III. Gubuk Tua

1290 Words
Mereka bertiga berjalan tidak cukup jauh `tuk tiba di gubuk. Dari bagian luar, penampakan gubuk itu sangat berantakan. Rerumputan ilalang menutupi sebagian jalan masuknya, kayu yang mulai keropos, sarang laba-laba beserta jamur dan lumut yang ada di mana-mana. Hans melihat sekitaran gubuk; Sera mencoba mencoba membuka pintu gubuknya tetapi macet tak bisa terbuka. Akhirnya Sera meminta bantuan Zachary untuk membuka paksa pintunya. Pintu gubuk akhirnya terbuka, barang-barang yang berdebu seketika membuat Zachary dan Sera terbatuk-batuk saat memasuki gubuk. Di bagian lantai tergeletak tas yang sudah pasti milik guru Aldini karena jerami berhamburan dari dalamnya. Tidak ada yang aneh karena seisi gubuk itu dipenuhi barang-barang lama yang dipenuhi debu. Tetapi, di atas meja yang kayunya keropos dan sudah miring, terdapat sebuah kertas lusuh yang berisi racikan untuk ramuan sihir. Zachary mengambil kertas itu lalu mengamatinya untuk beberapa saat. Bahan-bahan dari ramuannya adalah jerami ajaib yang kini berhamburan di samping kaki Zachary dan juga tanaman obat yang tumbuh subur di taman sekolah. “Sera, bukankah kau memiliki atribut sihir alam dan menguasai beberapa sihirnya?” tanya Zachary. “Ya, aku pengguna atribut sihir alam. Aku juga mempelajari beberapa sihir pertahanan tetapi kebanyakan aku mempelajari sihir penyembuhan. Memangnya ada apa tiba-tiba kau bertanya seperti itu?” Sera balik bertanya. Zachary memberikan kertasnya kepada Sera. “Lihatlah, aku agak ragu tetapi dengan tanaman obat seharusnya racikan ini untuk obat ramuan.” Sera mengamati kertasnya, lalu mengangguk mengisyaratkan perkataan Zachary barusan benar adanya. “Aku akan membawa ini ke rumah untuk mempelajarinya.” Setelah itu Zachary kembali memerhatikan seisi ruangan, kali ini dengan lebih teliti. Hingga Zachary menemukan sebuah bekas penyok di bagian belakang pintu gubuk. Bukan penyok karena dibuka paksa Zachary karena bekasnya berbentuk cekung ke arah luar. “Ada sesuatu yang membanting pintu dengan keras dari dalam hingga menyebabkan penyok seperti itu,” ujar Zachary begitu yakin. Sera hanya mengangguk-angguk saja tanpa memberikan tanggapan. “Sera, kakak, kemarilah!” panggil Hans dari luar gubuk. Tanpa berlama-lama Zachary dan Sera mendatangi Hans. “Ada apa Hans, kau menemukan sesuatu?” tanya Zachary. Hans menunjuk ke arah lumpur di antara rumput ilalang tinggi. “Aku menemukan jejak kaki di atas lumpur. Mengingat tubuh guru Aldini yang kecil, jejak kaki itu terlalu besar untuknya sekalipun mengenakan sepatu bot.” Zachary langsung menelusuri jejak kaki itu. Sayangnya bagian yang berlumpur hanya sedikit dan tidak ada lebih banyak jejak setelahnya. Petunjuk yang mereka temukan menggantung, karena tidak ada lagi petunjuk yang ditemukan mereka memutuskan untuk melanjutkan di lain hari. “Untuk memastikannya kita harus menunggu beberapa hari ke depan. Jika betul-betul tidak ada kabar dari guru Aldini, maka kita akan melaporkan temuan kita kepada pihak sekolah,” kata Zachary. *** Tiga malam berlalu setelah hari itu. Kemarin, sekolah baru saja mengumumkan libur selama satu minggu sebelum ujian kenaikan kelas, hal itu membuat Zachary, Hans dan Sera tidak tahu bagaimana kabar dari guru Aldini. Sementara itu, Zachary dan Hans sedang disibukkan dengan merawat ladang gandum milik keluarga kecilnya. Ibu Zachary dan Hans mendadak mengalami pendarahan hebat entah karena apa. Zachary tahu betul sang ibu tidak pernah memiliki riwayat penyakit bahkan keluhan penyakit pun tidak ada. Pendarahan yang dialami membuat sang ibu harus berbaring istirahat di atas ranjang. Selagi ada hari libur selama satu minggu, Zachary dan Hans berencana akan menggunakannya sebaik mungkin untuk merawat sang ibu juga mengelola ladang gandum menggantikan sang ayah. Sang ibu telah tertidur, Zachary pergi menemui ayahnya di halaman rumah. Ayahnya tengah duduk beristirahat sambil menikmati secangkir kopi hangat buatan si sulung. Zachary duduk tepat di samping ayahnya, terdiam untuk sesaat sebelum berbicara. “Ayah … sebenarnya apa yang terjadi pada ibu?” tanya Zachary pelan. Ayahnya menaruh cangkir kopi di atas meja lalu menghela napas dalam. “Ayah juga tidak tahu, bahkan Ayah sendiri kebingungan bagaimana ibumu bisa mengalami pendarahan seperti itu.” “Jika Ayah bingung bagaimana denganku? Ditambah lagi mengingat usia ibu, rasanya tidak mungkin mengalami pendarahan sampai seperti itu,” ujar Zachary. “Yang dapat kita lakukan hanya memohon supaya Tuhan memberikan keajaiban dan mengangkat penyakit ibu.” Ayahnya kembali mengambil cangkir kopi lalau meneguknya hingga habis. Dari arah ladang gandum Hans berjalan menghampiri. Pakaian kebun yang dikenakannya begitu berantakan, berjalannya tertatih-tatih Hans terlihat begitu kelelahan setelah bekerja di ladang seharian. “Ayah dan kakak sedang apa duduk di halaman malam-malam begini?” tanya Hans yang masih terengah-engah. “Tidak ada apa-apa, aku hanya mengobrol santai dengan Ayah sambil menemani menghabiskan kopinya,” sahut Zachary. Ayahnya tersenyum sambil mengangguk. “Pagar di ladang sudah kau kunci semua kan? Jangan sampai ada yang merusak ladang di malam hari.” Zachary bertanya sekaligus memperingatkan. “Sudah, aku tidak teledor seperti itu kak,” jawab Hans sinis. “Sudah seharian kau berada di ladang. Pergilah bersihkan dirimu, aku mulai tak tahan dengan baunya.” Zachary tertawa kecil. Hans bergumam, “Aneh rasanya melihat kakakku bisa bercanda ….” Hari telah berlalu, gandum bermekaran disinari cahaya sang mentari. Hewan-hewan di sekitaran ladang gandum memulai aktivitasnya masing-masing di pagi hari. Baru saja bangun dari tidurnya yang nyenyak, Zachary dibuat terkejut karena Hans yang berteriak memanggil namanya. Zachary langsung berlari menghampiri suara Hans yang berasal dari ruang tengah. “Ada apa Hans? Kenapa kau berteriak seperti itu?” “Ibu kak, tadi ibu jatuh dari atas kasur dan kakinya membentur meja.” Zachary mulai panik setelah mendengar omongan adiknya barusan. “B- bagaimana bisa ibu terjatuh? Sekarang di mana ibu?” “Ibu sudah ada di kamarnya, untung saja ayah sigap menolong ibu. Tadi aku sempat bertanya kepada ayah, katanya ibu seperti berdiri dengan sendirinya di atas kasur lalu menjatuhkan dirinya ke lantai.” “Itu tidak masuk akal!” batin Zachary yang membisu setelah mengetahui penyebab ibunya bisa jatuh. Keanehan kembali menimpa keluarga Zachary. Setelah sebelumnya sang ibu mengalami pendarahan yang tak normal di usianya, kini ibunya bisa berdiri sendiri di atas kasur lalu menjatuhkan dirinya ke lantai. Yang membuat keheranan adalah tubuh yang bergerak sendiri, sang ibu sadar, tetapi tak dapat mengendalikan tubuhnya sendiri. Sudah melewati tengah hari, mentari sudah menuruni tahta tertingginya. Hari ini adalah giliran Zachary untuk mengelola ladang gandum. Di tengah perasaan tenang saat bekerja di ladang, Zachary sesekali cemas terhadap ibunya. Sejak pagi ayahnya tidak memanggil ataupun memberi tahu jika ibunya kembali mengalami pendarahan. Padahal di hari sebelumnya seperti setiap beberapa jam pasti mengeluh sakit perut dan biasanya terjadi pendarahan setelahnya. Menjelang petang, sisa pekerjaan Zachary hanya membereskan gandum yang belum diikat dan mengunci pagar ladang. Hans berlari menghampiri Zachary yang baru akan bersiap pulang. “Bisakah kakak mengecek kondisi ibu?” tanya Hans yang kelelahan setelah berlari. “Ada apa memang? Ibu mengalami pendarahan lagi?” “Bukan itu, bahkan sejak pagi setelah ibu terjatuh ibu tidak mengalami pendarahan lagi. Tetapi sekarang suhu tubuh ibu cukup tinggi, aku takut ibu terkena demam,” ujar Hans. “Bisakah kau menangani sisa pekerjaanku? Hanya mengikat gandum di sana lalu mengunci pagar Ladang seperti biasanya. Aku akan pergi ke sekolah untuk menemui Sera dan meminta bantuan kepadanya. Setelah memberikan kunci pagar ladang Zachary lari begitu cepat membuat Hans terdiam. “Padahal sedang libur, bagaimana ia bisa tahu jika Sera berada di sekolah? Kakakku memang berbeda,” batin Hans sambil tersenyum memandangi Zachary berlari semakin jauh. Sampai di rumahnya, tanpa berkata apapun Zachary langsung berlari menuju kamar ibunya, membalik telapak tangannya di atas kening sang ibu untuk mengecek seberapa tinggu suhunya. Dari ekspresi Zachary yang seperti terkejut pasti suhu tubuh ibunya cukup tinggi. Zachary menoleh ke ayahnya. “Ayah, tolong jaga Ibu sebentar ya. Jika suhunya semakin meningkat, redakan apapun itu caranya. Aku tidak akan lama, tunggu aku kembali!” Tanpa menunggu tanggapan ayahnya, Zachary pergi begitu saja. “Hei kau ingin pergi ke mana!” teriak ayahnya. “Benar-benar anak yang- ah sudahlah.” Ayahnya tidak habis pikir dengan kelakuan anak sulungnya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD