BAB 16_KAKU

1029 Words
Johni mulai menyerang kembali. Ia mengeluarkan pisau kecil yang ia selipkan di kaki kirinya. Preman itu tidak main-main untuk menghilangkan nyawa seseorang yang membuatnya murka. Pisau itu ia lesatkan pada perut Anggara. Beruntung Anggara dengan cepat melangkah mundur, menggenggam pergelangan tangan preman itu dan memutarnya kencang. 'Kreeeek' suara tulang bergeser bersamaan dengan suara nyaring besi yang jatuh ke lantai. Teriakan Johni memenuhi ruangan. Sungguh kesakitan yang teramat sangat tergambar dari urat-urat wajahnya yang menebal. Tidak sampai di situ, Anggara menahan tangan patah itu dengan tangan kirinya. Lalu ia meninju lurus wajah preman itu disusul dengan pukulan kuat lututnya pada bagian d**a beberapa kali. Laki-laki bertato itu menunduk menahan perutnya, namun Anggara sudah tak terkendali. Ia menghantam kembali... 'Buuummmm!' Pemimpin preman itu menyemburkan darah, terkapar seperti tak sadarkan diri. Para preman lain bergidik. Mereka seolah belum bisa percaya dengan apa yang telah mereka saksikan langsung. Ternyata saat ini Anggara tidak bisa dianggap mudah. Tubuh kekar berbobot, penampilan yang elegan, juga kemampuan bela dirinya jauh lebih meningkat. Tidak bisa dianggap remeh seperti lima tahun yang lalu. Anggara menarik nafas dalam. Menyeimbangkan energinya. Latihan pencak silatnya selama ini sangat berguna dalam pekerjaannya mengawali Nyonya Anita. Sekarang bonus untuk melindungi anaknya. Nyonya Anita bahkan sering memantau perkembangan kemampuannya, tentu saja wanita itu yang mengurus semuanya. Anggara paham, ia adalah aset berharga baginya. Raungan Johni sudah mereda. Namun ia tidak mampu lagi sekedar berdiri. Para anak buahnya mencoba menolongnya. Mereka bersiap menyerang Anggara walau dengan gestur ragu. "Tunggu!" cegah Si Boss pelan. "Biarkan mereka pergi." Johni menatap nanar Anggara yang sedang membawa Desta menuju pintu keluar. Penuh angkara dalam diam dan kali ini berlipat-lipat. Sebab tidak hanya harta yang dicuri teman masa remajanya itu, namun harga dirinya juga, terkoyak-koyak, direnggut mentah-mentah. "Aku akan membalasmu, dengan cara jantan ataupun licik," batinnya. Ia sudah tidak kuat lagi, bahkan untuk terus membuka kelopak matanya. *** Anita shock melihat kedua laki-laki yang disayangnya berdarah-darah. Ia duduk di samping Desta yang sedang dibersihkan lukanya oleh Bi Odah. Desta tidak banyak bicara namun sesekali mengusap pipi ibunya. Wanita itu menangis seperti ia saja yang terluka parah. Begitulah seorang ibu, merasa lebih sakit ketika melihat anaknya sakit. Iapun menghampiri Anggara yang sedang melepas sepatunya dan jaketnya. Menyingkirkan pecahan kaca yang hampir tak terlihat namun sudah menusuk dagingnya. "Tidak apa-apa Nyonya, saya baik-baik saja." Anggara berusaha menenangkan. "Mama telpon dokter dulu!" Lekas ia mencari gawainya. Anggara merasa ia harus ke kamar dan membuka seluruh pakaiannya di sana. Terasa ada beberapa bagian yang nyeri dan menusuk kecil seperti jarum. Sayatan pisau pun terasa di perutnya, pastilah ia terluka walau tak dalam. Untung saja ia cekatan memghindar, kalau tidak, bisa saja ia meregang nyawa. Pemuda itu melangkah lurus seolah-olah tidak ada seorangpun di ruang keluarga itu. "Mas! Tunggu." Desta menghampiri. Anggara berhenti. Belum sempat ia membalikkan badannya, Desta sudah memeluknya. Hatinya menjadi seperti ditetesi embun. Seseorang yang selama in membencinya, sekarang memeluknya. Serasa sakitnya luka diseluruh tubuhnya tak seberapa jika harus ditukarkan dengan perasaannya saat ini. "Terimakasih, Mas," ucap Desta pelan. Anggara tersenyum dan melepaskan pelukan Desta. "Berhentilah jadi anak nakal," godanya. Desta ikut tersenyum. "Bukannya Mas yang sering dipanggil anak nakal sama Mama," balasnya. Mereka terseyum bersamaan. Nyonya Anita melihat pemandangan itu menangis. Namun air matanya kali ini karena benar-benar bahagia melihat kedua putranya sudah saling menyayangi. Akhirnya, doanya terkabulkan. "Terimakasih Tuhan," bisiknya ***** Di malam yang sama, Almaira masih seperti kesehariannya tanpa Anggara. Ia mencoba selalu menguatkan diri untuk bertahan sendirian. "Selama seminggu saja aku ditinggalkan laki-laki itu, sudah dipastikan tubuhku akan membengkak," gerutunya sambil mengunyah camilan berbahan dasar kentang. Almaira menggerutu sendirian untuk menghilangkan suntuknya. Ia akan selalu begitu, rasanya jika mengomel tentang Anggara, ia merasa ada yang melegakan di hati. Bukankah itu artinya ia selalu memikirkannya? Bukan tak pernah ia berusaha menepis bayang-bayang tentang Anggara, namun ia selalu saja tidak berhasil. Lelaki yang telah menculiknya itu menjelma menjadi isi otaknya, tidak ada sedetikpun ia tidak memikirkannya. "Dia berjanji padaku untuk segera pulang tapi sudah 4 malam ia pergi. Dasar pembohong!" jerit hatinya. Almaira berdiri lalu menengok keluar jendela lalu kembali duduk lagi di ranjangnya. Sudah ribuan kali hal itu ia lakukan. Berharap, sosok yang ia harapkan kedatangannya segera memunculkan diri. Sisi hatinya lain bergumam, kenapa ia terus menunggu kedatangan lelaki yang ia benci itu? Terlalu aneh. "Hanya dia yang tahu keberadaanku di sini, kalau dia tiba-tiba tak kembali? Bagaimana nasibku. Aku akan menjadi mayat di sini." Almaira menjawab sendiri bisikan hatinya. Persediaan makanannya masih cukup banyak. Novel yang Anggara berikan belum habis semua ia baca. Ada novel romansa tentang cinta yang bertasbih oleh H. Habiburrahman El Shirazy juga tentang kisah-kisah perjuangan istri oleh Asma Nadia. Almaira jatuh cinta pada penulisnya dan begitu mengagumi kepiwaian mereka membawa pembaca ke dalam cerita. Hanya selama membaca saja Almaira bisa sedikit menghilangkan pikirannya tentang Anggara. Sisi hatinya yang lain juga kadang menggodanya, persediaan makanan masih banyak, alat penerang di malam hari juga masih lengkap, mengapa ia harus was-was? "Bagaimana kalau aku sakit? Di sini banyak nyamuk, bagaimana jika salah satunya adalah Aedes aegypti? " Almaira bersungut-sungut menjawab dirinya sendiri. Gadis itu menyandarkan dirinya ke kasur. Membolak-balikkan novel yang akan ia lahap isinya malam ini. Namun entah kenapa hatinya benar-benar tidak tenang. "Anggara...kamu dimana?" Almaira menutup kelopak matanya. Ada bulir bening di ujung matanya. Perasaan takut, sedih, khawatir, juga rindu tak bisa ia uraikan. Saat ini ia hanya Anggara kembali dan memarahinya, sebab ia membiarkan sampah-sampah bekas makanannya berserakan begitu saja. Padahal lelaki itu sudah menyiapkan tempat sampah di dekat kaki ranjangnya. Dinginnya malam membuat Almaira menutupi tubuhnya dengan selimut tebal. Sama seperti seprai yang baru, selimut itu juga baru. Bermotif hewan panda, hitam bercampur putih yang seimbang. Ia suka motif itu, pilihan Anggara tidak buruk baginya. Saat Almaira sudah hampir terlelap penuh, ia tiba-tiba merasakan dari bawah kakinya ada yang sedang merayap di atas tubuhnya. Almaira masih merasa seperti dalam mimpi. Namun semakin lama terasa bergerak dan bervolume. Almaira tidak berani membuka mata. Jantungnya berdegub kencang. Terbayang di matanya, berbagai macam hal. Namun yang pasti, ada yang tidak beres. 'Mungkinkah Anggara yang sedang menyentuhku? Atau orang lain? Atau bukan manusia? Hantu? Atau...Oh Tuhan! Ular!' batinnya menjerit. Tubuhnya bergetar merasakan benda yang semakin terasa memanjang dari pinggangnya hingga lututnya. Bergerak semakin ke atas. Almaira kaku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD