bc

“Jejak Rindu di Kota Hujan”

book_age18+
0
FOLLOW
1K
READ
drama
sweet
city
like
intro-logo
Blurb

Bab 6 – Bayangan yang Mengikuti

Hujan mulai turun lebih deras saat Nadine dan Drazel meninggalkan taman. Lampu jalan memantul di genangan air, menciptakan bayangan yang bergerak seperti mata yang mengawasi. Mobil hitam itu tetap diam, tetapi lampunya masih menyala—mengintai.

“Nadine, cepat,” bisik Drazel.

Ia memegang lengan Nadine, mengarahkannya masuk ke jalan kecil di belakang taman. Nadine mengikuti, napasnya saling bertemu dengan udara dingin malam.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Nadine, suaranya gemetar. “Kenapa mobil itu mengikuti kita?”

Drazel tidak segera menjawab. Langkahnya cepat, fokus, seperti seseorang yang terbiasa dengan situasi genting. Ketika mereka sampai di area parkir belakang sebuah pusat komunitas, ia berhenti dan menatap sekitar, memastikan tidak ada yang menyusul.

“Drazel, katakan sesuatu… aku takut,” ujar Nadine.

Drazel menoleh, menatap Nadine dengan wajah serius yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

“Aku tidak tahu semuanya,” katanya. “Tapi aku tahu mobil itu. Itu bukan mobil orang biasa.”

Nadine menelan ludah. “Maksud kamu?”

“Mereka bukan penjahat jalanan. Mereka orang-orang yang… memiliki tujuan jelas.”

Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan, “Dan tujuan mereka entah kenapa terkait dengan ayahmu.”

Hujan menetes ke jaket Drazel. Ekspresinya menegang.

“Aku butuh kamu jujur sekarang,” kata Nadine. “Kamu bilang kamu hanya arsitek.”

“Aku memang arsitek,” jawab Drazel. “Tapi aku pernah bekerja dengan beberapa proyek pemerintah yang sensitif. Sangat sensitif. Itu sebabnya aku paham tanda-tanda orang yang sedang mengawasi.”

Kata “pemerintah” membuat jantung Nadine semakin kacau.

“Jadi ayahku… terlibat sesuatu?” Nadine bertanya, nyaris berbisik.

Drazel menggeleng pelan. “Aku tidak tahu. Tapi kecelakaan yang dia alami… kalau itu benar bentuk sabotase atau peringatan, maka ini lebih besar dari dugaan kita.”

---

Tiba-tiba suara pintu mobil ditutup terdengar dari kejauhan. Mereka berdua menoleh.

Mobil hitam itu kini berpindah posisi, masuk ke gang yang hanya berjarak beberapa puluh meter dari mereka. Lampunya mati, tetapi siluetnya masih terlihat.

“Drazel…” suara Nadine serak. “Mereka mengejar kita.”

Drazel meraih ponselnya. “Kita tidak bisa kembali ke kafe. Tidak bisa ke perpustakaan. Tidak bisa ke tempatmu.”

“Lalu ke mana?” Nadine menahan air mata yang mulai mengalir.

Drazel mengeluarkan kunci mobil dari saku. “Ikut aku.”

Mereka berlari menuju mobil Drazel yang terparkir di belakang gedung komunitas. Begitu masuk, Drazel langsung menyalakan mesin dan mengemudi dengan kecepatan terukur—tidak panik, tetapi juga tidak santai.

Nadine menatap keluar jendela. Mobil hitam itu kini mengikuti dari jarak yang cukup jauh, namun tidak berusaha menyembunyikan diri.

“Kenapa mereka tidak langsung menyerang?” Nadine bertanya.

“Mereka bukan tipe yang melakukan serangan di tempat terbuka,” jawab Drazel. “Mereka mengawasi, menunggu peluang. Ini pola klasik pengintaian tingkat tinggi.”

Nadine memegang amplop di pangkuannya erat-erat, seakan itu satu-satunya jangkar untuk tetap tenang.

“Ayahku bilang… jangan percaya siapa pun,” katanya pelan.

Drazel menatap jalan, tetapi Nadine merasakan ketegangan di bahunya.

“Aku mengerti kamu ragu padaku,” kata Drazel. “Kalau kamu mau aku berhenti di tempat aman dan kamu turun, aku bisa—”

“Tidak,” potong Nadine, spontan. “Aku… aku merasa aman bersamamu.”

Hening penuh makna mengisi mobil.

Di tengah ketakutan, ada kepercayaan tipis namun nyata yang tumbuh. Dan itu membuat Drazel menoleh sejenak, mata mereka bertemu.

“Nadine… aku tidak akan biarkan apa pun terjadi padamu.”

Nadine menahan napas. Kata-kata itu bukan janji kosong; ia mendengarnya sebagai tekad.

---

Mobil Drazel akhirnya berhenti di sebuah rumah tua di pinggir kota. Bangunan itu tampak tidak terawat, tetapi lampu halamannya menyala.

“Kita di mana?” tanya Nadine.

“Safehouse,” jawab Drazel singkat. “Tempat ini tidak terhubung dengan identitasku sekarang. Tidak ada yang tahu aku punya akses ke sini.”

Drazel turun, memeriksa sekeliling, lalu membuka pintu untuk Nadine.

Begitu mereka masuk, Drazel mengunci tiga lapis pengaman. Nadine merasa gugup, tetapi juga sedikit lega.

Di dalam rumah tua itu, Drazel menatapnya dan berkata dengan nada berat:

“Ada sesuatu yang harus kamu tahu. Tentang ayahmu. Dan… tentang masa laluku.”

Nadine menahan napas.

“Karena aku rasa keduanya saling terhubung.”

Dan untuk pertama kalinya sejak semuanya dimulai, Nadine menyadari bahwa Drazel bukan hanya sekadar pria yang tidak sengaja bertemu dengannya di kafe.

Ia bagian dari teka-teki.

Bagian yang selama ini tersembunyi.

---

sekian dan terima kasih

chap-preview
Free preview
Pertemuan yang Tidak Direncanakan
Hujan turun sejak pagi, menepuk genting-genting kota Serandana dengan ritme yang hampir seperti musik pengantar nostalgia. Di balik kaca jendela sebuah kafe kecil bernama Kopi Kenanga, Nadine duduk sambil menggenggam cangkir cokelat panas yang sudah mulai kehilangan uapnya. Dia baru saja pindah dari kota lama yang penuh kenangan pahit—dan ia berjanji pada dirinya sendiri untuk memulai segalanya dari awal. Namun hidup, seperti biasanya, tidak pernah patuh pada rencana manusia. Saat pintu kafe terbuka, suara lonceng kecil berdenting. Seorang pria masuk sambil merapikan jasnya yang basah terkena hujan. Wajahnya tenang, seolah hujan bukan gangguan, melainkan sahabat yang menemaninya. Nadine sempat menatap sekilas. Hanya sekilas. Namun yang sekilas itu ternyata cukup membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Pria itu memesan kopi hitam dan, tanpa sengaja, ia mengambil meja yang bersebelahan dengan Nadine. Ketika ia duduk, layar ponselnya menyala dan menampilkan catatan teknis rancangan bangunan. Arsitek, pikir Nadine dalam hati. Beberapa detik kemudian, tampak kegelisahan di wajah pria itu. Ia memeriksa sakunya, menghela napas, lalu mengangkat wajah. “Mbak… maaf, apakah bisa pinjam pena sebentar?” tanyanya sopan. Nadine tersenyum kecil. “Tentu.” Ia menyodorkan pena ungu favoritnya. Pria itu menerimanya. “Terima kasih. Ah… saya Drazel.” “Nadine.” Hanya itu. Nama. Sederhana. Tetapi keduanya sama-sama merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan. Seperti ada sesuatu di udara—entah harapan, atau mungkin takdir yang perlahan mendekatkan mereka. Ketika Drazel mengembalikan pena itu, ia berkata, “Kalau tidak keberatan… suatu hari saya boleh mentraktir kopi sebagai balasannya?” Pertanyaan itu terdengar ringan, tetapi di benak Nadine terasa seperti pintu baru sedang dibuka. Nadine menatap hujan di luar. Ia datang ke kota ini untuk melupakan masa lalu, bukan untuk mencari sesuatu yang baru. Namun kenyataan sering kali tiba tanpa mengetuk. “Boleh,” jawab Nadine akhirnya. “Tapi kopinya jangan pahit…” Drazel tersenyum. “Saya bisa buatkan manis.” Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, hati Nadine terasa hangat. --- Tiga hari setelah pertemuan di kafe itu, langit Serandana kembali dipenuhi awan kelabu. Nadine melangkah cepat menuju halte karena hujan mulai turun lagi, dan ia belum terbiasa dengan ritme cuaca kota ini yang berubah sesuka hati. Di tengah hiruk-pikuk orang yang berlindung, sebuah mobil berhenti tepat di depan halte. Jendela mobil turun perlahan, memperlihatkan wajah yang sudah ia kenal. Drazel. “Kamu mau ke arah pusat kota?” tanyanya dari balik kemudi. Nadine sempat ragu. Mereka baru bertemu sekali. Tapi cara Drazel berbicara—tenang, tidak memaksa—membuatnya merasa aman. “Ya… kalau tidak merepotkan.” “Masuk saja,” jawab Drazel sambil membuka pintu penumpang. Mobil itu hangat. Tidak hanya karena pemanas kabin, tetapi karena kehadiran seseorang yang entah bagaimana membuat Nadine merasa seperti ia telah mengenalnya jauh lebih lama. “Jadi, kamu kerja di mana?” tanya Drazel sambil menyetir pelan. “Di Perpustakaan Daerah Serandana. Baru dua minggu. Masih adaptasi.” “Perpustakaan…” Drazel tersenyum singkat. “Cocok dengan kamu.” Nadine mengalihkan pandangan ke jendela. “Apa yang membuat kamu pikir begitu?” “Kamu punya aura yang tenang. Kayak halaman buku yang masih rapi.” Nadine tertawa kecil. Namun tawa itu segera hilang ketika sebuah pesan masuk ke ponselnya. Nama pengirimnya membuat dadanya mengencang. Raka. Orang yang selama tiga tahun membuatnya merasa dicintai, lalu dalam satu hari menghancurkan semuanya tanpa penjelasan memadai. Orang yang membuatnya pindah ke kota ini. Pesan itu hanya berisi tiga kata. “Aku butuh bicara.” Nadine menutup ponselnya cepat, seolah pesan itu bisa membakar tangannya. Drazel melirik sekilas. “Semua baik-baik saja?” Nadine ragu untuk menjawab. Ia tidak ingin terlihat rapuh. Tidak ingin membawa masa lalunya ke hadapan seseorang yang baru. Namun suaranya tetap keluar, lirih. “Kadang… masa lalu itu suka mengejar, ya?” “Kadang,” jawab Drazel. “Tapi kita juga selalu punya hak untuk menutup pintu.” Jawaban itu sederhana, tetapi nadanya mantap, seolah ia berbicara berdasarkan pengalaman yang sudah menggores. Nadine baru menyadari bahwa ada sesuatu di balik ketenangan Drazel—sesuatu yang tersimpan, sesuatu yang ia tidak tahu apa. Mobil berhenti di depan perpustakaan. “Sampai,” kata Drazel. “Dan… kalau kamu butuh seseorang untuk bicara, saya ada.” Nadine menatapnya. “Terima kasih. Untuk tumpangannya… dan kalimat barusan.” Ketika ia turun, hujan berhenti. Tapi di dalam dadanya, badai kecil sedang tumbuh. Karena pada saat ia melangkah masuk ke gedung, ponselnya kembali berbunyi. Raka menelepon. Dan untuk pertama kalinya sejak pindah, Nadine merasa terpojok di antara masa lalu dan kemungkinan baru yang belum sempat ia pahami. Nadine berdiri di lorong perpustakaan yang sepi. Aroma buku tua yang biasanya menenangkan justru terasa menyesakkan. Layar ponselnya masih menyala—nama Raka tertulis jelas, menyala seperti alarm masa lalu yang tidak pernah ia siap hadapi. Ia menutup mata, menarik napas panjang, lalu menekan tombol hijau. “Halo…” suaranya hampir tak terdengar. Di seberang, Raka terdiam beberapa detik sebelum menjawab. “Nadine… akhirnya kamu angkat.” “Kenapa kamu hubungi aku lagi?” Nadine berusaha keras agar suaranya stabil. “Kita sudah selesai.” “Aku tahu,” jawab Raka, suaranya berat. “Tapi aku butuh bicara. Satu kali saja.” Nadine terdiam. Di hatinya, ada rasa takut yang masih hidup. Bukan takut pada Raka, tetapi takut pada dirinya sendiri—takut kembali lemah, takut kembali percaya. “Aku tidak ingin bicara lagi,” ujarnya tegas. “Ini soal orang tuamu,” kata Raka pelan. Langkah Nadine terhenti. Dadanya mengencang. “Apa maksud kamu?” “Aku tidak mau jelasin lewat telepon. Tolong… temui aku. Jam tujuh malam di Kafe Rinjani.” Sebelum Nadine sempat membalas, Raka mematikan teleponnya. --- Hari itu terasa panjang. Nadine bekerja seperti biasanya, namun pikirannya terseret ke banyak arah. Satu sisi ingin mengabaikan Raka selamanya. Sisi lain merasa ada sesuatu yang penting, sesuatu yang tidak bisa ia tinggalkan begitu saja. Menjelang sore, Nadine duduk di balik meja administrasi, memandang hujan tipis yang kembali turun. Saat itulah seseorang datang menghampiri. Drazel. Ia membawa dua gelas kertas—cokelat panas untuk Nadine, kopi hitam untuk dirinya. “Aku lewat dekat sini. Kupikir kamu butuh minuman hangat,” ucapnya sambil menaruh gelas. Nadine tersenyum kecil. “Terima kasih.” Tetapi Drazel langsung menangkap perubahan raut wajah Nadine. “Kamu terlihat gelisah,” katanya. “Masih tentang telepon tadi?” Nadine terkejut. “Kamu… dengar?” “Tidak sengaja,” jawab Drazel jujur. “Ponselmu berbunyi tepat saat aku membuka pintu mobil. Maaf kalau itu membuatmu tidak nyaman.” Tidak ada yang bernada memaksa. Nadine tidak merasa dihakimi, hanya diperhatikan. “Itu dari mantan aku,” akhirnya Nadine berkata, dengan suara yang lebih pelan. “Dia minta ketemu. Katanya ada sesuatu tentang orang tuaku.” Drazel menunduk sejenak. “Apa kamu mau pergi menemuinya?” “Aku… tidak tahu.” Drazel menatapnya, dengan nada yang tenang tetapi tegas. “Kalau kamu memutuskan untuk pergi, pastikan kamu melakukannya karena kamu ingin jawaban. Bukan karena kamu masih terikat oleh luka.” Nadine menatap gelas cokelat panas di tangannya. Kalimat itu mengetuk sesuatu dalam dirinya. “Terima kasih,” katanya pelan. “Aku akan pikirkan.” Drazel tersenyum. “Apa pun yang kamu pilih… jangan biarkan masa lalu memegang setir hidupmu.” --- Pukul tujuh malam. Nadine berdiri di depan Kafe Rinjani. Hatinya berdebar. Lampu-lampu kota memantul di genangan air, menciptakan bayangan yang seolah bergerak seperti kenangan yang belum mau pergi. Ia hampir berbalik. Namun pintu kafe terbuka dari dalam. Raka muncul. Tatapannya menatap langsung ke Nadine—penuh sesuatu yang sulit diterjemahkan. Dan dalam sekejap, dunia Nadine terasa kembali runtuh. Karena di tangan Raka, ia memegang sebuah amplop tebal—dengan nama keluarga Nadine tertulis jelas. “Ini… alasan aku mencarimu,” kata Raka. Di mata Raka, ada ketakutan. Dan itu membuat Nadine memahami satu hal: Apa pun isi amplop itu, hidupnya sebentar lagi berubah. --- Kafe Rinjani remang dan hangat, kontras dengan udara malam yang dingin. Nadine duduk berhadapan dengan Raka, jarak mereka terasa jauh meskipun meja hanya beberapa jengkal. Amplop di atas meja seakan memisahkan masa lalu dan masa depan. “Buka saja,” kata Raka. Tangan Nadine sempat ragu. Tetapi rasa ingin tahu mengalahkan ketakutannya. Ia merobek bagian atas amplop dan mengeluarkan selembar dokumen, beberapa foto, dan secarik kertas kecil bertulisan tangan. Begitu matanya membaca kalimat pertama, napasnya menahan separuh jalan. “Apa ini…” suaranya lirih. Di dokumen itu tertulis: Laporan Investigasi Medis – Kasus Kecelakaan 2021. Nama ayahnya tertera sebagai salah satu korban yang selamat—tetapi dengan catatan yang tidak pernah ia dengar sebelumnya. “Raka… ayahku tidak pernah cerita tentang ini.” Nadine menatapnya, setengah bingung, setengah marah. “Ayahmu… sengaja menyembunyikan,” jawab Raka. “Dia tidak ingin kamu khawatir.” Nadine menggenggam dokumen itu lebih erat. Foto-foto memperlihatkan mobil yang rusak parah. Terlalu parah untuk seseorang yang pulih secepat ayahnya waktu itu. Ada ketidaksesuaian. Ada hal yang janggal. “Kenapa kamu punya ini?” tanya Nadine, suaranya mengeras. Raka menunduk. “Ayahmu datang menemuiku sebelum kamu pergi dari kota. Dia menitipkan ini padaku. Katanya… hanya berikan kalau sesuatu terjadi.” Nadine terhenyak. “Sesuatu seperti apa?” “Seperti dia menghilang.” Nadine membeku. Jantungnya turun ke perutnya. “Menghilang? Dia ada di rumahku sebelum aku pindah. Dia baik-baik saja.” Raka menggeleng. “Dia tidak pulang selama seminggu setelah kamu pergi. Tetangga-tetangga bilang mungkin ia menyusulmu ke Serandana. Tapi… tidak ada jejak.” Dunia Nadine seakan berputar. Suara di kafe berubah menjadi gemuruh yang jauh. Dadanya sesak, pikirannya kacau. “Aku pikir kamu perlu tahu,” kata Raka pelan. “Aku tidak bermaksud masuk lagi dalam hidupmu. Ini bukan soal kita.” Nadine menutup mata, mencoba bernapas. “Kamu masih marah padaku, dan itu pantas,” lanjut Raka. “Tapi masalah keluargamu… kamu tidak boleh hadapi sendirian.” Dalam kondisi kacau seperti itu, ponselnya tiba-tiba bergetar. Nama yang muncul di layar mengejutkannya. Drazel. Ia membaca pesan singkat itu: “Aku dekat area Kafe Rinjani. Kalau kamu butuh dijemput, beri tahu.” Nadine menatap layar ponsel, lalu menatap Raka. Perasaannya terbelah. “Raka…” katanya, suaranya retak. “Kenapa baru sekarang kamu kasih ini?” Raka mengangkat wajahnya, mata yang dulu pernah membuat Nadine merasa aman kini tampak penuh penyesalan. “Aku pengecut,” kata Raka. “Saat kamu terluka waktu itu, aku tidak tahu bagaimana menenangkanmu. Aku malah pergi. Aku takut. Dan aku kehilanganmu…” Nadine memalingkan wajah. Kata-kata itu seperti bayangan masa lalu yang kembali memeluknya erat, tetapi bukan pelukan yang ia inginkan. Ia tidak sanggup lagi duduk di tempat ini. Ia berdiri, meraih tasnya. “Aku harus pergi.” “Nadine—” “Aku butuh waktu,” ujarnya tegas. Ia melangkah menuju pintu. Raka tidak mengejarnya. Begitu keluar dari kafe, udara malam menampar wajahnya dengan dingin. Nadine menatap jalan yang basah, mencoba menata dirinya. Tanpa sadar, air mata mengalir. Tidak hanya karena Raka. Tidak hanya karena ayahnya menghilang. Tetapi karena dunia yang selama ini ia kira sudah ia kendalikan, ternyata retak kembali. Dalam keheningan, langkah kaki mendekat dari arah kiri. Suara payung dibuka. “Nadine?” Drazel berdiri di sana, payung di tangannya, menatapnya dengan kekhawatiran yang tulus. Melihatnya saja, pertahanan Nadine runtuh. “Dia bawa sesuatu tentang ayahku…” Nadine berusaha bicara, tetapi suaranya pecah. Tanpa bertanya lagi, Drazel mendekat dan memayungi mereka berdua. “Ayo,” katanya lembut. “Kita cari tempat yang tenang untuk bicara.” Untuk pertama kalinya malam itu, Nadine merasa ada seseorang yang bisa ia sandari tanpa takut terjatuh. Dan ia melangkah mengikuti Drazel, tanpa tahu bahwa pria itu juga memiliki masa lalu yang tidak kalah gelap—masa lalu yang perlahan, sedikit demi sedikit, akan bersinggungan dengan miliknya. --- Drazel membawa Nadine ke sebuah taman kota kecil yang dipenuhi lampu-lampu jalan berwarna keemasan. Malam itu sunyi, hanya suara gerimis tipis dan langkah mereka yang pelan. Mereka duduk di bangku kayu yang sedikit basah, tetapi cukup terlindungi oleh pohon flamboyan besar. Nadine masih menggenggam amplop itu. Jari-jarinya bergetar, bukan karena dingin, tetapi karena cemas. “Ambil napas dulu,” ujar Drazel tenang. Nadine menurut. Menarik napas perlahan, mencoba mengembalikan dirinya ke pusat. Ketika ia membuka mata, Drazel menatapnya dengan cara yang membuatnya merasa tidak sendirian. “Ceritakan dari awal,” kata Drazel. Nadine mulai bercerita—tentang pesan Raka, tentang isi amplop, tentang kecelakaan ayahnya, dan tentang pernyataan bahwa ayahnya mungkin menghilang. Drazel mendengarkan tanpa menyela, seolah setiap kata Nadine adalah potongan puzzle yang sudah lama ia tunggu. “Aku tidak mengerti,” kata Nadine setelah selesai bercerita. “Kenapa ayahku menyembunyikan semua ini? Dan kenapa dia menghilang?” Drazel menatap jauh ke depan sebelum menjawab. “Aku tidak tahu pasti. Tapi kelihatannya ayahmu menjaga sesuatu. Atau seseorang.” “Menjaga siapa?” Nadine menggeleng. “Ayahku bukan tipe orang yang punya rahasia besar.” Drazel terdiam sebentar. “Semua orang bisa punya rahasia besar, Nadine. Bahkan yang terlihat paling sederhana.” Perkataan itu terasa aneh. Seolah Drazel berbicara bukan hanya tentang ayah Nadine—tetapi tentang dirinya sendiri. “Kamu mengatakan itu seperti kamu pernah mengalaminya,” kata Nadine, pelan. Drazel tidak langsung menjawab. Ia menunduk sejenak, lalu berkata, “Aku hanya tahu bahwa hidup tidak selalu seperti yang tampak.” Ada sesuatu di balik kata-kata itu—sesuatu yang belum siap ia buka. Nadine merasakannya dengan jelas. Namun ia terlalu lelah untuk menekan lebih jauh. --- Tiba-tiba, ponsel Nadine berbunyi. Nomor tak dikenal. Hatinya memukul rusuknya dengan keras. “Nadine…” suara di seberang itu berat, serak, tetapi sangat ia kenal. Itu suara ayahnya. Nadine hampir menjatuhkan ponsel. “Ayah? Ayah di mana? Kenapa ayah—” “Maaf… Ayah tidak bisa bicara lama,” ucap suara itu cepat dan terputus-putus. “Jangan percaya… siapa pun yang mendatangimu. Termasuk—” Suaranya terputus. Ada suara benturan logam, lalu dering panjang. “AYAH!” Nadine berteriak, tetapi sambungan sudah mati. Drazel langsung berdiri. “Apa yang terjadi?” “Dia… dia bilang jangan percaya siapa pun.” Nadine gemetar. “Apa maksudnya? Termasuk siapa? Raka? Kau? Siapa?” Drazel menatap Nadine seperti seseorang yang baru saja mendengar sesuatu yang jauh lebih berbahaya daripada yang Nadine pahami. “Nadine,” katanya pelan tetapi tegas. “Apa pun yang terjadi, kamu tidak sendirian. Aku di sini.” Namun Nadine menatapnya tanpa berkedip. “Ayah bilang jangan percaya siapa pun. Bagaimana aku tahu siapa yang harus kuterima dan kutolak?” Hening. Gerimis turun sedikit lebih deras, mengisi kekosongan di antara mereka. Drazel mendekat sedikit. “Kalau kamu ragu padaku, aku mengerti.” Nadine menggigit bibirnya. Perasaannya campur aduk. “Tapi,” lanjut Drazel, “kalau kamu butuh bantuan mencari ayahmu… aku tidak akan membiarkan kamu berjalan sendirian. Bahkan jika itu berarti kamu tidak sepenuhnya percaya padaku.” Kalimat itu membuat Nadine terdiam. Beberapa saat kemudian, sebuah mobil melintas di depan taman. Nadine memperhatikan sekilas—dan hatinya mencelos. Itu mobil hitam yang sama yang pernah ia lihat di dekat rumahnya beberapa hari lalu. Mobil yang ia kira hanya mobil tetangga. Mobil yang kini berhenti di seberang taman, lampunya menyala, mesinnya hidup, tetapi tak seorang pun keluar. Drazel juga melihatnya. Ekspresinya berubah. Lebih waspada, lebih serius, seperti seseorang yang tiba-tiba menyadari sesuatu yang penting. “Nadine,” katanya, suaranya sangat berbeda. “Kita harus pergi. Sekarang.” Tanpa bertanya alasan, Nadine merasakan bahaya yang nyata. Ia berdiri. Drazel meraih lengannya, menuntunnya menjauh dari taman. Dan untuk pertama kalinya sejak ia mengenal pria itu, Nadine melihat sesuatu yang ia tidak pernah bayangkan: Rasa takut di mata Drazel. Takut pada sesuatu… atau seseorang… yang ternyata sudah lama mengikuti mereka. --- sekian dan terima kasih ...

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

30 Days to Freedom: Abandoned Luna is Secret Shadow King

read
307.8K
bc

Too Late for Regret

read
273.6K
bc

Just One Kiss, before divorcing me

read
1.6M
bc

Alpha's Regret: the Luna is Secret Heiress!

read
1.2M
bc

The Warrior's Broken Mate

read
136.0K
bc

The Lost Pack

read
377.0K
bc

Revenge, served in a black dress

read
144.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook