Kembali

1542 Words
Seperti yang dikatakan Dokter Vhir, terapi untukku harus dipercepat dari jadwal sebelumnya. Semakin hari, kamampuan otakku sepertinya semakin lemah. Bukan hanya mudah sakit, ingatan-ingatan tentang masa lalu juga semakin banyak yang terlupakan. Bahkan beberapa kali aku juga mudah melupakan hal-hal yang baru saja kualami. Sampai hari menjelang sore, Shilla masih belum muncul di rumah sakit. Bahkan dia juga tidak menelepon. Sebentar, di mana ponselku? "Cari apa?" Dokter Vhir muncul bersama seorang perawat ketika aku sibuk mencari benda keramat itu. "Hape saya ke mana ya, Dok?" "Hape?" Aku mengangguk mengiyakan. "Sejak kemarin aku sama sekali nggak lihat ada hape di sini." "Tapi saya butuh hape buat menghubungi orang kantor. Mereka pasti kebingungan karena saya belum kasih kabar." Dokter muda itu tersenyum lembut. Perawat di sampingnya, mulai membantuku untuk pindah ke kursi roda. Hari ini, seperti yang dikatakan Dokter Vhir, terapiku akan dipercepat dari jadwal yang seharusnya. "Kamu tenang saja, adikmu pasti sudah mengurus semuanya." "Tapi, Dok, saya ...." "Sudah, kamu nggak usah mikir kebanyakan. Pikirkan saja kesembuhanmu. Oke?" Aku hanya mengembuskan napas kasar, agak kurang setuju denga  titah Dokter Vhir. Biar bagaimana pun, rasanya kurang etis kalau aku absen dari kerjaan tanpa memberitahukan semuanya sama Mbak Rain. Gischa juga pasti akan mengomel karena kerjaanku menumpuk. Suster mendorong kursi rodaku menuju ruang terapi. Namun baru keluar dari ruang rawat, Dokter Vhir sudah mengambil alih tugasnya. "Dok—" "Sudah, tidak apa-apa. Titisan Mak Lampir ini agak sedikit manja dan penakut, jadi kali ini biar saya ikut menemaninya, Sus." Walau tidak melihatnya, aku yakin saat ini pasti perawat cantik itu tengah merasa tidak enak hati karena ulah Dokter Vhir. "Biarkan saja, Sus. Dokter Vhir ini Titisan Hitler lebih baik kita nurut saja apa maunya. Kalau tidak, nanti kita bisa habis." Sesekali aku membalas candaannya, boleh, 'kan? "Apa kamu bilang?" Dokter Vhir malah berhenti dan berdiri di depanku sambil menyedekapkan tangan. "Hitler katamu? Hitler mana yang setampan ini?" Nah, nah, nah, kaaan, dia mulai lagi. Hadeuh, Dok, tahukah kamu, bahwa ketampananmu itu tidak seberapa dibanding kepercayaan dirimu yang menentang langit? Aku memutar bola mata malas. Di sela obrolan kami, seorang suster keluar bersama pasien cantik yang duduk di kursi roda. Tepat dari pintu yang ada di belakang Dokter Vhir, sehingga membuatnya hampir menubruk dua orang itu. "Maafkan saya, Dok." Suster itu terlihat sangat tidak enak hati. Padahal jelas-jelas Dokter Vhir yang salah. Suruh siapa dia berjalan mundur? Mau praktik jadi undur-undur apa gimana? "Bukan masalah." Dokter Vhir mengibaskan tangan santai sambil memamerkan senyum yang, ya, jujur saja, senyumnya cukup menawan. "Loh, Mbak Dania suaminya nggak nemenin?" Dokter Vhir mengalihkan fokusnya pada seorang gadis imut yang duduk di kursi roda. Dania hanya tersenyum sekilas, lalu menggeleng lemah. Ada kesedihan yang membayang di wajah pucat gadis itu. "Dia sedang mengambil baju ganti ke rumah, Dok," ujarnya dengan suara lemah. "Ya sudah, nanti biar saya temani sekalian saja." Dokter Vhir ternyata memang selalu bersikap baik dan memperhatikan pasien-pasiennya. Aku tajub dengan keramahan dokter yang satu ini. "Saya sekalian mau jagain Mak Lampir," lanjutnya sambil melirik ke arahku. Membuatku menarik pujian yang sempat terbesit dalam benak beberapa detik lalu. Dia menyebalkan. Dania melongok ke arahku, lalu memamerkan senyum. "Mbak sangat beruntung memiliki orang seperti Dokter Vhir," ucapnya dengan senyum tulus, dan kesedihan yang entah mengapa di mataku terlihat begitu nyata. "Ini bukan seperti—" "Sebaiknya kita segera ke ruang terapi." Dokter Vhir memotong kalimat yang hendak keluar dari bibirku, dan aku amat sangat yakin, kalau saat ini pasti gadis bernama Dania itu sedang memikirkan hal yang tidak-tidak antara diriku dan Dokter Vhir. Sampai di ruang terapi, suster membantuku dan juga Dania untuk masuk ke sebuah kapsul. Ini bukan kali pertama untukku menjalani terapi oksigen, tapi tetap saja, sensasi dan rasa takut yang kurasakan masih belum berkurang. Apalagi, setiap kali habis melakukan terapi ini, telingaku rasanya sakit luar biasa. Lelah, dan juga lapar. "Aku akan mentraktirmu makan apa saja setelah ini. Semangat!" Dokter Vhir mengepalkan tangan di udara. Memberikan tanda semangat ke arahku yang kini sudah berbaring di dalam tabung. Di sebelah, kulihat tabung Dania juga sudah mulai ditutup. Begitu selesai terapi, seluruh tubuhku terasa lemas, dan aku langsung tertidur. *** "Disty, akhirnya lo balik lagi. Kantor ini sepi nggak ada lo tauuu." Gisca segera menghambur memeluk begitu aku sampai di kantor. "Welcome back, Dis." Mbak Rain ikut memelukku. "Boleh ikutan peluk?" Radit hendak mendekat, tapi Gisca memukulnya dengan sebuah buku, yang sepertinya itu adalah terbitan baru. "Modus aja lo." "Selamat datang kembali, Nona Korea," ucap Radit pada akhirnya. "Thak's ya, semuanya ... Mbak Rain, maafin aku, ya." Aku tersenyum kikuk ke arahnya. Sejujurnya aku juga tidak enak hati karena sering kali seperti ini. Sakit, dan selalu, aku harus tidur lebih lama kalau kepalaku mulai berulah. "Nggak papa, santai aja." "Santai gimana, Mbak? Kalian pasti kewalahan gara-gara aku. Sekarang, aku terima apa pun konsekuensinya. Kalau seandainya Mbak mau aku mundur dari sini, aku akan mundur." "Nggak usah terlalu dipikirin, Dis. Kesehatanmu lebih penting. Lagian kamu juga sangat beruntung mempunyai adik yang sangat peduli sama kamu." "Adekku? Shilla?" "Iya. Dia dateng ke sini dan mohon ama Mbak Rain biar nggak mecat lo. Dia juga maksa buat ngerjain semua tugas lo selama lo nggak masuk. Dis, gue bener-bener iri sama lo." Gisca tersenyum lembut seraya menepuk pundakku pelan. Benar yang dia katakan. Aku adalah orang yang sangat beruntung memiliki Shilla sebagai adik. Dia adalah orang pertama yang akan marah-marah kalau aku melakukan sedikit saja kesalahan. Namun di balik kemarahannya, aku tahu kalau dia adalah seorang yang sangat peduli padaku. "Eh, tapi gue heran deh. Cewek es itu beneran adek lo?" tanya Gisca sambil mengambil posisi duduk di meja seberang. "Cewek es?" "Iya, sumpah, dia itu dingin banget. Beda jauh ama lo yang rame total. Dia kerja ya kerja aja gitu. Diajakin ke kantin bareng aja cuma geleng-geleng kepala." Aku tertawa mendengar penilaian Gisca terhadap Shilla. Walau memang benar, siapa pun yang baru mengenalnya pasti akan mengatakan hal serupa. Gadis itu sepeti makhluk dari kutub selatan. Terkesan dingin, dan bagi sebagian orang mungkin akan menganggapnga judes. Tetapi sebenarnya dia tidak seperti itu kalau sudah kenal. "Eh tapi, kejanya rapi banget loh. Cepet juga. Editan lo udah kelar semua ama dia. Dan yang bikin gue heran, kalau ngobrol lewat chat, dia kayak duplikat lo. Gaya bahasanya bisa sama persis. Dia kan chat ama penulis yang waktu itu kita omongin. Nah, kan dia ngobrolnya pakek w******p web, sementara hp admin ada sama gue. Dia gercep banget, dan yang bikin gue heran, kok bisa ya, cewek sedingin dia di dunia nyata, bisa persis banget ama lo gitu ramenya kalo chattingan." Lagi-lagi aku hanya tertawa menanggapi ucapan Gisca. Ini bukan kali pertama Shilla menggantikanku di dunia maya. Dulu, saat aku seperti orang lumpuh, saat pertama kalinya dokter memberitahukan masalah di bagian otakku, dia juga yang menggantikanku di dunia maya. Saat itu aku masih aktif mengikuti kelas-kelas menulis online, dan dia menggantikanku mengetik apa yang ingin kutulis. Dia seperti tangan dan kaki untukku, saat aku tak bisa bergerak sama sekali. "Kalo masalah itu, dia emang paling jago. Dia udah sering gantiin aku di dumay." "Hah? Sumpah lo? Seriusan?" "Emang aku keliatan kayak lagi ngelawak, ya? Ngelawak juga kalo kayak gitu nggak lucu kali." "Tapi sumpah, beneran deh, gue heran ama dia. Kok bisa sih, jadi cewek se'kulkas' itu? Gue aja hampir putus asa rasanya pengen ngajakin dia ngomong. Susah kebangetan. Meja kerja kita kan berhadapan gini, tapi kalo dia ada butuh apa-apa, ngomongnya lewat w******p coba. Aneh nggak si? Apa susahnya nanya langsung? Ya ampun, kok gue jadi kezel gini, si." "Santai, Cha. Sebenernya dulu dia nggak gitu, tapi sejak suaminya meninggal, dia jadi pendiem dan kayak nggak suka gitu kalo di tengah orang-orang. Dia-" "What?! Suami?" Gisca membungkam mulut saat beberapa pasang mata yang ada di ruangan ini tertuju padanya. Selain editor, di lantai tiga ini juga ada para layouter dan desainer cover juga admin bagian naskah seleksi, jadi ruang kerja kami lumayan luas. "Maksud lo, adek lo janda?" tanyanya dengan sedikit merendahkan suara, masih dengan tangan di depan mulut. Aku mengangguk sebagai jawaban. "Dia nikah muda, dan suaminya meninggal tepat di hari pernikahan mereka karena kecelakaan." "Innalillahi. Pantesan. Kalo gue di posisi dia juga, mungkin gue nggak bakal bisa ngejalanin tugas gue sebagai duplikat lo. Salut gue sama adek lo. Sumpah." *** "Mau sampai kapan kamu jadi anak  yang keras kepala?" Pesan itu dari Dokter Vhir. Dia adalah orang yang paling nggak setuju aku keluar dari rumah sakit hari ini. Namun rasanya sudah terlalu lama dia membuatku beriatirahat total. Aku nggak mau kemampuan otakku yang nggak seberapa ini jadi makin tumpul gara-gara kebanyakan tidur. "Entar malem mungkin." Aku sengaja tidak menanggapi pesan itu dengan serius. Dia terlalu khawatir. Aku bukan pesakitan yang akan segera mati hanya karena sakit kepala, tapi orang-orang selalu melarangku melakukan ini dan itu, dengan alasan kalau otakku tidak boleh terlalu banyak bekerja. Belakangan ini, ingatan jangka pendekku semakin buruk. Kalau terlalu sering tidur panjang, aku khawatir hal itu makin membuatku kehilangan banyak hal untuk bisa diingat. Jadi, berangkat kerja adalah hal yang paling masuk akal. Setidaknya, di sini pekerjaanku adalah apa yang aku sukai. Bergelut dengan naskah, membuatku merasa seperti memiliki dunia lain yang penuh kebebasan. Ada begitu banyak keajaiban yang bisa kutemukan, juga kuciptakan lewat sebuah tulisan. Kuharap suatu saat nanti dunia akan memahami hal itu. "Kalau dia tidak menjemputmu, segera hubungi aku. Jangan pulang sendirian." "Gimana Dokter jemput saya saja? Sepertinya ada yang ingin saya bicarakan dengan Dokter." Sebelumnya Satya sudah mengirim pesan dan bilang mau menjemput, tapi aku menolak. Mungkin sudah saatnya aku bicara tentang hati pada Dokter Vhir. Biar bagaimana pun, dia pria yang sangat baik. Dia berhak untuk bahagia juga.  LovRegards, MandisParawansa
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD