3. Hari Pertama

1951 Words
Zefanya menyentuh tangan kurus Sang Ibu yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Tersenyum tipis karena wanita itu terlelap begitu damai sejak dirinya datang beberapa menit lalu. Meski sebenarnya sudah terlalu sering dia menyaksikan ibunya tertidur, tetapi entah mengapa dia selalu tenang sekaligus was-was saat wanita baya itu terlelap. Mungkin, karena itu lebih baik ketimbang melihat ibunya menjerit kesakitan, tetapi di sisi lainnya ia takut jika lelap wanita itu untuk tidak terbangun lagi. Di dunia ini, Zefanya tidak memiliki siapa pun lagi selain ibunya. Dia bertahan hidup, berusaha untuk tetap kuat kendati dirinya sungguh ingin menyerah, tak lain dan tak bukan hanya karena ibunya. "Bu, aku sudah mendapatkan pekerjaan baru. Ibu jangan khawatir, aku akan berusaha keras agar Ibu bisa pulih dan kembali pulang ke rumah," suara Zefanya lirih dan sendu saat berkata demikian. Teringat betapa kerasnya perjuangan ia dalam mencari nafkah serta biaya untuk pengobatan Sang Ibu. Juga betapa luluh hatinya ketika ibunya menatap iba setiap kali mereka bertatap mata. "Aku akan minta perawatan terbaik dari rumah sakit supaya Ibu sembuh. Yang perlu Ibu lakukan hanya tetap bertahan. Jangan pernah menyerah dan meninggalkan aku sendiri. Aku hanya punya Ibu di dunia ini, sungguh ...." Permohonan yang dilontarkan di kalimat terakhir sungguh datang dari relung hati terdalam seorang Zefanya Adya. Demi apa pun, wanita itu adalah satu-satunya orang yang dia butuhkan di dunia ini. Orang yang memaksanya bertahan untuk tetap berpijak di dunia yang keras dan mengerikan ini. Dia tidak ingin kehilangan sumber kehidupannya. Notifikasi pesan masuk terdengar tak lama setelah dia mengakhiri kalimat terakhir. Dari Raka, yang mengatakan bahwa pria itu ada di depan pintu ruangan ibunya. Zefanya lantas menoleh, lalu benar-benar mendapati pria itu di sana. Sedang tersenyum, kemudian melambaikan tangan begitu Zefanya menotis keberadaannya. Zefanya lekas membalas senyum pria itu. Melebarkan mata agar siapa pun tidak akan tahu seberat dan sesulit apa rasa sakit yang ia tanggung. Dia berdiri usai menarik selimut ibunya hingga ke batas dadaa, dan berjalan menghampiri Raka yang berdiri manis di sana. "Bagaimana pertemuan kamu dengan Nathan hari ini?" tanya dokter muda itu ketika Zefanya sudah berdiri di hadapannya. "Ah, itu ...." Zefanya menyelipkan helaian rambutnya ke belakang telinga. Kendati itu pertanyaan yang cukup biasa, tetapi entah mengapa Zefanya jadi gugup mengingat pertemuan antara dirinya dan Nathan tadi, serta percakapan yang masih dia pikirkan hingga saat ini. "Semuanya lancar. Besok aku sudah bisa bekerja." Seraya mengobrol, keduanya memutuskan meninggalkan ruangan ibu Zefanya, takut mengganggu istirahat wanita tersebut. Keduanya berjalan beriringan menyusuri koridor, entah akan berakhir ke mana. Setiap pasang mata menatap mereka dengan senyum tipis. Beberapa juga menatap iri pada Zefanya. Meski Raka dan Zefanya selalu mengatakan bahwa mereka hanya teman, atau hanya sebatas dokter bersama wali dari pasien, tetapi para perawat serta staf rumah sakit kadung melihat keduanya dengan cara berbeda. Mereka percaya, bahwa ada sesuatu di antara Raka dan Zefanya. Jika pun tidak, mereka yakin salah satu di antara keduanya menyimpan hati. Bukankah ada pepatah bilang, tidak mungkin ada persahabatan antara pria dan wanita yang murni tanpa ada perasaan suka atau cinta yang menyusup di dalamnya? Terlebih, keduanya sama-sama dianugerahi paras luar biasa. Apakah mungkin apabila keduanya tidak merasa saling tertarik? "Aku tahu kamu bisa dipercaya, begitu pun Nathan. Jadi aku sama sekali tidak khawatir. Dan semoga saja, ketidak-khawatiran aku tidak akan menimbulkan masalah nantinya," ujar Raka ketika keduanya berbelok menuju koridor menuju kafetaria. Seraya mengobrol, keduanya memutuskan meninggalkan ruangan ibu Zefanya, takut mengganggu istirahat wanita tersebut. Keduanya berjalan beriringan menyusuri koridor, entah akan berakhir ke mana. Setiap pasang mata menatap mereka dengan senyum tipis. Beberapa juga menatap iri pada Zefanya. Meski Raka dan Zefanya selalu mengatakan bahwa mereka hanya teman, atau hanya sebatas dokter bersama wali dari pasien, tetapi para perawat serta staf rumah sakit kadung melihat keduanya dengan cara berbeda. Mereka percaya, bahwa ada sesuatu di antara Raka dan Zefanya. Jika pun tidak, mereka yakin salah satu di antara keduanya menyimpan hati. Bukankah ada pepatah bilang, tidak mungkin ada persahabatan antara pria dan wanita yang murni tanpa ada perasaan suka atau cinta yang menyusup di dalamnya? Terlebih, keduanya sama-sama dianugerahi paras luar biasa. Apakah mungkin apabila keduanya tidak merasa saling tertarik? "Aku tahu kamu bisa dipercaya, begitu pun Nathan. Jadi aku sama sekali tidak khawatir. Dan semoga saja, ketidak-khawatiran aku tidak akan menimbulkan masalah nantinya," ujar Raka ketika keduanya berbelok menuju koridor menuju kafetaria. "Ya. Kamu tidak perlu khawatir. Berkat kamu, aku bisa mendapat pekerjaan dengan gaji cukup untuk biaya hidup serta pengobatan Ibu. Kamu tidak usah memikirkan hal lainnya. Itu jadi beban buat aku, karena aku akan semakin merasa berutang budi," balas Zefanya. Mereka mengambil alat makan yang disediakan. Mengisi nasi serta meminta lauk pauk yang tersedia pada penjaja. "Tenang saja. Aku yakin suatu saat aku akan butuh bantuan kamu juga. Pada saat itu, kamu bisa membayar utang kamu." Raka tersenyum seraya mengambil makanan pencuci mulut. Sebenarnya, Raka tidak sepenuhnya serius. Satu sisi, dia tulus membantu Zefanya tanpa berharap imbalan apa pun. Satu sisi lainnya sebagai manusia biasa, jelas dia berharap akan ada seseorang yang berada di pihaknya jika sesuatu terjadi. Dan ia harap, itu adalah Zefanya. *** Pagi hari buta, bahkan sebelum matahari keluar dari ufuk persembunyiannya, Zefanya sudah berangkat menuju mansion house Nathan. Perempuan tersebut hanya mengenakan blouse berwarna cream yang tampak begitu matching bersama kulitnya yang putih cerah, make up tipis, serta rambut yang diikat rapi. Sebuah koper besar ia gerek saat memasuki rumah mewah tersebut yang tampak begitu sunyi bak tak berpenghuni. Zefanya menekan bel ketika sampai. Tak butuh waktu lama, pintu terbuka dengan sendirinya seolah ada tombol otomatis di dalam rumah tersebut untuk membuka pintu. Atau mungkin, memang benar begitu? Jika ya, Zefanya semakin takjub. Bukan hanya megah, rumah tersebut juga dilengkapi dengan berbagai alat yang canggih. Ia melangkahkan kaki perlahan untuk masuk lebih dalam ke dalam bangunan megah tersebut. Berharap menemukan seseorang yang barusan membukakan pintu, atau menemukan siapa pun di dalam sana agar ia tahu bahwa di rumah tersebut dirinya tidak benar-benar hanya tinggal berdua dengan Sang Majikan, Nathan. Namun seberapa pun Zefanya mencari, tidak ada seorang pun di dalam rumah tersebut. Bukankah ini aneh? Rumah sebesar ini tanpa ada asisten rumah tangga? Bagaimana Nathan merapikan dan membersihkan semuanya? Tidak mungkin laki-laki itu melakukannya sendirian di sela kesibukannya sebagai seorang CEO perusahaan raksasa, kan? Apalagi mendengar cerita dari Ibu Dara, perihal waktu lelaki itu hanya dihabiskan dengan bekerja hingga tidak bisa menjaga kesehatannya sendiri. "Sampai kapan kamu akan berdiri di sana seperti orang bodoh?" Suara bariton milik pria tampan yang baru saja turun itu membuat Zefanya harus menghentikan setiap ocehan dalam benaknya. Dia lalu menoleh dan mendapati Nathan berjalan ringan dengan kemeja putih yang rapi serta jas biru dongker yang baru dia pakai. "Kamu telat satu menit tiga belas detik," lanjut pria dengan perawakan tinggi itu setelah tiba beberapa meter dari hadapan Zefanya. Belum juga Zefanya meminta maaf atas kesalahannya yang pertama, kini dia sudah dibombardir dengan kritikan kedua. "Maaf, Pak. Saya kesulitan mendapatkan driver taksi online tadi," Zefanya menjawab apa adanya. Zefanya sudah berusaha semaksimal mungkin untuk tiba lebih pagi. Dia bahkan menghabiskan uang demi membayar ongkos taksi yang jelas biayanya lebih dari tiga kali lipat dengan ongkos jika dia mengenakan kendaraan umum lain. Lagi pula, satu menit. Hanya satu menit! "Bekerja dengan saya artinya kamu harus siap menghilangkan segala alasan, Zefanya," tukas Nathan. Entah hanya perasaan Zefanya saja atau memang benar, Nathan tampak menghindari menatap matanya. Zefanya menghela napas pelan. "Baik, Pak. Maafkan saya," ujarnya kemudian. Dia sadar sejak Nathan mengatakan hal itu, bahwa dirinya tidak bisa membela diri. Ah, dia memang salah. "Lalu tunggu apa lagi? Ayo, bergegas!" Zefanya lagi-lagi mengerjap. Dia menoleh ke kanan dan kiri, lalu memusatkan atensi pada wajah bos-nya dengan sebuah delik tak mengerti. "Apa yang harus saya lakukan, Pak?" tanyanya polos. Nathan memutar bola matanya dengan malas. "Pertama-tama, simpan dulu koper kamu. Atau kamu akan bekerja sambil terus menarik-narik koper besar kamu itu?" Nathan bertanya skeptis. "Bawa dia ke kamar kamu. Di ujung sana!" Zefanya mengikuti arah pandang Nathan. Di sana. Pria itu mengedikkan dagu ke arah belakang rumah. Mungkin kamarnya di belakang sana. Maka Zefanya menggeret kopernya, tetapi .... "HYA!" Nathan berteriak keras. Sementara Zefanya melonjak kaget. Hampir saja dia menyenggol guci besar di sisinya jika saja dia sedikit kehilangan keseimbangan. Untungnya, pertahanan diri Zefanya cukup kuat. Kini, Zefanya menoleh secara dramatis ke arah bos-nya yang barusan berteriak. Pria itu memelotot dengan tampang kesal padanya. Tidak tahu apa lagi yang salah dengan pekerjaan Zefanya kali ini. "Jangan sembarang menggeret sesuatu di lantai rumah ini!" tegas Nathan. Pandangan Zefanya lantas turun ke arah kopernya. "Lantai ini dibuat dari bahan mahal dan berkualitas. Jangan sampai mereka tergores sedikit pun!" Zefanya. Speechless. Pada. Detik. Itu. Juga. Hanya karena itu?! pekiknya dalam hati. Astaga, jika lantai ini terbuat dari lantai mahal dan berkualitas, dia tidak akan mudah tergores dan akan begitu awet. Bukankah begitu? Ah, sial. Sejak kapan Nathan jadi rewel seperti ini? "Tapi, koper saya sangat berat, Pak. Saya tidak bisa mengangkatnya," dalih Zefanya sungguh-sungguh. "Lalu siapa yang menyuruh kamu membawa begitu banyak barang?" Nathan membalikkan. "Ah, iya. Maaf, Pak." Dan lagi-lagi, hanya kata maaf yang bisa Zefanya lontarkan. Sekian lama bertahan hidup dengan keras, Zefanya selalu berusaha tetap tegar. Meminta maaf bukan berarti dia menjadi seseorang yang pengalah dan lemah, melainkan adalah satu dari sekian cara untuk mempertahankan diri. Zefanya paham betul posisinya saat ini. Dia hanya orang yang terjatuh ke kelas rendah, di mana pendapatnya kebanyakan tak dihargai, alibinya tak akan diterima, dan setiap apa yang ia ucap terkadang tak pernah didengar. Perempuan mungil itu dengan sulit mengangkat kopernya. Sedikit menghela napas, kemudian menarik sudut bibirnya hingga membentuk senyum tipis. Dalam hati, Zefanya merapalkan mantra, bahwa dirinya harus bisa, dirinya harus mampu, dirinya harus kuat untuk terus bertahan demi ibunya. Tidak apa. Zefanya sudah sering dimaki. Hinaan, cacian, hardikkan, bahkan serangan secara fisik bukan hal yang baru Zefanya terima. Setelah kejadian beberapa tahun lalu yang menimpa keluarganya, hal itu sudah biasa. Zefanya sudah mencari hingga ke bagian paling belakang rumah. Namun, dia sama sekali tidak menemukan kamar miliknya. Hanya ada ruangan luas tanpa pintu yang diisi oleh berbagai foto dan lukisan, serta satu lemari di ujung. Kemudian sebuah pintu yang ketika Zefanya buka ternyata adalah gudang. Setelah itu, benar-benar langsung halaman belakang dengan kolam renang, kebun mini, serta tempat bersantai. Sungguh tidak ada kamar yang bisa Zefanya temukan. Zefanya meletakkan koper beserta tasnya. Berjalan kembali mencari Nathan untuk bertanya secara pasti di mana kamarnya. Tapi, lelaki itu tidak ada di tempat terakhir dia menemukannya. "Pak Nathan?" panggil Zefanya ragu. Takut jikalau ia tidak sopan memanggil bos-nya hanya untuk bertanya di mana kamarnya sekarang. Zefanya melangkah gamang. Menyisir pandang pada setiap hal yang mampu dia lihat. Setiap benda di rumah itu disimpan dengan memperhitungkan nilai estetik yang tinggi. Setiap detail pahatan rumah pun demikian. Sungguh rumah yang nyaman, tetapi terlalu besar untuk hanya ditinggali sendiri. "Selesai?" Zefanya menoleh. Lalu mendapati Nathan keluar dari sebuah pintu, yang ketika sekilas Zefanya lihat, adalah sebuah ruangan yang diisi oleh lemari-lemari tinggi dengan begitu banyak buku. Mungkin, perpustakaan pribadi pria itu? "Belum, Pak," Zefanya jawab. "Saya tidak bisa menemukan kamar. Hanya ada satu pintu, dan itu adalah gudang." Nathan mengangkat wajahnya dari sebuah berkas yang dia baca. "Ya, itu kamar kamu," katanya kemudian. Sementara Zefanya, kerutan dalam hadir menghias keningnya. "Maksudnya?" tanya Zefanya tak paham. Nathan menipiskan bibir. Mendekat satu langkah pada Zefanya kemudian berujar, "Gudang itu kamar kamu," katanya, berhasil membuat Zefanya tertegun tak habis pikir saat itu juga. "Kamu bisa membersihkannya sepulang dari kantor nanti." Lalu setelah mengatakan hal itu, Nathan melenggang pergi begitu saja, meninggalkan Zefanya yang masih terdiam syok. Tidak, bukannya dia tidak bersyukur atau berharap hal yang terlalu tinggi, tetapi ia hanya tidak habis pikir ... bagaimana bisa Nathan menempatkan dirinya di gudang, dari sekian banyaknya ruangan yang layak huni di rumah ini?! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD