01 : Bertemu Kembali

1668 Words
[Head Over Heels --- dalam bahasa Indonesia, mungkin bisa disamakan seperti tegila-gilaa. Saat kamu Head Over Heels dengan seseorang, berarti kamu sedang sangat jatuh cinta sampai tergila-gila dengan orang tersebut.] *** “Kia mau putus.” Radhi yang sibuk main game di ponselnya langsung tertawa. “Iya, Abang juga sayang sama kamu.” “Aku lagi nggak bercanda.” “Abang juga serius, Sayang.” Kesal mendengar respon Radhi yang main-main, Nakia merebut paksa ponsel cowok itu lalu melemparnya ke sofa lain. “Mulai besok jangan datang ke sini lagi. Pesan atau telepon Abang nggak akan Kia angkat. Hubungan kita berakhir detik ini juga.” “Ngambek karena Abang cueki? Maaf ya, Ki? Janji deh Abang nggak akan lanjut nge-game lagi,” ucapnya dengan raut memelas. Radhi kemudian menegakkan punggung, mengubah posisi duduk jadi sepenuhnya menghadap Nakia. “Mau dibelikan apa, Sayang? Es krim ya sebagai permintaan maafnya?” “Nggak perlu.” “Terus apa, dong?” Nakia menghela napas berat. “Kia mau lanjut kuliah di luar negeri.” “Oke, lalu kenapa? Abang selalu dukung keputusanmu.” “Masalahnya aku nggak mau LDR. Bukan nggak mau, tapi nggak bisa.” “Jadi ini ... pembahasan yang serius? Abang pikir kamu cuma—” “Abang yang nggak serius. Udah aku capek ngulang, intinya kita putus. Titik.” Nakia langsung bangkit, tetapi baru akan beranjak, Radhi tiba-tiba menggenggam pergelangan tangannya. “Kamu kenapa, Sayang? Kalau ada masalah cerita ke Abang, biar kita cari jalan keluarnya bareng-bareng. Jangan dipendam sendirian.” “Letak masalahnya ada di hubungan kita. Hubungan jarak jauh itu bullshit. Daripada menunda perpisahan, lebih baik pisahnya sekarang. Lagian Kia yakin Abang bakal baik-baik aja tanpa Kia, masih hidup dan bernapas kayak biasanya. Beberapa bulan kemudian pasti bisa move on, bahkan mungkin langsung dapat penggantinya. Hal yang sama berlaku juga buat aku.” Nakia menepis tangan Radhi, dia menatap mata cowok itu untuk yang terakhir kali, lalu balik badan dan melangkah pergi. “Kamu nggak percaya sama Abang, Ki? Sumpah demi apa pun Abang akan nunggu kamu.” Radhi berusaha mengejar, tetapi Nakia makin mempercepat langkahnya. “Kita bisa jalani bareng-bareng asal—Ki! Tunggu sebentar, Ki! Nakia!” Terlambat, gadis itu sudah mencapai anak tangga terakhir, kemudian menghilang di balik pintu kamarnya. Bunyi anak kunci diputar terdengar jelas dari lantai dua. Radhi terpaku menatap ke arah sana dengan ekspresi campur aduk; kaget, resah, khawatir, sekaligus tidak menyangka. Semuanya masih terasa tidak nyata, karena terlalu tiba-tiba menurutnya. .......... Itu hanya seperempat bagian dari cerita masa lalu mereka. Sebenarnya masih panjang dan dramatis lagi. Kalau diceritakan kembali maka tidak akan habis dalam satu malam. Yang mendengar pun pasti akan turut prihatin terhadap Radhi, pasalnya dialah pihak yang paling menyedihkan. Diputusi, tidak dipercaya, dinilai gampang move on dan mudah mencari pengganti, padahal kenyataannya tidak pernah sesepele itu. Andai putus dengan cinta pertama mengubah Radhi jadi pencinta wanita, maka dengan senang hati dia menerima dan tentunya akan berbangga diri karena berhasil menjadi seorang kasanova. Masalahnya ... dia terlalu setia sampai-sampai tidak bisa melupakan mantan pacar pertama sekaligus satu-satunya. Satu tahun menjalin hubungan bukanlah waktu yang sebentar. Terlalu banyak kenangan yang mereka buat hingga sulit untuk dilupakan. Tentang kebersamaan, kedekatan keluarga satu sama lain, bahkan saling tahu kebiasaan masing-masing. Wajar bukan kalau Radhi tidak bisa move on? Apalagi saat itu dia sedang sayang-sayangnya pada Nakia. Jika pria hanya bisa jatuh cinta sekali dalam seumur hidupnya, maka Radhi dengan jujur memberitahu kalau cintanya sudah habis diberikan kepada Nakia. Gadis jahat yang mencampakkannya semudah membalik telapak tangan. Mungkin terdengar berlebihan, tetapi begitulah adanya. Gen setia bundanya mengalir deras dalam darah Radhi. Jangan tanya kenapa tidak disebutkan ayahnya, karena saat kecil dia pernah mendengar oma bercerita kalau ayahnya dulu adalah orang yang tidak bisa dipercaya. Beliau menjalin hubungan dengan wanita lain sebelum jatuh cinta pada bundanya. Oke, cukup menceritakan masa lalu karena masa-masa itu sudah lama berlalu. Meskipun semuanya terjadi tujuh tahun silam, di masa sekarang Raden Radhian Sadawira sudah baik-baik saja. Dia menjalani hari-hari seperti orang normal lainnya. Bekerja, bersosialisasi, dan beristirahat secukupnya. Soal hati urusan belakangan, karena prioritas sekarang adalah keluarga dan pekerjaan. Di umur yang sekarang, bisa dikatakan Radhi berada di puncak kejayaan. Dia menjadi dokter UGD di salah satu rumah sakit besar Jakarta. Dia juga terkenal tangguh, ramah, dan berdedikasi. Reputasinya baik di kalangan rekan kerja, bahkan juga pasien-pasiennya. Soal fisik dan rupa? Jangan ditanya. Merupakan sebuah anugerah karena terlahir dari pasangan yang cantik dan tampan. Radhi tidak bermaksud sombong, tetapi begitulah adanya. Soal keuangan? Harusnya tidak perlu dijelaskan lagi, semua yang melihat maupun yang mendengar pasti bisa menyimpulkan. Radhi tidak berasal dari keluarga sembarangan, namanya pun sudah menunjukkan gelar bangsawan. Intinya dia punya banyak kelebihan di samping secuil kekurangan. Namun, semua itu tidak menjadikan Radhi arogan. Kembali lagi ditegaskan, dia sangat ramah pada orang-orang. Makanya tidak hanya satu atau dua perempuan yang sering dibuat salah paham. Casing-nya mungkin terlihat seperti playboy, akan tetapi jauh di dalam sana Radhi adalah pria setia. Pria yang berprinsip dan sulit mengubah keputusan setelah menetapkan sebuah pilihan. Atau bahasa halusnya bulol, bucin sampai t***l. Bucin sampai ke tulang-tulang. “Gue dengar unit lo kedatangan perawat baru.” Radhi menoleh setelah melewati pintu. Rapat yang membosankan, syukurlah sudah berakhir sekarang. “Ternyata pembahasan tempo hari dengan manajemen rumah sakit tentang perekrutan karyawan di bagian UGD berhasil juga. Lo sendiri tau dari mana?” “Adalah seorang informan. Katanya cantik banget, yang biasa lo atau gue rayu masih kalah jauh sama yang ini.” “Bukan urusan gue.” Benjamin bersiul kemudian merangkul bahu Radhi. “Gue ikut lo sekalian mau liat dia.” “Nggak. Sana balik ke unit lo, ini masih jam kerja.” “Ayolah, Dhi. Lo nggak mau temen lo senang apa? Demi kesejahteraan burung gue. Udah lama nih dia nggak masuk sarang. Belum ketemu yang cocok buat dijadiin teman kencan.” Radhi menggeplak belakang kepala Benjamin dan mendorongnya agar menjauh. “Bodo amat. Jangan sampai karyawan di unit gue kacau gara-gara lo. Gue nggak mau kejadian nangis-nangis bulan lalu terulang lagi.” Setelah itu dia memasuki lift, sementara Benjamin menyeringai sambil melambaikan tangan. Sekalipun sikap mereka bertolak belakang, tetapi menyangkut pertemanan keduanya layak diacungi jempol. Radhi dan Benjamin berada di usia yang sama, profesi yang sama, tapi unit yang berbeda. Dari interaksi tadi mereka terdengar seperti bertengkar, kenyataannya tidak seperti itu. Cara mereka mengobrol memang blak-blakan dan agak sarkas. Benjamin itu menyebalkan. Playboy yang sebenarnya, selalu terang-terangan soal maksud dan tujuan, serta tidak pernah serius dalam menjalin hubungan. Katakanlah di rumah sakit ini sudah ada beberapa wanita yang terjerat dalam pesonanya, kemudian berakhir menangis tidak terima karena diputuskan sepihak. Saat kesenangan sudah berakhir, maka berakhir pula masa kencan Benjamin bersama si wanita. Dia membuang mereka dengan mudah, semudah mendapatkannya. Radhi tidak suka cara Benjamin memperlakukan para wanita, tetapi dia tidak mau ikut campur mengingat dirinya sendiri pun tak kalah menyedihkan. Intinya Radhi tidak mau sok bijak di saat dirinya sendiri memiliki masalah. Meskipun secara garis besar kasus mereka jauh berbeda. *** “Senang sekali punya staf tambahan,” kata Anita pada Nakia saat mengajaknya berkeliling. “Kami sangat sibuk kemarin sampai-sampai salah seorang konsulen bekerja 36 jam tanpa henti, dan hanya tidur sebentar di mejanya.” “Aku bisa membayangkannya,” geleng Nakia dramatis. “Ngomong-ngomong bahasa Indonesiamu lancar juga.” “Aku nggak akan lupa bahasa ibuku. Justru kalau aksennya kebarat-baratan yang ada malah mengundang cibiran dari orang-orang.” “Benar juga.” Anita tertawa lepas, begitu juga Nakia. Mereka baru berkenalan satu jam yang lalu dan benar-benar nyambung dalam obrolan sekarang. Ngomong-ngomong Anita orang pertama yang tidak menatap Nakia secara intens. Maksudnya tidak memperlakukannya seperti alien yang tersesat di bumi. “Jadi, kau ingin menempatkan aku di mana pagi ini?” “Kupikir kami akan melemparmu langsung ke bagian yang sulit.” Anita tersenyum tipis. “Kau bisa bekerja di unit utama bersamaku.” Anita belum menyelesaikan kalimatnya ketika telepon berbunyi. “Itu panggilan darurat untuk ambulans,” jelasnya sambil bergegas menjawab telepon. “Pasti ada masalah sebentar lagi.” Nakia mendengarkan semua percakapan itu dan mencoba mencerna petunjuk-petunjuk apa yang akan tiba di unit ini. Yang bisa dipastikannya hanyalah petunjuk bahwa pasien itu sangat kesakitan. Anita kemudian meletakkan telepon. “Kau punya pengalaman apa dengan kecelakaan yang berhubungan dengan penyelaman?” “Aku bekerja di Australia dan belum pernah menanganinya.” “Kalau begitu ini hari keberuntunganmu.” Anita mengedipkan sebelah mata, lalu kembali mengangkat telepon dan menghubungi seseorang. “Dok? Anda sudah keluar dari ruang rapat yang membosankan itu?” Dia mendengarkan sebentar, kemudian bicara lagi, “Ya. Mereka membawa seorang perenang. Kedengarannya seperti kekurangan tekanan udara. Oke—sampai nanti.” Menaruh kembali gagang telepon, Anita mengajak Nakia bergegas ke arah ruang resus bersamanya. *** Pintu berayun terbuka dan paramedis masuk ditemani oleh dokter konsulen. “Bagaimana kejadiannya?” Nakia dan Anita kompak menoleh. Seperti ada jeda beberapa detik saat keduanya saling bertatapan. Seolah mencoba mengenali satu sama lain, Nakia berusaha menggali ingatan tentang pria di depannya, sementara Radhi kaget mendapati sosok yang tidak asing berdiri tidak jauh darinya. “Ini Kiano. Dia berada di kolam renang siang ini dan pingsan karena mengeluh kakinya mati rasa. Teman-temannya menelepon kami,” jelas paramedis saat memindahkan pasien ke brankar. Radhi mengangguk lalu mengalihkan perhatian ke arah pasien. Untuk sesaat dia merasa tidak fokus, tetapi pekerjaan menuntut Radhi harus profesional. Ini menyangkut keselamatan seseorang. “Bagaimana perasaanmu sekarang, Kiano?” “Buruk. Semuanya sakit,” erangnya pelan. “Terutama di bagian bahu dan siku saya.” Radhi menoleh ke arah Nakia yang terdiam di ujung brankar, pandangannya tidak menyiratkan apa pun selain menganggap Nakia sebagai salah satu anggota tim gawat darurat—untuk saat ini. “Berikan oksigen aliran tinggi padanya dan pasang infus. Aku ingin mengambil darahnya.” Pemikiran yang sia-sia. Nakia sempat mengira suasana akan berubah canggung, karena ini pertemuan pertama mereka setelah bertahun-tahun lamanya. Namun, ternyata tidak sesuai dugaan, Radhi begitu pandai mengendalikan situasi. Tanpa sadar dia menghela napas lega, lalu dengan senyum lepas Nakia menjawab, “Baik, Dok.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD