Seorang Teman

1335 Words
Kalian tahu apa yang menyenangkan dari musim semi? Ialah warna-warni bunga plum yang senantiasa menyambut, disusul dengan kelopak merah muda yang menyuguhkan keindahan di sepanjang kota, bunga sakura.  Saat musim itu datang, bisa dilihat nuansa merah muda nan cantik memenuhi sepanjang jalan, g**g, bahkan seluruh taman. Bukan hal asing, jika akan kita dapati hampir seluruh penghuni kota keluar rumah untuk menikmati kembang yang hanya mekar beberapa minggu ini. Kalian akan menyaksikan banyak dari mereka yang menghabiskan waktu bersama, entah bercengkerama dengan keluarga di bawah pohon sakura, ataupun menyaksikan kembang api di puncak musim semi dengan pasangan. Apapun itu terlihat sangat menyenangkan. Apakah semua orang akan melakukan hal yang menyenangkan seperti itu? Tentu, hal ini juga berlaku bagi gadis lima tahun bernama Sakura. Kendati tubuhnya lemah, tetapi ia akan tetap menikmati mekar sang bunga yang serupa dengan dirinya, Sakura. Di sebuah sungai setiap pagi. Dua perahu kertas yang membawa harapan masih berlayar tak berjeda. Ditemani dengan bunga merah muda yang mekar di tiap tepinya, membuat suasana terasa lebih hangat dari biasanya. Tak hanya hangat, tapi juga indah. Hal yang lebih menyenangkan ialah, keindahan dari musim semi tidak berhenti hanya Ketika bunga sakura mekar. Namun keindahan akan terus berlanjut, bahkan saat kelopaknya mulai berguguran layaknya gerimis, maka mata akan disuguhkan dengan pemandangan yang sangat manis. "Sakura lihat, ada kelopak bunga sakura yang naik di perahumu," ucap Haruka seraya menunjuk perahu kertas berwarna merah muda milik Sakura. Sakura menoleh, memastikan apa yang dikatakan Haruka benar. "Kau benar, ada kelopak sakura di perahuku," timpal gadis itu senang. "Sepertinya ia akan ikut mengantar permintaanmu pada Tuhan," ucap bocah lelaki itu lagi. "Apa menurutmu Tuhan akan senang?" Sakura bertanya. Dengan lantang, Haruka mengangguk. "Tentu saja, anggap itu hadiah darimu untuk Tuhan." Mendengar itu, Sakura tersenyum. Kemudian kembali mengekor perahu kertas yang mereka hanyutkan. Perahu kertas itu perlahan menjauh, seiring dengan arus sungai yang mengalir menuju hilir. Semoga satu tahun akan terlewati dengan kabar baik dari harapan mereka. (Natsu, musim panas hari ke-210) "Bukankah ini puncak musim panas, kenapa aku harus memakai jaket?" tanya Sakura polos saat ibunya masih saja memakaikannya jaket tebal di musim panas. Wanita yang masih berjongkok di depan Sakura itu tersenyum, lalu dengan lembut mengusap pelan kepala anaknya. "Bukankah air di sungai tetap terasa dingin?" ucapnya. Gadis kecil itu nampak berpikir sejenak, kemudian mengangguk setuju dengan perkataan ibunya. Ini adalah musim panas di bulan Agustus, hari ke-210 sejak Sakura melepas harapannya bersama dengan perahu kertas. Sudah setengah lebih perjalanannya mengantarkan harapan kepada Tuhan, semoga apa yang ia impikan bisa terbalas dengan kabar yang membahagiakan. Seperti biasa, Sakura akan menghabiskan pagi di sungai bersama Haruka, teman yang sudah berjanji akan menghanyutkan harapan mereka selama satu tahun tanpa jeda. "Hei Sakura, apa kau mau lihat festival kembang api akhir pekan ini?" tanya Haruka setelah perahu mereka melenggang jauh tak terlihat. Mendengar pertanyaan dari Haruka, raut wajah Sakura yang semula riang tiba-tiba beralih pada rona kesedihan. Gadis itu menggeleng pelan. Seperti yang terjadi setiap tahunnya, jika musim panas telah mencapai puncak, festival kembang api atau yang biasa disebut festival hanabi dilakukan hampir di seluruh kota. Bulan ini, adalah puncaknya. Jika bagi orang lain peluncuran kembang api adalah momen yang sangat menyenangkan, tapi tidak untuk Sakura. Gadis itu tetap berdiam diri di rumah, kendati orang-orang ramai berlalu lalang di sepanjang jalan. "Jangan bersedih, Sakura. Meski kau tidak bisa datang, kau bisa melihatnya dari jendela," hibur Haruka saat ia dapati temannya bersedih. "Dari jendela?" Sakura bertanya heran. Haruka mengangguk. "Itu rumahmu, kan?" ucapnya seraya menunjuk rumah besar di seberang jalan. "Katanya, tahun ini kembang api akan diluncurkan di lapangan itu, jadi kau tetap bisa melihatnya," lanjutnya, kali ini tangan Haruka beralih menunjuk lapangan di seberang sungai. Sepertinya, apa yang disampaikan Haruka berhasil membuat gadis perempuan itu terhibur. Setelah mendengar itu, Sakura kembali menunjukkan rasa senangnya. "Sungguh? Bukankah itu menyenangkan?" ucap Sakura dengan mata penuh binar. Haruka mengangguk. "Kau akan melihatnya bukan?" "Tentu, aku akan melihatnya." Sejak bertemu dengan Haruka, tidak bisa dipungkiri jika hidup Sakura terasa lebih menyenangkan. Hari-hari yang ia lewati pun dihabiskan dengan semangat sepanjang waktu. Terlebih, jika pagi datang, Sakura akan sangat senang bertemu dengan teman perahunya dan mendengarkan banyak cerita dari Haruka. Belum lagi, dengan festival kembang api pertama kali yang tidak akan pernah Sakura lupakan. Ia akui, semua kesenangan yang menyertai sebagian besarnya dibawa oleh Haruka. 'Tuhan, terima kasih. Aku sangat bersyukur.' (Fuyu, musim dingin hari ke-330) "Tiga puluh tiga, tiga puluh empat, tiga puluh lima." Gadis itu menghitung mundur tanggal dengan sangat senang. Jika dihitung dari musim semi awal ia mulai, itu berarti setidaknya kurang satu bulan lagi ia akan menggenapkan satu tahun pertamanya menghanyutkan harapan perahu kertas. Tentu hal itu membuatnya sangat gembira. Saat tengah memandangi tiap tanggal dengan riang, tiba-tiba Hana mendekat, lalu merendahkan tubuh setinggi anaknya. "Bukankah udara di luar sangat dingin, kau yakin tidak apa-apa jika keluar?" Hana bertanya dengan nada khawatir. Ini adalah musim dingin, musim dimana anaknya sangat rentan terhadap suhunya. Namun, kekhawatiran yang dirasakan Hana langsung ditenangkan oleh Sakura.  Dengan semangat, gadis itu mengangguk. "Tentu, bukankah mama sudah memakaikanku jaket yang paling tebal? Lihat, aku juga memakai syal," ujar Sakura seraya menunjukkan syal rajut berwarna merah muda yang melingkar di leher. Benar, tubuh Sakura sudah terbalut pakaian yang sangat tebal. Bahkan topi dan penutup telinga tidak luput dari tubuh gadis itu. Namun meski demikian, Hana belum sepenuhnya yakin dengan kondisi putrinya. Masih dengan posisi yang sama, Hana kembali memastikan. "Bukankah tidak mengapa jika libur dulu? Setidaknya sampai udara terasa sedikit hangat," ucap Hana sedikit memohon. Namun, dengan cepat Sakura menggeleng tidak setuju.  "Kurang tiga puluh lima hari lagi, ma. Aku tidak boleh berhenti jika ingin harapanku terkabul," ucapnya, kemudian menatap lekat manik ibunya. "Mama tenang saja, aku akan langsung pulang begitu selesai, oke?" Sakura berkata dengan mantap. Mendengar itu, Hana menghela napas berat. "Baiklah, janji tidak lama-lama," timpalnya yang akhirnya setuju. Jujur, dalam hatinya yang terdangkal sekalipun Hana masih belum begitu yakin untuk membiarkan anaknya keluar saat udara dingin seperti ini. Namun melihat mata Sakura yang begitu bersemangat, Hana tak tega jika harus melarangnya.  Ini adalah musim dingin pertama Sakura untuk keluar. Itu berarti, ini adalah pertama kalinya gadis itu merasakan salju yang turun langsung menyapa pakaian yang ia kenakan. Salju baru saja turun, air di sungai juga belum ada yang mengeras, masih mengalir dengan arus sedikit deras. Saat gadis itu sampai, Haruka telah berdiri di tepinya seraya membulatkan salju di tangannya. "Bukankah salju baru saja turun?" sapa Sakura begitu ia sampai. Melihat salju yang sedikit tebal, sepertinya salju sudah turun dari semalam. Haruka mengangkat bahu. "Entahlah, mungkin semalam sudah turun dan berhenti, lalu pagi ini turun lagi," jelasnya. Tak mau menunggu lama, Sakura langsung meletakkan perahu kertas miliknya, menghanyutkannya sebelum salju memenuhi aliran sungai. Sementara Haruka, ia telah lebih dulu melakukannya karena tak sabar ingin segera bermain salju. Melihat perahu miliknya pergi jauh, Sakura berbalik. "Apa yang sedang kau buat?" tanyanya saat melihat bola-bola salju kini disusun oleh Haruka. Bocah lelaki itu berhenti sejenak. "Membuat boneka salju, kau mau coba?" Haruka memberikan segenggam salju pada Sakura. Sakura yang belum pernah melakukan hal semacam itu sangat senang, ia menerima salju dan menggenggamnya, kemudian ikut membuat gumpalan salju yang seperti Haruka lakukan. "Letakkan di sini," ujar Haruka mengarahkan Sakura untuk meletakkan bola salju miliknya di tumpukan paling atas. Dengan hati-hati, Sakura meletakkan bola salju miliknya. Namun, belum juga tertata sempurna, gadis itu tiba-tiba memegang d**a, merasa sangat sakit di dalam sana. Sakura terduduk dengan napas mulai tersengal. Ia terus memegang d**a seraya bersusah payah mengambil napas. Udara di sekitar sangat banyak, tapi seolah ditolak oleh paru-paru milik gadis kecil itu. Ia terlihat begitu tersiksa. Melihat Sakura kesulitan bernapas, Haruka ikut membantu dengan menepuk-nepuk pelan punggung gadis itu. Namun sepertinya itu tidak membantu, Sakura semakin kesulitan bernapas. Tanpa pikir panjang, ia berlari menuju rumah Sakura. Menekan bel berkali-kali dengan tangan gemetar. Bukan gemetar karena dingin, tetapi karena kekhawatiran yang menguasai bocah lelaki itu. Sementara itu, Hana yang merasa tak enak dengan kehadiran Haruka langsung berlari menuju sungai tanpa mendengarkan penjelasan bocah itu. Tak lama, terdengar jeritan dari wanita memanggil nama anaknya, Sakura.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD