Salju

1350 Words
"Letakkan di sini." Dengan tawa yang masih menghiasi bibir kecilnya, Sakura berhati-hati meletakkan bola salju yang ia buat di tumpukkan paling atas. Diletakkannya perlahan agar tidak merusak tumpukan salju di bawahnya. Namun, belum juga salju itu tertata rapi, Sakura merasakan seperti ada yang menekan dadanya. Di dalam sana, ia merasa ada yang meremas, menghalangi jalan udara yang ia hirup.  Gadis itu terduduk, sakit yang dirasa seolah menguasai tubuh Sakura. Napasnya pun kian tersengal, bahkan untuk menghirup udara sedikit saja ia begitu kesulitan. Udara yang dingin telah menekan jantungnya yang begitu lemah. Melihat Sakura kesakitan, Haruka bergegas mendekati gadis itu. Mencoba membantunya dengan menepuk pelan punggung milik temannya itu. "Sakura, kau baik-baik saja?" ucapnya khawatir. Namun, Sakura tak bisa menjawab. Ia masih berusaha sekuat tenaga untuk mengambil udara di sekitarnya. Kian detik rasa sakit itu terasa semakin sakit. Sakura hampir kehilangan kesadaran. "Sakura, Sakura." Perlahan, mata Sakura terpejam. Haruka bimbang, haruskah ia berlari dan meninggalkan Sakura seorang diri? tapi, bagaimana jika sesuatu terjadi saat ia pergi? Tak bisa mempertimbangkan lebih lama, bocah lelaki itu berlari dengan sekuat tenaga menuju rumah Sakura. Beruntung, jaraknya hanya tersekat oleh jalan yang cukup lebar. Ditekannya bel berkali-kali, tak menunggu bunyi nada itu berhenti, Haruka terus saja menekannya tanpa jeda. Hingga, akhirnya seseorang membuka pintu rumah. Hana, wanita itu rupanya. "Sa-sakura, sakura," ucap Haruka terbata. Mendapati bocah lelaki dengan tubuh penuh salju dan napas ngos-ngosan, firasat tidak enak langsung dirasakan Hana. Wanita itu bergegas menuju tempat anaknya pamit, sungai. Salju yang hampir membuatnya tersungkur tak digubris, ia terus berlari, bahkan meninggalkan Haruka yang masih terpaku di halaman rumahnya. Salju yang dingin seolah tak bisa menenangkan mata yang memanas. Rintik di mata Hana luruh seketika saat ia dapati putri kecilnya tersungkur di atas salju yang begitu dingin. "Sakura ..." Hana berteriak, memanggil anaknya yang bahkan sudah tidak mendengarnya. Perasaan cemas, bersalah, bercampur aduk menjadi satu hingga sulit ditafsirkan. Hana memeluk tubuh anaknya yang terasa dingin. Bahkan, bibir yang awalnya pucat kini berubah rona menjadi biru. Tubuh kecil itu kedinginan, dibalut salju yang semakin membeku. Tak berselang lama, suara sirine terdengar lantang memenuhi jalanan. Satu mobil ambulans berhenti tepat di tepi sungai. Dua petugas medis turun, meraih tubuh kecil Sakura dan meletakkannya di atas tandu, membawanya ke dalam mobil untuk diberikan pertolongan pertama. "Sepertinya dia mengalami serangan jantung," ucap salah seorang berseragam rumah sakit setelah memeriksa kondisi Sakura. Alat bantu pernapasan segera dipasang, tak lupa dengan alat-alat medis yang lain yang juga diletakkan di beberapa bagian tubuh kecil itu. Garis naik turun juga nampak jelas di layar monitor yang tersambung melalui kabel dengan kondisi vital Sakura. Sepertinya, tim medis yang menangani Sakura tidak ingin kalah dari mobil yang melaju sangat kencang. Jika supir beradu dengan padatnya jalan, tim medis bertarung dengan kondisi memprihatinkan gadis kecil yang harus segera diselamatkan. Terlambat sedikit saja, nyawa gadis itu mungkin tidak akan bisa diselamatkan. Beep ... Beep ... Beep ... Saat keheningan menyelimuti seluruh mobil, tiba-tiba suara beep panjang terdengar meriuhkan, membuat semua yang tengah berada di dekatnya dilanda kepanikan. Masalahnya, bunyi beep yang terdengar datang bersamaan dengan garis di layar monitor yang tidak stabil. Angka yang tertera di tepinya pun ikut menampilkan deretan yang semakin menurun. "Saturasi oksigen pasien menurun," ucap salah satu dari tim medis. "Siapkan defribillator." Alat kejut jantung dipasangkan di atas d**a Sakura, hingga berkali-kali tubuhnya terangkat. Gadis kecil itu, kini harus berjuang untuk bertahan. Sementara di tepi sungai, seorang bocah laki-laki yang baru saja melepas wujud ambulans dari netranya masih terdiam, terpaku dengan apa yang terjadi barusan. Haruka, bocah itu memandangi boneka salju yang telah rusak. Ingatannya kembali pada saat ia memberikan segumpal salju pada Sakura, hingga gadis itu kesakitan dan akhirnya terkulai lemah di depannya. "Apakah Sakura sakit karena salju ini?" ucapnya lirih. Dengan wajah yang masih menyiratkan kesedihan, Haruka pergi dari tepi sungai dan bergegas pulang. Rasa senangnya karena salju datang, kini berganti dengan luka yang akan selalu ia ingat jika musim dingin tiba. (Satu minggu kemudian) Salju hampir menyelimuti seluruh kota. Jika sebelumnya hawa dingin hanya menembus jaket tebal, mungkin jika bisa dilihat dingin itu kini mulai bisa menembus tulang, saking rendahnya suhu derajat di kota hari ini. Di tengah embun yang bahkan hampir membeku, seorang anak kecil berjalan pelan di tepi sungai. Salju yang menyelimuti jalan, seolah terbelah dengan langkah kecil yang ia ciptakan. Bocah itu berjalan kesana kemari sedari tadi, entah apa yang sedang ia tunggu di tengah tebalnya salju. "Aku akan menunggu sampai ada air yang mengalir," ujarnya seraya mondar-mandir, sesekali kedua tangannya dilipat untuk menghalau rasa dingin. Anak kecil itu adalah Haruka, di tengah aktivitasnya menunggu es di sungai mencair, sesekali ia menengok ke seberang jalan, pada rumah mewah yang satu minggu lalu ia datangi. Rumah Sakura. Mungkin, tujuannya datang setiap pagi bukan hanya untuk menghanyutkan perahu kertas miliknya, tetapi Haruka juga mengharapkan bertemu dengan teman perahunya. Bahkan alasan ia tak beranjak sampai air mengalir, hanya dijadikan sebagai kedok dari alasan sebenarnya yakni menunggu Sakura menampakkan diri. Sudah tujuh hari, ia menghanyutkan perahu kertas seorang diri. Lagi-lagi, mata Haruka menyapu seluruh rumah Sakura, halaman, pintu, bahkan jendela, berharap ia bisa melihat temannya.  "Apakah Sakura masih sakit?" lirihnya, kemudian pandangannya kembali pada salju yang menutupi sebagian kakinya. "Apa aku pulang saja, ya?" tanyanya pada diri sendiri. Untuk usia lima tahun, apakah tidak apa-apa Haruka bermain seorang diri seperti ini? Haruka menghela napas. "Nanti sajalah, lagipula tidak ada siapa-siapa di rumah," ujarnya seraya berjalan kembali. (Musim dingin hampir berakhir) Entah sudah berapa lama Sakura berdiam diri di kamar. Kondisinya terakhir kali membuat ibunya semakin melarang gadis itu keluar barang sebentar. Bahkan, harapan yang selama ini ia hanyutkan bersama dengan perahu kertas harus ia tunda. Namun, kendati begitu, Haruka setiap pagi tetap menunggu di sungai, menghanyutkan perahu kertas seorang diri dan berharap Sakura datang setiap pagi. Meski selama apapun ia berharap, selama itulah ia akan pulang dengan kecewa. Haruka masih terduduk di tumpukan salju yang mulai hilang. Dilemparnya batu kerikil ke sungai untuk menghalau rasa bosan. Seperti biasa, ia tak akan langsung pulang sampai perutnya berteriak lapar. Saat ia tengah asyik melempari sungai dengan batu, tiba-tiba sepasang kaki dewasa mendekat dan berhenti di sampingnya. "Kau yang bernama Haruka?" tanya seorang wanita begitu Haruka mengangkat kepala. Bocah itu mengangguk, meski ia belum tahu darimana Ibunya Sakura tahu namanya. Kemudian, Hana ikut merendahkan tubuh, berjongkok menghadap bocah lelaki di depannya. Dengan lembut, Hana memegang tangan Haruka. "Apa kau kesini setiap pagi untuk menunggu Sakura?" Haruka menggeleng kemudian mengangguk pelan. "Aku kesini untuk menghanyutkan perahu kertas bersama Sakura selama satu tahun," ujarnya. Mendengar itu, Hana nampak sedih melihat anak lima tahun yang menjawab dengan sangat polos. Wanita itu menghela napas pelan, lalu masih dengan posisi yang sama, ia kembali berkata pada Haruka. "Maaf ya, sepertinya Sakura tidak bisa bermain lagi dengan Haruka," ucap Hana yang dibuat selembut mungkin. "Apa Sakura sakit karena bermain denganku?" tanya Haruka. Hana dengan cepat menggeleng. "Bukan begitu," ucapnya. "Intinya, Haruka tidak boleh lagi kesini, ya. Karena Sakura akan sedih jika melihat Haruka. Kau tidak ingin Sakura merasa sedih, kan?" Haruka mengangguk, meski ia tak paham benar apa yang wanita dewasa itu katakan. Namun, mungkin benar katanya, jika keberadaannya di sini akan membuat Sakura merasa sedih.  Semenjak hari itu, Haruka tak pernah lagi menampakkan diri di tepi sungai. Bahkan untuk menghanyutkan perahu kertas seorang diri membuatnya semakin merasa bersalah terhadap Sakura. Itulah yang ditafsir oleh anak berusia lima tahun atas perkataan Hana waktu itu. Sementara di depan jendela, setiap pagi gadis kecil itu berdiri dan menyapu setiap sisi sungai yang bisa ditangkap mata. Gadis itu mencari-cari sosok yang selama ini ingin ia temui. "Apa yang sedang kau lihat?" sapa Hana begitu ia sampai di kamar Sakura dengan obat yang dibawanya. Sakura menoleh. "Kenapa Haruka tidak pernah datang ke sungai lagi, ma?" tanyanya polos. Hana tersenyum, dan menjawab dengan lembut. "Mungkin ia sudah menghanyutkan perahu kertas selama 365 hari," jelasnya. Mendengarkan itu, Sakura kembali memasang wajah sedih. Mungkin saking lamanya ia tidak keluar, ia sampai lupa sudah berapa lama Haruka menghanyutkan perahu kertas miliknya. Semenjak saat itu, Haruka dan Sakura tak pernah lagi bertemu. Hingga sepuluh tahun berlalu, takdir seolah menuntun mereka untuk berjumpa. Adakah yang masih sama setelah sepuluh tahun yang terlewat?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD