Pertemuan Pertama
“Ini gila!”
“Sebaliknya, kau terlihat menakjubkan. Aku heran, kenapa kau tidak pernah mau mengenakan gaun? Kulitmu yang indah akan membuat laki-laki manapun tergila-gila.”
Laura meringis. “Aku merasa telanjang. Ini jelas bukan aku, Din.”
Laura menatap bayangan di cermin dengan ekspresi ngeri. Seumur-umur Laura tidak pernah mengenakan pakaian terbuka seperti yang ia kenakan saat ini. Ia selalu mengenakan pakaian tertutup dan sopan. Wanita yang ada di dalam cermin jelas bukan dirinya.
“Laura, sebagai orang yang bekerja di salon, harus kukatakan kalau aku iri. Seandainya aku memiliki sedikit saja kecantikan seperti yang kau miliki aku akan selalu menunjukkannya untuk menarik perhatian kaum pria. Kenapa kau tidak mau melakukannya?"
Laura memekik ngeri. “Tapi aku tidak ingin menarik perhatian para pria.” Bukan itu tujuannya ke sana, ia hanya ingin melupakan sejenak masalah yang telah menjungkirbalikkan hidupnya.
“Tetap saja, pria adalah kesenangan yang tidak bisa ditolak. Ayolah, sedikit bersenang-senang tidak akan membuatmu terlibat dalam masalah."
Laura memutar tubuhnya. Gaun yang ia kenakan benar-benar tidak bisa menutupi tubuhnya. Ia merasa terpapar.
“Tidak, tidak, tidak, aku akan mengganti gaun ini dan—“
“Kau tidak akan menggantinya. Gaun itu diciptakan untukmu. Ayo, sebelum kau berubah pikiran sebaiknya kita pergi." Wanita berambut sebahu itu menarik tangan Laura keluar.
“Tapi…”
“Lagi pula, club yang akan kita datangi sangat jauh. Tidak akan ada yang mengenalimu di sana. Kita bisa bersenang-senang... hanya malam ini," tambah Dini cepat-cepat saat melihat Laura hendak mengajukan protes.
Bersenang-senang?
Laura sudah melupakan kata-kata itu sejak ia terbenam dalam setumpuk buku demi beasiswa yang akan mengurangi beban biaya pendidikannya. Laura menelan ludah.
“Hanya malam ini?”
“Ya, hanya malam ini. Besok kau bisa kembali menjadi Laura yang kaku, kutu buku dan selalu berpenampilan layaknya penjaga museum.”
Laura tersenyum mendengar ejekan sahabatnya. Dia menarik napas dalam-dalam.
Baiklah, hanya malam ini. Dia bisa bersenang-senang, melupakan sekejap masalahnya. Besok, dia bisa kembali ke realita dan menghadapi apa yang seharusnya dia hadapi. Masalahnya mungkin tidak akan selesai dalam satu atau dua hari, tapi ia tidak akan berkutat di sana dan menjadi wanita menyedihkan.
Laura tersenyum. “Kalau begitu, aku siap.”
Dini menyeringai. "Bagus," bisiknya penuh konspirasi. "Malam ini akan menjadi malam yang tidak akan bisa kita lupakan. Aku jamin."
***
“Siapkan margarita untuknya dan jangan biarkan dia minum lebih dari 2 gelas. Aku tidak ingin menangani kekacauan yang diakibatkan wanita mabuk itu.”
Rey tersenyum mendengarnya. “Kurasa dia sengaja melakukannya, Jo. Dia ingin menarik perhatianmu.”
“Atau mungkin perhatianmu.”
Rey mengerling mendengarnya. “Pesonaku memang tidak terbantahkan, tapi wanita itu jelas bukan tipeku dan aku jelas bukan tipenya. Kita berdua tahu siapa yang coba dia pikat.”
Jo, pria bertubuh besar dengan tatapan ramah itu, mendengus. “Ya, bisa dikatakan usahanya gagal. Aku tidak menyukai wanita mabuk kecuali, tentu saja, dia mabuk karenaku.”
Rey tertawa pelan. “Berikan minuman ini padanya dan kita lihat apa yang terjadi.” Ia mengedipkan mata. Jo memutar bola mata, mengambil gelas dari atas meja, kemudian bergegas berjalan menuju wanita yang duduk sendirian seperti orang yang sedang mengalami patah hati.
Rey menelengkan kepalanya. Ia menatap jam tangannya; sebentar lagi shif kerjanya berakhir. Itu berarti ia bisa segera pulang dan beristirahat. Hari ini ia luar biasa kelelahan dan besok masih ada hari besar yang harus ia lakukan. Rey sedang membereskan kekacauan yang ada di meja saat pandangannya tiba-tiba tertuju pada pintu masuk, dan ia tidak mampu memalingkan pandangan.
Rey mengerjap bukan hanya karena kecantikan alami dan daya pikat memabukkkan wanita bergaun merah ketat itu, tapi juga lekuk tubuh dan caranya bergerak masuk seolah tempat ini membuatnya tidak nyaman—bertentangan dengan gaun terbuka yang dia kenakan juga tempat yang dia sambangi.
Rey jarang terpesona pada wanita karena biasanya hal sebaliknyalah yang terjadi, tapi wanita itu, wanita bergaun merah dengan bahu terbuka itu telah membuatnya tidak bisa mengalihkan pandangan. Dia wanita yang sangat cantik dengan lekuk tubuh yang akan membuat pria manapun menjadi gila.
Kulit putihnya bersinar dibawah cahaya lampu dan rambutnya yang hitam panjang tergerai menutupi belakang gaunnya. Matanya yang indah terlihat bergerak seolah sedang memindai ruangan—gerakan yang membuat Rey meraga geli. Rey tidak sadar kalau ia menahan napas sampai paru-parunya menunjukkan protes dan wanita itu sudah berdiri di depannya. Keduanya hanya dipisahkan oleh meja panjang.
“Laura kau mau minum apa?”
Laura? Rey mengangguk setuju. Nama itu indah dan cocok untuknya.
“Aku akan memesan nanti.”
“Kau yakin?”
Laura mengangguk, tersenyum.
“Bagaimana kalau kita berdansa?”
Ajakan itu membuat Laura ngeri hingga sesaat Rey tergoda untuk tertawa. Ia berdeham untuk menyamarkan tawanya. Gadis yang aneh, pikirnya terhibur.
“Kau benar-benar payah. Kalau begitu sebaiknya aku ke sana dan aku ingin kau menyusulku, oke?”
Laura tidak langsung menjawab, tapi akhirnya gadis itu mengangguk. Ketika wanita itu mendongak, Rey baru menyadari kalau Laura memiliki sepasang mata paling indah yang pernah ia lihat.
Mata wanita itu bagaikan permata yang memancarkan kilauan lembut, membuat segala sesuatu di sekitarnya seolah memudar. Setiap kali dia tersenyum, matanya berbinar dengan cahaya yang sulit diabaikan.
Pada saat ini Rey memutuskan kalau ia telah menemukan sesuatu yang istimewa, sesuatu yang lebih dari sekadar pandangan pertama.
Pandangan keduanya bertemu, tapi kali ini Rey melihat sesuatu yang berbeda. Kesedihan. Apa yang mungkin terjadi yang membuat peri cantiknya terlihat begitu sedih?