkah ringan sembari sesekali memutar-mutar badan karena sangkin senangnya hari ini. __________***__________ Gimana-gimana, Za dan El?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD