2. Asisten Pribadi

1561 Words
Mansion house itu berdiri kokoh di pusat ibu kota Jakarta. Berkonsep Mediterania dengan d******i warna putih yang membuatnya terlihat seperti istana megah. Luas bangunannya jika ditaksir—mungkin—sama dengan sepuluh rumah di lingkungan Zefanya atau lebih dari itu. Dari depan, gerbang berwarna hitam berdiri tangguh. Yang ketika baru saja hendak Zefanya cari belnya, gerbang itu justru sudah terbuka terlebih dahulu. Demi sempak besar Giant yang masih dicuci emaknya, Zefanya benar-benar terkejut sampai nyaris terjungkal. Untung saja pertahanan diri gadis itu kuat berkat s**u yang rutin setiap pagi dia minum. Zefanya mungkin lupa, ini rumah orang kaya yang harta keluarganya tidak akan habis selama tujuh turunan—kecuali kalau mereka ketiban sial seperti keluarganya dan bangkrut dalam sekejap—maka wajar jika gerbangnya bisa terbuka otomatis. Meski sesungguhnya, Zefanya sangsi kalau pemilik rumah ini akan bangkrut. Gadis dengan kemeja putih dan rok hitam selutut yang membungkus tubuh mungilnya itu melangkahkan kaki menuju rumah tersebut. Melewati halaman luas yang ditumbuhi pepohonan rindang dan tanaman-tanaman segar. Jarak dari gerbang ke mansion utama lumayan jauh. Napasnya bahkan terengah karena menempuh perjalanan itu. Tiba di depan pintu raksasa rumah tersebut, Zefanya termangu saat lagi-lagi pintu terbuka otomatis. Dan sebuah ruangan yang megah menyambutnya saat itu juga. Sofa berwarna cokelat keemasan berukuran raksasa, lemari kaca yang diisi oleh gelas-gelas unik dan berkilauan, lampu gantung kristal yang besar menambah kesan mewah, dan juga tangga besi berbentuk melingkar yang menghubungkan lantai satu dengan lantai selanjutnya. Dari tangga itulah seseorang datang. Pria yang dari kejauhan tampak begitu gagah. Tapi sialan, apakah harus dia hanya memakai jubah handuk putih untuk menemui calon pegawainya? Pegawainya perempuan, astaga! Apa dia tidak malu? Zefanya merutuki pria itu dalam hati. Pria yang rambutnya masih klimis sehabis keramas itu melangkahkan kaki panjangnya satu per satu menuruni tangga. Zefanya pikir, kakinya terlalu tinggi, bahkan dilihat dari kejauhan seperti ini. Tentu saja tinggi badannya juga seimbang. Kulitnya putih agak pucat. Wajahnya… oke, lumayan. Ketika Zefanya sudah menyiapkan diri untuk memberikan salam dengan penuh rasa hormat, pria di depannya justru mematung. Lama. Membuat Zefanya bertanya-tanya dalam hati, apakah penampilannya aneh? Atau dirinya membuat kesalahan di hari pertama dia bertemu dengan calon majikannya? Dia rasa tidak. Lantas …. “K-kamu Zefanya, kan? Zefanya Adya?” Pria itu menunjuk wajah Zefanya dengan ragu. Pupil matanya melebar, seolah terkejut dengan kehadiran gadis itu di sini. Zefanya jadi bingung, kenapa lelaki itu seolah mengenalnya? Apakah dia seseorang dari masa lalu yang pernah dia kenal? Tapi, tidak. Zefanya tidak kenal pria itu. Atau … tidak? Wajahnya tampak tidak asing. “Ya? Anda mengenal saya sebelumnya, Pak?” Zefanya akhirnya mengeluarkan kalimat yang menggantung di benaknya. Sebisa mungkin, dia bertanya dengan sopan, takut-takut menyinggung perasaan orang tersebut. Zefanya semakin mengerutkan alisnya saat pria itu menganga. Terkejut, seolah pertemuan mereka di sini sangat tak terduga, sangat membuatnya takjub oleh cara kerja takdir. “Kamu sungguh tidak mengenalku?” Dia menunjuk wajahnya sendiri seraya sedikit memiringkan kepalanya. “Aku, Nathan. Nathaniel. Kita pernah satu kampus.” Zefanya terdiam beberapa lama. Dia tahu atasannya bernama Nathaniel, sepupu Raka, seorang CEO dari sebuah perusahaan raksasa yang sudah berdiri sejak puluhan tahun lalu. Tapi, dia sama sekali tidak pernah terpikirkan bahwa orang itu adalah orang yang dia kenal, atau orang itu adalah orang yang mengenalnya. Zefanya sama sekali tidak percaya pada orang-orang di masa lalu, terutama teman-teman kuliahnya. Tapi saat sebuah nama dan sebuah wajah lugu terlintas di benak, Zefanya meralat itu semua. Tidak. Tidak semua orang dari masa lalunya jahat. Tidak semua orang di masa lalunya adalah mimpi buruk. Pria ini …. “Nathan?” Zefanya bertanya skeptis, menatap lekat wajah pria itu, berusaha mengenalinya dengan lebih saksama, mencari tahu apakah dia benar-benar orang yang dia pikirkan. Sampai akhirnya, “Nathan si Kodok Zuma itu, kan? Benar? Kamu Nathan yang itu?!” jerit Zefanya keras, membuat Nathan terperanjat kaget dibuatnya. Zefanya menutup mulut dengan kedua telapak tangan. Membelalakkan mata tak percaya. Bahkan tanpa sadar, tubuhnya sudah berjalan untuk mempersempit jarak di antara mereka, kemudian membingkai wajah pria di depannya. Lalu, beberapa sekon kemudian dia memeluk tubuh tinggi itu. Mendekapnya dengan begitu erat, entah untuk alasan apa. Mungkin dia rindu, atau mungkin dia senang mengetahui bahwa satu-satunya orang yang dia ketahui paling tulus di masa lalu, menemuinya. “Benar, kamu Nathan. Aku senang kamu Nathan,” gumam Zefanya, terkekeh haru. Tak menyadari bahwa tubuh yang didekap menegang secara sempurna menerima pelukan tiba-tiba itu. Dia melerai pelukan setelah beberapa saat. Menepuk singkat d**a Nathan dengan senyuman lebar. “Astaga, kamu sudah dewasa sekarang. Matamu sudah sehat? Sudah tidak dikacamata lagi, eh? Ish, kamu juga tampak atletis sekarang. Kamu rajin olahraga? Wah, kamu pasti punya ABS cokelat yang keren,” cerocos Zefanya antusias. Rasanya seperti bertemu kawan lama di sebuah acara reuni tak terduga. Penampilan Nathan banyak berubah daripada dulu. Wajahnya tampak lebih sehat dan terawat. Kacamata tebal yang dulu senantiasa bertengger di hidungnya sudah dia lepas. Selain itu, dia tumbuh dengan baik. Lihatlah tinggi badannya yang sangat ideal, didukung oleh bahu yang lebar membuat tubuhnya sangat proporsional. Zefanya tahu, sejak dulu Nathan memang tampan. Setidaknya, di matanya. Tapi sekarang, dia benar-benar tampan dalam artian sesungguhnya. Membuat senyum Zefanya tak pernah luruh beserta netranya yang tak kuasa berpaling ke arah lain. Namun, “Bukankah kamu ke sini untuk mendapatkan pekerjaan? Ini bukan reuni antar teman kelas atau antar mantan pacar,” decakkan kasar Nathan membuat Zefanya geming. Barusan Zefanya serasa disadarkan dari kenyataan bahwa dirinya bukan lagi Zefanya yang dulu. Zefanya yang dihormati dan disukai banyak orang. Sedikit kecewa, tapi pada kenyataannya dia memang sudah berbeda. Ah, ayolah! Seharusnya Zefanya sadar sejak awal. Nathan berjalan menuju salah satu sofa panjang di sisi kanannya. Duduk dan menopang sebelah kakinya dengan kaki lain, sementara wajahnya mendongak untuk menatap kuku-kukunya di depan muka. Dulu, Nathan tampak seperti pemuda biasa meski Zefanya tahu dia anak orang kaya. Teman-teman sekelas sering sekali memanfaatkan pria itu sebagai ATM berjalan mereka. Dia berpenampilan biasa, berwajah biasa, dengan kepribadian yang biasa pula. Tapi sekarang, Zefanya bisa melihat bahwa dia benar-benar orang kaya sesungguhnya. Penampilannya—meski hanya mengenakan jubah handuk—terlihat glamour dengan caranya sendiri. Ah, apakah dia benar-benar Nathaniel yang sama? “Kamu dikirim oleh Mama?” Nathan bertanya tanpa menatap wajah Zefanya yang memerah saat ini. Namun tak apa, Zefanya lega Nathan tidak melihat wajah malunya karena sikapnya tadi. “Iya, saya diperkerjakan oleh Ibu Dara,” jawab Zefanya lugas. Meski tidak enak, dia tetap memaksakan diri menatap Nathan untuk menjaga kesopanan pada calon atasannya. Benar, hanya calon atasan. Tidak lebih. “Baiklah. Apa yang dia katakan? Dia memintamu melakukan apa?” Suara bariton pria itu mengetuk indera pendengarannya dengan amat sopan. Suaranya pun bahkan agak berubah. Lebih berat, tampak lebih dewasa, tetapi tetap enak didengar. “Menjadi asisten pribadi Anda.” “Saya tidak butuh asisten.” Zefanya mengangkat wajah mendengar pernyataan Nathan. “Tapi, Pak, Ibu Dara—“ “Saya bisa menghandle semua urusan saya sendiri.” “Bukan itu tugas saya!” Zefanya memekik ketika Nathan berdiri, hampir pergi dari tempat tersebut. Zefanya tidak boleh melewatkan pekerjaan ini. Nathan akhirnya menghentikan langkahnya, kemudian tubuhnya berbalik dan menatap Zefanya. “Lantas?” pria itu bertanya datar. “Tugas saya adalah memastikan Anda sarapan, makan teratur, gizi Anda tercukupi, istirahat yang cukup dan mengawasi Anda supaya tidak berlebihan bekerja. Saya juga bisa melayani Anda, Anda bisa menyuruh saya melakukan apa pun,” cerocos Zefanya dalam satu tarikan napas. “Untuk melakukan semua pekerjaan itu, kamu harus mengawasi saya selama 24 jam. Kamu tinggal dengan saya, maksudnya?” Nathan bertanya skeptis, matanya yang mendelik menegaskan bahwa dia ragu dengan apa yang dia pikirkan. Zefanya mengangguk mantap. “Iya, Ibu Dara meminta saya seperti itu.” “Kamu akan jadi asisten atau istri saya?” Uhuk! Zefanya tersedak salivanya sendiri mendengar pertanyaan sangsi dari Nathan. “Itu—anu—itu perintah langsung dari Ibu Dara,” ujarnya gugup. “Kamu tahu kalau di rumah besar ini kamu akan tinggal dengan seorang pria. Kamu tidak takut?” “Ya? Sa-saya—“ “Bagaimana kalau saya melakukan sesuatu sama kamu?” Zefanya menegakkan bahu dengan sigap. “Tidak, Pak. Anda bukan orang seperti itu,” dia menjawab yakin. “Dari mana kamu tahu?” “Karena saya mengenal Anda.” Selama beberapa sekon, tak ada jawaban yang terlontar. Sampai kaki-kaki panjang Nathan melangkah dengan penuh perhitungan ke hadapan Zefanya dan berkata, “Baiklah. Kamu datang kembali besok dengan barang-barang kamu. Dan, saya tidak jamin saya tidak akan melakukan apa-apa. Saya tidak yakin dengan diri saya sendiri. Tapi karena kamu percaya, ya sudah, apa boleh buat?” Zefanya mematung sempurna mendengar rentetan kalimat yang keluar dari mulut Nathan barusan. Bahkan saat pria itu sudah berlalu dari hadapannya, dia masih belum berkedip. Suara Nathan, napasnya yang beraroma mint, dan wajah tampannya berada beberapa senti dari depan wajahnya tadi. Ze, apa kamu masih hidup? Ayo, sadar. Pergi dari sana sekarang juga! Tidak-tidak. Nathan hanya menakutimu, kan? Tidak mungkin di dalam rumah sebesar ini pria itu tinggal sendirian. Tidak, kan? Tidak mungkin! Zefanya menggelengkan kepalanya. Menyadarkan dirinya dan bergegas pergi dari sana dengan degup jantung yang tak bisa dia kontrol. Baiklah. Zefanya tahu Nathan pria baik. Dia tidak akan macam-macam dengannya. Zefanya terlalu tahu tentang pria itu. Benar, dia mungkin tidak tahu Nathan berasal dari keluarga dengan kekayaan melimpah seperti ini, tetapi Zefanya tahu dan sangat yakin bahwa Nathan adalah orang terbaik yang pernah singgah di masa lalunya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD