4. Pura-Pura Lupa Bahwa Kisah Kita T'lah Usai

1935 Words
“Raline!” teriak Sonya begitu kembali ke ruangan tim desain. “Ya?” “Ada kiriman!” Awal bergabung di IDEA, Raline cukup terkejut dengan Sonya yang senang berteriak. Desainer senior yang bertanggung jawab mengurusi semua gambar 3D dari produk-produk IDEA ini ternyata memang seperti preman tingkahnya, tapi Sonya baik. “Kiriman apa ya, Mbak?”  “Cek sendiri aja ke bawah! Ada di dekat meja informasi.” “Oke, Mbak! Nanti saya ambil ke bawah.” “Ambil sekarang, Ral! Penuh di bawah! Nanti Mbak Kartika marah.” “Oh, gitu?” Raline mengernyit bingung. Kiriman apa yang sampai bisa membuat area customer service penuh dan terancam menimbulkan kekesalan Kartika, kepala tim CS di lantai 1? “Ya, udah saya ke bawah sekarang.” “Ajak orang lain buat bantu kamu!” seru Sonya lagi ketika melihat Raline hendak turun sendirian. “Eh?” Raline langsung berhenti melangkah. “Kirimannya banyak dan besar. Ajak yang cowok-cowok aja,” saran Sonya. Seketika Raline kebingungan. Siapa yang bisa ia mintai bantuan?  “Rian, Dani, Iskan, Josh, bantuin Raline deh kalian!” titah Sonya. Ajaibnya, keempat pemuda itu menuruti perintah Sonya tanpa banyak bertanya. Mereka langsung sigap mengikuti di belakang Raline. Tiba di lantai satu, Raline dibuat tercengang sementara keempat pemuda yang mengikutinya melongo parah. Pantas saja Kartika terancam marah. Bagaimana tidak? Meja customer service kini dipenuhi berbagai kiriman berukuran besar yang dikemas cantik. Untung saja sekarang masih pagi dan jam layanan bagi pèlanggan belum dibuka. Raline mendekat kemudian memeriksa kiriman-kiriman untuknya. Pertama, ada buket bunga bernuansa putih pink kiriman dari Evrard sang ayah. Kedua, ada lima kotak cokelat dengan dus ukuran 40x40 cm kiriman dari Jett sang kakak. Ketiga, ada kue ulang tahun berbentuk lingkaran dengan diameter 30 cm yang Raline yakini adalah buatan tangan kakak iparnya sendiri, Nayarra. Keempat, ada body treatment package yang pastinya dikirim oleh sang ibu yang sangat mengerti putrinya, Aubrey. Lalu terakhir, ada boneka beruang berwarna putih yang sangat cantik dan besar, hadiah kekanakan dari adiknya yang centil, Seraphine. “Ral, kamu ulang tahun?” tebak Iskan. “Iya.” Raline hanya mengangguk. Ini memang hari ulang tahunnya yang ke-23. “Kamu artis?” goda Josh. “Bukan.” Raline menggeleng cepat. “Ini kenapa banyak banget yang kirim hadiah?” tanya Rian bingung. “Semua dari keluarga aku,” ujar Raline malu. Entah siapa yang terpikir untuk mengiriminya hadiah ke sini? Ada-ada saja! “Kirain dari penggemar,” goda Josh lagi. “Bukan, Mas. Aku enggak punya penggemar.” "Mbak Raline!" Pria tua yang bekerja sebagai penjaga keamanan di tower ini berjalan tergesa menghampiri saat Raline dan keempat pemuda yang membantunya bersiap kembali ke lantai 5. "Iya, Pak Gino?" "Ini ada paket lagi, Mbak!" Gino mengangkat sebuah kotak berukuran sedang di tangannya.  "Lagi?" Raline mengernyit bingung. "Yang ini kayaknya beneran dari penggemar," celetuk Dani. Raline menoleh kebingungan. Semua tangan sudah penuh karena kirimannya memang besar-besar. Ia sendiri kesulitan memeluk boneka dari Sera yang ukurannya super besar ini. "Tumpuk sini aja, masih muat," ujar Iskan yang membawa kotak kue ulang tahun. Raline tersenyum tidak enak. "Maaf ya, Mas. Jadi bikin repot." "Santai aja," sahut Iskan. Josh yang memang usilan segera mendekati Iskan untuk melihat tulisan yang tertera di paket terakhir. "Dari Birmingham, jauh-jauh amat. Siapa yang di sana, Ral?" Raline yang sudah berjalan di depan langsung menoleh terkejut. "Birmingham?" Josh mengangguk kecil. "Iya, itu tulisan di alamat pengirimnya." Melihat kebingungan Raline, Iskan jadi waspada. Siapa tahu ini paket gelap. Zaman sekarang banyak tindak kejahatan semacam ini, bukan? "Nama pengirimnya Kamal, kamu kenal?" "Kenal." Raline mengangguk kaku. "Mantan saya, Mas." Tiba di lantai 5, kehebohan langsung terjadi. Semua merasa tertarik melihat betapa banyaknya kiriman untuk Raline, dan mereka juga sibuk menyelamati gadis itu. "Na, bantuin!” pinta Raline yang berniat membuka kotak-kotak cokelat kiriman Jett agar dapat dibagi-bagi pada rekan lain. Ketika akan membantu Raline, tidak sengaja Diana menyenggol paket dari Kamal. Josh yang kebetulan sedang di dekat situ, dengan sigap menangkapnya.  “Harus ekstra hati-hati, dari mantannya Ral," ujar Josh pada Diana. "Wah! Mantan masih ngirim hadiah ultah?” ujar Diana setengah terkejut setengah jengkel. Dia sangat tahu seperti apa perjuangan Raline selama ini untuk melupakan Kamal. “Cinta lama belum kelar ini, sih." "Udah selesai kok, kata siapa belum kelar?" balas Raline berlagak cuek, padahal sejak mengetahui bahwa kiriman itu dari Kamal, hatinya tidak karuan. "Buktinya? Kalo udah selesai, ngapain masih kirim hadiah?" balas Diana sebal. "Mungkin ceritanya udah selesai, tapi cintanya kan belum tentu," celetuk Josh yang masih betah mengganggu Raline. "Kok, kayak lagu lama ya?" sindir Diana. Dia bukan sebal pada Raline, tapi kekesalan Diana tentunya tertuju pada Kamal. "Hm?" gumam Raline tidak paham. "Lagunya Ello," ujar Diana menjelaskan. "Mungkin kisah t'lah usai …, tak demikian cintaku …." Dan bernyanyilah Josh dengan suaranya yang cukup mengiritasi telinga seisi penghuni ruangan itu. "Sst!" Iskan segera mendelik untuk menghentikan kekonyolan Josh. "Duh, kacau! Jadi mendung kan si Ral.” Putri ikut mengomeli Josh. "Itu jelas pertanda kalau dia masih menyimpan rasa," ujar Josh santai. "Wajar kali, pacaran lima tahun tiba-tiba ditinggal pergi, baru juga berapa bulan. Kalo masih berat wajarlah," bela Putri yang juga tahu kisah Raline karena mereka pernah mengalami cerita serupa. "Apalagi kalau mantannya masih perhatian gini," sindir Diana. Raline tidak tersinggung dengan sikap Diana. Dia tahu Diana begitu karena terlalu mengkhawatirkannya. Setelah ini, Raline pasti akan kembali dilanda sendu memikirkan Kamal seperti yang sudah-sudah. Percakapan mereka terhenti ketika Raline melihat panggilan masuk ke ponselnya. "Kamal video call." "Kenapa malah diem?" tanya Diana hati-hati. "Angkat atau enggak usah?" Raline menatap bingung.  "Lo maunya angkat apa enggak?" "Mau." "Terus apa masalahnya?" "Nanti kepikiran," sahut Raline galau. "Lo angkat atau enggak juga bakal tetep kepikiran." "Iya, sih." "Ya, udah angkat aja!" ujar Diana gemas. Begitu Raline menggeser tombol hijau di layar ponsel, wajah Kamal langsung muncul dan tersenyum hangat padanya. "Hi, Ral! Happy sweet birthday! Wish you all the very best!" "Thank you," bisik Raline gugup. "Kiriman dari aku udah sampe?" "Hm." "Udah dibuka?" "Belum." "Buka, dong!" "Bentar." Raline menjangkau paket dari Kamal lalu membukanya. Sebuah jam meja antik.  "Suka?" tanya Kamal setelah suara berisik dari kertas yang disobek tidak terdengar lagi. "Hm." Raline hanya mengangguk kecil. "Enggak tanya kenapa aku kirim hadiah?" "Memang kenapa?" "Karena sampe saat ini aku masih selalu inget kamu. Dan biar kamu tau, hati aku juga masih selalu buat."  "Bukannya kamu enggak mau kita saling terikat dan jadi terbeban?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja tanpa dapat Raline cegah. "Memang. Tapi enggak ada salahnya kan ingin diingat." "Kalau mau diingat seharusnya kamu enggak pergi,” ujar Raline sarat dengan nada terluka. “Kalau udah pergi, lebih baik jangan muncul lagi dan bikin perasaan orang jadi kacau." "Jangan datang lagi cinta …, bagaimana aku bisa lupa …." Entah sejak kapan, lagu bernuansa galau itu mengalun di seluruh sudut ruangan dengan volume yang cukup kencang. Siapa saja pasti akan mendengarnya. Sial! Pikir Raline dongkol. Siapa juga yang sengaja pasang lagu ini waktu hati gue lagi nyut-nyutan gara-gara Kamal? Diana mencari sang pembuat onar dan menemukan Josh tengah tersenyum tanpa dosa di meja kerjanya. Dengan kesal Diana menyambit Josh dengan marker. "Matiin, Nyet!" Josh terkekeh puas karena berhasil menghindari lemparan Diana. "Biar dramatis tau, cocok nih buat lagu latar." "Sìnting lo kebangetan, Josh!" Rian ikutan mengomel dan mencabut koneksi komputer Josh ke speaker utama hingga lagu Pura-Pura Lupa berhenti mengalun. Cukup lama setelah panggilan dari Kamal berakhir, Diana mendekati Raline dan bertanya hati-hati. "Lo gapapa?" "I'm okay!" jawab Raline dengan senyum palsu. "Hari ini lo balik ke rumah nyokap bokap?" "Ngapain?" "Kan hari ini lo ulang tahun, Ral." "Kayak anak kecil aja ulang tahun harus sama keluarga. Mereka aja tau gue enggak akan pulang, makanya semua kirim hadiah ke sini." "Jadi lo enggak akan balik hari ini?" "Paling sekalian weekend aja." Setelah memastikan keadaan Raline, Diana tidak lagi mengganggu dan membiarkannya sendiri. Entah untuk melanjutkan pekerjaan, atau untuk memikirkan Kamal. Dan yang Raline lakukan memang kembali mengenang masa indahnya bersama Kamal. Memutar kenangan saat mereka masih bersama. Saat semua terasa mudah dan masalah terbesar dalam hidup mereka hanyalah tugas kuliah. Pikirannya melayang pada hari ulang tahunnya dua tahun lalu. "Ral, udah mau tidur?" tanya Kamal begitu Raline mengangkat panggilannya. "Belum, Ka. Kenapa?" "Lagi apa?" Raline tersenyum. Kamal memang selalu penuh perhatian. Meski setiap hari selalu bertemu di kampus, malam harinya pemuda itu tidak pernah absen menelepon atau chatting dengan Raline. Sekadar mengingatkan untuk makan dan menanyakan perkembangan tugas Raline. Tidak jarang mereka mengerjakan tugas sambil video call sepanjang malam. Dan hal ini sudah berjalan sejak awal mereka kuliah, bahkan sejak di tahun terakhir SMA. "Lagi bikin maket. Maket kamu udah sampai mana?" "Baru selesai dinding. Mau mulai bikin furni. Ceiling belum, pola lantai juga belum." "Mending kamu udah segitu, Ka. Aku dinding aja belum beres," keluh Raline. "Kok, tumben lama?" tanya Kamal heran. Biasanya kecepatan mereka mengerjakan tugas selalu berimbang.  Itulah salah satu hal yang membuat hubungan mereka selama ini berjalan lancar. Tujuan mereka sama, kesukaan mereka sama, hingga mereka bisa saling mendukung dan memiliki gaya berpacaran yang sangat sehat. Saat anak-anak muda seumur mereka menghabiskan waktu bersama untuk bermesraan, mencoba segala hal tidak berguna yang menantang untuk dilakukan, atau bahkan melanggar norma dengan berbuat di luar akal sehat, Raline dan Kamal hanya menghabiskan waktu bersama untuk mengerjakan tugas. "Salah aku sok-sokan bikin jendela model divided, jadinya repot sendiri. Mana tiap sisi dinding ada jendelanya," gerutu Raline penuh sesal. Saat merancang daun jendela dengan delapan kaca, Raline tidak memikirkan sulitnya mewujudkan itu dalam maket. Sementara sekarang? Kalau untuk satu jendela saja ia harus membuat delapan lubang, berapa kali ia harus membuat lubang untuk total 30 daun jendela di rumah rancangannya? "Masih banyak?" tanya Kamal iba. "Bukannya masih banyak lagi, Ka. Baru dikit." "Kasian. Mau aku bantu?" "Mau, tapi kan kamu juga belum selesai." "Gapapa, aku bantuin malam ini aja," ujar Kamal menenangkan. "Ka, jangan PHP deh!" ujar Raline sebal. Kamal ini terkadang manisnya kebangetan, tapi tidak realistis. "Aku serius, Ral.” Kamal terkekeh geli. “Sini turun, bukain pintu buat aku!" "Eh?" Raline bingung. "Ayo, dingin nih!" desak Kamal. "Ka, jangan bercanda!" "Aku serius, Ral." Seketika itu juga Raline berlari ke bawah dan melihat motor Kamal terparkir di luar gerbang rumahnya. Pemuda itu melambai ke arah Raline membuat gadis itu kembali berlari menghampiri dan meminta petugas keamanan membukakan gerbang untuk Kamal. "Ka, ya ampun! Kamu beneran ke sini!" seru Raline benar-benar terkejut. Ia masih tidak percaya Kamal berani datang di tengah malam seperti ini. "Happy birthday sayangnya aku," ujar Kamal penuh senyum. Detik itu juga sadarlah Raline jika hari sudah berganti dan ia resmi menginjak 21 tahun. "Kamalnya diajak masuk, Ral,” tegur Aubrey yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakang Raline. “Pacaran di dalam. Malu pacaran di gerbang, kayak yang dilarang sama Papa Mama." Raline menoleh terkejut. "Mama tau Kamal mau dateng?" "Tau, dong!" jawab Aubrey bangga. "Papa?" "Tau juga," jawab Aubrey lagi. "Kok, tumben kasih izin?" "Karena Kamal izin mau kasih kamu hadiah ulang tahun." "Biasanya juga suruh pagi-pagi." "Kali ini beda. Hadiahnya, Kamal mau bantu kamu selesaikan maket." Mata Raline membulat sempurna. Ia menatap tidak percaya pada kekasihnya. "Ka, kamu serius?" "Iya, Ral.” Kamal mengedipkan sebelah mata. “Masa enggak percaya sama pacar sendiri?" "Bukan gitu. Cuma kamu kan juga masih banyak kerjaannya." "Gapapa, cuma hari ini aja. Bantuan spesial dari aku. Enggak tiap hari juga kan aku bantuin." Dan hari itu akan selalu terpatri dalam kenangan Raline. Hadiah ulang tahun spesial dari Kamal karena pemuda itu bukan memberikan hadiah yang bisa dibeli, melainkan waktunya yang berharga untuk menemani dan membantu Raline. Bagi Raline, Kamal itu baik dan manis, juga langka. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD