Bagian 1

1285 Words
"Abang udah nggak pernah lihat Radit ke rumah, Ca." Vanessa mengedikkan bahu. "Sibuk, Bang. Siapa suruh dikasih gelar karyawan terbaik lagi? Makin semangat kayaknya untuk naik-naik ke puncak jabatan." Mada, kakak tertuanya, terbahak-bahak. "Yang menentukan, kan, tim penilai, Ca. Bukan abang." "Abang juga punya andil." "Nggak usah ngomel, Ca." Mario, kakak kedua Vanessa, ikut berbicara. "Kalau dia banyak duit, kan, kamu juga yang enak." Vanessa mendelik. "Aku udah banyak duit. Ngapain harus nikah sama yang banyak duit juga?" "Kamu sadar, nggak, Ca? Raditya itu tipe laki-laki yang nggak mau kalah sama cewek. Dia nggak bakal nikahin kamu sebelum gajinya di atas gaji kamu." "Nggak usah judging gitu, deh, jadi orang. Bang Mario pagi-pagi udah bikin Eca kesal aja." Vanessa menaruh sandwich favoritnya yang hanya berisi keju itu ke piring. Mood makannya menghilang bersama ucapan Mario. "Abang ini cowok, Ca. Abang tahu perbedaan cowok baik sama yang nggak baik." "Oh." Perempuan itu tersenyum sinis. "Karena Abang cowok, makanya nggak bisa bedain mana cewek yang baik dan mana yang bukan, ya?" Mada dan Mario sama-sama tahu arah serangan Vanessa. Meski banyak pembelaan yang ingin diutarakan, Mario memilih bungkam. Serangan Vanessa tidak akan berakhir baik jika diladeni. "Udah, terusin makannya." Mada menengahi. Tidak ada yang membantah. Sesibuk dan seburuk apa pun kondisinya, tiga bersaudara itu tidak pernah mengabaikan sarapan. Sejak kecil, mereka sudah dibiasakan untuk menyantap apa pun pada pagi hari. Kebiasaan itu terbawa sampai dewasa. "Kamu jadi ketemu klien dari perusahaan Kanada, Ca?" tanya Mada begitu sarapan selesai. "Jadi. Sambil makan siang, sih." "Abang denger, Park Richard yang nanti rapat sama kamu." "Park Richard yang itu, Bang?" sambar Mario. Mada mengangkat alis sebelah kanan, menunggu Mario melanjutkan ucapannya. "Park Richard yang tiba-tiba muncul entah dari mana, terus jadi pewaris Galileo Hotel & Resort?" Vanessa mendelik. "Abang norak banget," komentarnya. "Di dunia ini ada yang namanya privasi. Siapa tahu, keluarganya memang tidak ingin si pewaris diketahui." Mada diam saja. Sambil menyeruput kopi hitam tanpa gula, laki-laki itu menikmati perdebatan pagi yang lumayan rutin dilakukan oleh kedua adiknya. "Untungnya apa, coba? Bang Mada udah diumumin sejak lahir." "Emangnya semua keluarga harus kayak papa yang tukang pamer, Bang?" Mada tersenyum simpul. Mario dan Vanessa hanya berjarak dua tahun. Sejak kecil, mereka sudah terbiasa bertengkar. Namun, Mada dan semua orang tahu, mereka saling menyayangi. Mario bahkan tidak bisa membentak Vanessa meskipun adik perempuannya itu berbuat kesalahan. Termasuk ketika Vanessa tidak bersikap ramah pada Seruni, tunangan Mario. *** Salah satu mall terbesar di Jakarta ini adalah milik Asmawarman Group. Vanessa sengaja mengadakan pertemuan dengan klien di sini, karena lokasinya yang sangat dekat dengan Hotel Asmawarman. Kedua tempat tersebut berjajar, disambungkan oleh jembatan, sehingga memudahkan pengunjung hotel mencari tempat hiburan. Perempuan itu menutup berkas. Lelahnya selama berbulan-bulan, terbayar oleh kesepakatan yang disetujui klien. Dia sempat pesimis terhadap progress kerja sama ini. Akan tetapi, berkat dukungan kedua kakaknya, serta kegigihan dirinya yang tidak pernah mengenal kata menyerah, akhirnya bisa sampai juga pada kesepakatan ini. Vanessa mengerutkan kening demi mempertajam penglihatannya. Ketika mengobrol dengan klien di salah satu restoran, sekelebat dirinya menangkap sepasang manusia yang sangat familier. Beberapa saat setelah melakukan pengamatan, perempuan itu dihinggapi amarah. Kedua tangannya mengepal, berusaha menahan gejolak yang ingin segera dimuntahkan. Gejolak kemarahan. Beruntung, rapat dengan klien telah berakhir sebelum sepasang manusia itu tertangkap retinanya. Tidak ada alasan bagi Vanessa untuk melewatkan pemandangan paling menyakitkan ini. Vanessa beralih sesaat, untuk undur diri kepada kliennya. "Terima kasih atas waktu Anda, Mister Park." Laki-laki yang disapa Mr. Park tersebut menjabat uluran tangan Vanessa. Senyum yang dikulum menampakkan lesung pipinya, sehingga membuat Vanessa terpesona untuk sesaat. Kliennya itu memiliki senyum yang sangat manis, ditambah dengan lesung pipi di kedua sisi wajahnya. Postur tubuh yang ideal, tidak ada bedanya dengan atlet nasional, tampak gagah dengan balutan jas maroon dan kemeja hitam tanpa dasi. Rambutnya hitam legam, disisir rapi ke atas, menampakkan dahinya yang lebar. Tidak lupa, kulit wajahnya yang terlihat sangat terawat. Tampak mulus dan bersih. Vanessa sampai kepikiran untuk menanyakan jenis skin care apa yang digunakan sang klien. Dia ingin menirunya, siapa tahu, bisa sekinclong laki-laki itu. Tentu saja, Vanessa merasa iri. Ingin sekali memiliki wajah flawless bak porselen. "Sama-sama, Miss Vanessa. Saya menaruh harapan besar pada kerja sama ini." Suara berat sang klien membuyarkan lamunannya. Suaranya sopan banget di kuping, gumam Vanessa dalam hati. "Saya permisi, Mister." Mr. Park mengangguk. Tidak ketinggalan, senyum lebar yang menampakkan lesung pipi. Vanessa segera pergi, tidak menghiraukan ekspresi Mr. Park yang berubah menjadi sedikit kesal setelah dirinya berlalu dari sana. Seolah ada sesuatu yang seharusnya dilakukan laki-laki itu, namun tidak bisa, karena dirinya keburu pergi. Perempuan itu tergesa-gesa. Dia tidak boleh kehilangan jejak. Jika sesuatu yang buruk terjadi, hal tersebut harus diketahui oleh mata kepalanya sendiri. Dia harus memastikan bahwa penghilatannya salah. *** Vanessa mengingat-ingat kapan terakhir kali dirinya bergandengan tangan dengan sang kekasih sambil tertawa lepas. Saling rangkul sembari membicarakan banyak hal di luar pekerjaan. Rupanya, sudah lama sekali. Satu bulan? Dua bulan? Perempuan itu tersenyum miris. Hampir satu tahun. Tidak ada canda tawa. Ketika bersama pun, dia dan pacarnya sebatas makan malam selepas menonton film di bioskop. Atau sekadar bertukar sapa ketika berpapasan di tempat kerja. Selebihnya, sibuk dengan karir yang hampir mencapai puncak target masing-masing. Vanessa ingat, dia dan sang pacar dijuluki pasangan ambis semasa kuliah. Mereka resmi menjadi kekasih pada semester akhir sekolah magister, sama-sama sedang menulis tesis. Keduanya sering thesis date, bahkan setiap hari, dan terlihat oleh teman masing-masing. Dari sanalah julukan itu didapatkan. Ambisi mereka untuk cepat menyelesaikan skripsi tercapai. Menjadi yang paling awal wisuda di antara teman-teman seangkatan. Adik tingkat menyebut mereka couple goals, tidak sedikit teman seangkatan yang menganggap bahwa keduanya terlalu ambisius. Vanessa dan pacarnya tidak memedulikan ocehan-ocehan tak guna seperti itu. Mereka fokus menggapai mimpi untuk bisa menaklukkan sistem seleksi yang ketat di Asmawarman Group. Bahkan terbawa sampai sekarang mereka menempati posisi yang cukup aman di perusahaan tersebut. Meskipun Vanessa anak bungsu dari keluarga Asmawarman, Pratamada, orang yang duduk di pucuk pimpinan, membuatnya merangkak demi mendapatkan jabatan general manager. Kembali pada realita saat ini, Vanessa mati-matian menahan air matanya, agar tidak tumpah di hadapan orang banyak. Tidak boleh, sampai pasangan yang sedang memadu kasih di hadapannya ini menyadari kehadirannya. Tadinya, dia berencana untuk membiarkan mereka sadar sendiri. Namun, amarahnya sudah tidak bisa dibendung lagi. Ketika pasangan itu berhenti di parkiran untuk menunggu petugas valet membawakan mobil, Vanessa berdiri di samping si perempuan. Tidak ada yang menyadari kehadirannya sampai dia berkata, "Makan siang yang menyenangkan, ya?" Vanessa tidak mau melihat reaksi pasangan tersebut. Demi menjaga kewarasannya. Supaya amarahnya terjaga, setidaknya jangan muntah di tempat umum. Terlalu berisiko bagi dirinya yang menyandang nama besar Asmawarman. "Nessa," cicit perempuan di sebelahnya. "Hai, Sandra." Vanessa menyunggingkan senyum. Bagi Vanessa, persahabatan adalah segalanya. Apa pun akan dia lakukan, agar sahabatnya nyaman berada di dekatnya. Dia percaya, sang sahabat akan melakukan hal yang sama. Selama ini, memang seperti itu. Mereka saling membantu. Saling berbagi. Vanessa tidak tahu bahwa definisi saling berbagi dalam persahabatan itu termasuk berbagi pasangan. "Nessa." Vanessa tidak menggubris. Telinganya ditulikan, agar kewarasannya terjaga. Dia tidak ingin berbicara kepada laki-laki itu. Laki-laki yang selama ini dia anggap masa depannya. Laki-laki yang selalu dia sebut dalam doa. Laki-laki yang baru tadi pagi dibelanya di hadapan sang kakak. "Aku baru tahu, kamu sama cowok di samping kamu itu bisa serendah ini." Ucapan pelan namun menusuk hati itu menjadi kalimat terakhir yang diucapkan Vanessa sebelum meninggalkan pasangan tersebut. Bersama langkah yang ia buat tegak itu, hatinya hancur berkeping-keping. Jatuh berserakan di antara jejak kakinya. Dikhianati oleh pasangan dan sahabat sendiri sungguh tidak terperikan. Persahabatan delapan tahun dan hubungan cinta enam tahun yang dia jalin, lebur bersama air mata yang menetes perlahan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD