bc

Black Tears [Complete]

book_age16+
1.1K
FOLLOW
11.5K
READ
love-triangle
possessive
love after marriage
independent
CEO
drama
sweet
bxg
office/work place
like
intro-logo
Blurb

1. Menikah karena cinta

2. Menikah karena tanggungjawab

Mana yang akan dipilih oleh Daska Wenas?

Pilihan pertama, dia akan menyakiti wanita yang akan mengandung darah dagingnya.

Pilihan kedua, dia akan menyakiti wanitanya, wanita yang ia harapkan menjadi ibu dari anak-anaknya kelak.

Jika hidup memang tetang pilihan, maka Daska harus memilih bukan.

Dia sudah menetapkan pilihannya dan kelak akan ada air mata karena keputusannya itu.

Sebagai kekasih, Jevara harus menerima keputusan pria itu. Walaupun keputusan itu akan membuat luka tak kasat mata di hatinya.

chap-preview
Free preview
Bab 1
Nyonya Raypraja mengecek jam di dinding ruang makan beberapa kali, ia lalu mendesah pelan. Entah sudah ke berapa kali wanita paruh baya itu mendesah lelah. Ia kemudian berjalan menuju ke arah tangga, menapaki lantai anak tangga satu persatu hingga tiba di lantai atas. Wanita itu berhenti di depan sebuah kamar dengan pintu kayu berwarna coklat tua. Tangannya yang sudah mulai keriput bergegas membuka pintu tersebut. "Ck, bangun kesiangan lagi," gumamnya kemudian saat melihat ranjang di dalam kamar tersebut masih berpenghuni. "Belva bangun, Sayang. Itu Abangmu sudah siap. Kamu tidak mau 'kan, ke kantor menggunakan angkutan umum." Omelan seorang ibu memang selalu menjadi mimpi buruk bagi siapapun, terlebih lagi dipagi hari seperti ini. Nyonya Raypraja berdiri di samping ranjang kamar putri bungsunya, menatap pada tubuh yang terbaring pulas di atas tempat tidur itu. Langkahnya kemudian bergerah ke arah jendela, membuka tirai warna ungu itu hingga cahaya matahari pagi dapat masuk ke kamar itu. Sleeping beauty tergerak dalam zona nyamannya, menarik untuk keluar kamar dan membiarkan putrinya tidur lagi. 30 menit berlalu dan si Putri Tidur akhirnya terbangun. Menggeliat pelan sebelum membuka kedua matanya lebar-lebar. Tersenyum kala menatap ikan hias kecil yang bertengger di atas meja nakas samping tempat tidurnya. Jelas saja ia senang, ikan itu pemberian pujaan hatinya. Dari dulu hingga sekarang, ikan itulah yang selalu jadi pemandangan dipagi hari atau malam hari menjelang tidur. Sebagai penambah energi dan juga pengantar mimpi. Perempuan itu menyingkap selimut yang semula menaunginya, lantas turun dari tempat tidur. Melangkahkan kaki jenjangnya menuju kamar mandi, berniat membasahi tubuhnya dengan kesegaran air. Waktu setengah jam berlalu dan perempuan itu siap untuk berangkat ke kantor. Setelan celana kain dan juga kemeja kantor, lengkap dengan tas karya designer terkenal begitu juga alas kaki yang dipakainya. Tampil modis dan anggun selalu ia terapkan di kehidupan sehari-harinya. Rambutnya yang bergelombang sepinggang dibiarkan tergerai. Menatap penampilannya sekali lagi di kaca seukuran tubuhnya dan kemudian berjalan keluar pintu setelah dirasa penampilannya sempurna. "Pagi, Mbok Yam," sapa perempuan bernama Belva itu riang, memamerkan senyum tiga jarinya pada perempuan paruh baya yang sudah dikenalnya sejak ia kecil itu. Melangkah dengan santai menuju ruang makan. "Lho, kok udah di beresin, 'kan aku belum sarapan," imbuhnya bingung. Suara renyah milik perempuan itu memenuhi ruang makan keluarga Ray Praja. "Non Belva yakin masih mau sarapan? Non nggak takut kesiangan?" balasan dari si Bibi membuat kerutan di dahi Belva semakin jelas. Ditambah semua penghuni rumah Besar itu sama sekali tak terlihat. Dengan ragu perempuan itu duduk di salah satu kursi, mengambil satu sendok penuh nasi goreng dan juga telur mata sapi. Kemana Bang Denta? Dia kesiangan? Dasar Kebo! "Abang kamu udah berangkat dari tadi." Pertanyaan di fikiran Belva terjawab sudah oleh sang Mama yang baru datang dari taman belakang. Wanita berumur lebih dari 50 tahun itu menatap anak bungsunya tak acuh, kemudian menggeleng frustasi sebelum duduk di samping anaknya. Sedikit heran kenapa anak perempuannya itu mempunyai sifat malas bangun pagi. Ini bahkan sudah seminggu sejak ia diterima di sebuah perusahaan milih Wenas Groub dan hampir setiap hari pula dia terlambat ke kantor karena bangun kesiangan. Heh. Siapa yang mau menikahi anak pemalas seperti putrinya? Bahkan dia tidak yakin apakah kekasih anaknya bersedia untuk menjadikan putrinya sebagai istri. Melihat betapa manja dan pemalasnya putri bungsu keluarga Ray Praja itu. "Kok pagi banget, Ma, tumben. Jahat banget ninggalin aku." Keluhan Belva membuat lamunan perempuan itu buyar. "Apanya yang pagi? Ini tuh udah jam 08.50 hampir jam 09.00. Kamu aja yang bangunnya SELALU kesiangan," omel sang Mama membuat putrinya tersedak nasi goreng lantaran kaget. "What? Kok mama baru bilang sekarang. Si bibi juga, bukannya langsung ngasih tahu aku, malah sok-sokan nyindir," omel Belva lantas bergegas mengambil tas dan juga blazer miliknya. Mencium pipi sang mama sebentar sebelum berlari keluar rumah untuk menyetop taksi. Nyonya Ray Praja hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkahlaku putrinya. "Aish .... Jeva pasti sudah ngomel-ngomel," omel Belva histeris saat sudah berada di dalam taksi warna putih. Bergidik ngeri saat membayangkan betapa kejamnya amukan sahabat yang di kenalnya seminggu ini. Yap. Mereka baru berkenalan saat sama sama melamar kerja di perusahaan Wenas Groub, tapi dengan sangat gamblangnya putri Ray Praja itu mengklaim Jevara sebagai sahabatnya. Sedangkan perempuan yang biasa dipanggil Jeva itu malah terkesan acuh, dia bukan tipe orang yang mempermasalahkan hal sepele seperti itu. Prinsipnya cuma satu, cari uang yang banyak untuk membahagiakan keluarganya yang ada di kampung. Masalah sahabat, musuh atau bahkan cinta bukanlah fokus utamanya saat menginjakkan kakinya di kota besar ini. "Hish ... Dia bahkan sudah bilang kalau hari ini ada acara penting ... Dan CEO menyebalkan itu pasti juga akan mengomeliku. Jeva pasti tidak akan memihakku kalau sampai Tuan Wenas itu memecatku!" "Huwaahhh ... Bagaimana ini?" Keluhan sarat akan frustasi itu masih terus berlanjut hingga dering ponsel milik Belva berbunyi nyaring. Jeva calling.... "Mampus," maki Belva sebelum menjawab panggilan tersebut. "Hallo..." **** "Jeva, tolong selesaikan berkas-berkas ini hari ini juga. Nanti sebelum jam 5 saya ambil." "Baik, Bu." "Jeva, kau harus meng-handle masalah syuting hari ini. Pak Dimas sedang cuti, istrinya melahirkan." "Baik, Mbak." "Jev, print in berkas ini dong. Aku harus mengejar deadline dari Mbak Indah." "Oke." "Jev, kenapa data yang kau kirim ke emailku kemarin tidak ada? Coba kirim lagi!" "Siap!" "Jev, Bu Ranti memintamu untuk mengambil baju-baju keperluan syuting nanti siang di Boutiqe Blueword. Kata beliau Mbak Dinar tidak masuk." "Baik, Pak." "Jeva! Sekalian beliin minuman sama donat ya! Laper!" "Aku juga." "Me too." "I'am." "Aku sekalian." "Beres!" jawab perempuan dengan setelan kemeja tanpa lengan warna putih yang di lapisi dengan blazer Fuschia serta rok pensil selutut dengan warna senada kepada rekan-rekan kerjanya. Pagi yang disambut dengan segudang pekerjaan membuat perempuan bernama Jeva itu kudu mengeluarkan tenaga ekstra. Setelah menge-print berkas, mengirim file ke email Anggi dan juga mengatur ulang schedule syuting, perempuan itu mengambil tasnya lalu berjalan menuju pintu keluar ruangan yang terdiri dari beberapa kubikel itu. Ia memutuskan untuk mengerjakan tugas dari Pak Bagas nanti setelah mengambil baju di butik dan juga memantau syuting di Kalibata. Sedikit tergesa-gesa, perempuan itu berlari melintasi koridor di lantai 9 tersebut. Tangan kiri memegang beberapa berkas dan tangan kanan memegang ponselnya, perempuan bernama Jevara itu berlari menuju lift. "Jeva!" panggil direktur perusahaan ini kepada perempuan itu. Mereka berpapasan di koridor kantor. "Pak Daska," balas Jeva sopan. "Kau mau kemana?" "Saya harus mengambil baju-baju di butik, Pak. Sekalian memantau proses syuting produk sabun kita di Kalibata." "Oh, gitu." Jeva hanya mengannguk. "Bukankah kamu juga yang mengurus masalah launching produk kecantikan hari ini? "Bukan saya, Pak." Jeva menjawab dengan gugup. Sejak Pak Daska menyapanya, pertanyaan yang mengarah pada acara launchin-lah yang membuatnya khawatir. "Terus siapa?" "Itu ...." Jeva diam sebentar. "Itu di urus sama sekretaris Bapak." "Sekretaris saya? Maksudmu Belva?" "Iya, Pak." Jeva dapat melihat atasannya itu menghela nafas pelan. "Dimana Belva sekarang? Jangan katakan kalau dia belum sampai di kantor." Daska seakan hafal dengan sifat Belva yang satu itu. "Ehm, Belva sudah sampai kok, Pak. Mungkin masih mengurusi acara nanti, masalah detail yang kurang. Nanti kalau saya ketemu Belva, saya akan langsung memintanya menemui Bapak," ujar Jeva cepat. Lagi-lagi dia harus memberi alasan untuk sahabat barunya itu. Perempuan itu menggigit bibir bawahnya tanpa sadar, suatu kebiasaan apabila dia sedang gugup. Jeva meremas ponsel ditangannya, dalam hati perempuan itu mengumpat dan memaki sahabatnya yang belum muncul juga di kantor. "Ya sudah. Lanjutkan pekerjaanmu." "Baik, Pak," jawab Jeva mengangguk sopan. Perempuan itu menunduk saat Pak Daska melaluinya. Mendesah lega dan frustasi secara bersamaan.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Enemy From The Heaven (Indonesia)

read
60.7K
bc

DIA, SI PREMAN KAMPUSKU ( INDONESIA )

read
471.2K
bc

CUTE PUMPKIN & THE BADBOY ( INDONESIA )

read
112.5K
bc

Undesirable Baby (Tamat)

read
1.1M
bc

PEPPERMINT

read
370.0K
bc

Bridesmaid on Duty

read
162.2K
bc

Nur Cahaya Cinta

read
359.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook