3. Sabtu Pagi Penuh Kenangan Horor

1996 Words
“Lo yakin enggak ikut makan siang bareng lagi?” Diana menghampiri meja kerja Raline ketika waktu sudah hampir menunjukkan pukul 12 siang. “Yakin. Lo aja sana!” sahut Raline yang sedang berlagak sibuk membuat bentuk tiga dimensi dari kitchen set rancangan terbaru yang akan diluncurkan awal tahun mendatang. Melihat tingkah Raline yang ajaib sejak kemarin, Diana mengembuskan napas sebal. “Lo mau menghindar dari Mas Noe sampai kapan, sih?” "Sst!" Raline menoleh ke kiri kanan dengan waswas, khawatir ucapan Diana terdengar rekan kerja yang lain. Kalau saja Diana tidak sedang berdiri, ingin rasanya Raline mencubit mulut gadis itu. "Enggak ada yang denger juga, lagi pada pakai earphone," sahut Diana santai lalu menaikkan kedua alisnya menunggu jawaban Raline. "Jadi?" “Enggak tau.” Raline menggeleng lesu. “Lo enggak bisa begini terus, Ral. Kalian perlu bicara,” saran Diana khawatir. Lagi pula, memang benar, bukan? Tidak mungkin Raline terus menghindari Noe selama mereka masih bekerja di tempat yang sama. “Enggak perlu, lama-lama juga lupa," tolak Raline keras kepala. “Iya kalo enggak ada apa-apa, kalo lo ….” Tanpa perasaan Diana membuat gerakan membuncit di depan perutnya. “Urusannya bakal panjang.” “Amit-amit! Jangan sembarangan, Na!” omel Raline panik. Menerima kenyataan kalau dirinya sudah ditembus saja Raline masih sulit, ini malah ditambahi dengan kemungkinan tekdung. Jelas Raline kelabakan. “Gue bukan sembarangan, Ral. Gue realistis," sahut Diana untuk membela pendapatnya. “Pokoknya buat sekarang gue enggak mau bahas apa-apa sama dia," putus Raline keras kepala. Setelahnya ia mengibaskan tangan untuk mengusir Diana. "Udah sana berangkat, yang lain udah pada pergi tuh!” Begitu melihat rombongan tim desainer pergi meninggalkan ruangan, barulah Raline bernapas lega. Satu hari lagi berhasil ia lewati tanpa perlu berhadapan dengan Noe saat jam makan siang. Kini saatnya berselancar di aplikasi layanan pesan antar untuk memanjakan perutnya yang sudah mulai berdemo. Tengah asik-asiknya memandangi foto-foto makanan yang begitu menggiurkan, sebuah suara menyapa dan sosoknya berhenti tepat di depan meja Raline. “Ral …,” panggil Noe pelan. “Eh?!” Refleks ponsel Raline meluncur turun saking terkejutnya mendengar suara Noe. Cepat-cepat ia menunduk untuk memungut ponselnya dan saat itu juga kepala Raline terantuk meja kerja. “Aw!” Noe cepat memutari meja kerja Raline, berjongkok lalu meraih ponsel gadis itu. Diserahkannya kembali barang itu pada sang pemilik. “Kening kamu agak merah. Sakit?” Raline menggeleng canggung. Ia melirik jam dinding lalu menatap Noe bingung. “Bapak enggak pergi makan sama yang lain?” “Sedang tidak ingin.” “Oh …,” gumam Raline. Tau gitu ikut sama yang lain. “Kamu sendiri, kenapa skip lagi hari ini?” “Ng …, ini lagi banyak kerjaan aja, Pak,” ujar Raline. Dusta yang sama persis seperti kemarin. “Bukan karena berniat menghindari saya?” tanya Noe curiga. “Bukan, Pak! Bukan!” Raline menggeleng panik. Ini gawat! Raline takut Noe akan membahas kejadian yang sangat ingin ia lupakan. “Syukurlah kalau begitu. Kalau kamu tidak menghindari saya, bisa kita bicara sebentar?” “Eh?” Benar saja dugaan Raline! Noe memang berniat membahas hal yang terjadi di antara mereka. “Saya lagi banyak kerjaan, Pak. Nanti aja, boleh?” Untuk beberapa saat Noe memandangi Raline, menimbang apakah ia harus mendesak atau membiarkan lagi saja untuk saat ini? “Oke, tidak masalah.” Akhirnya Noe mengalah. Sebelum meninggalkan Raline, ia meletakkan kantong plastik berlogo kedai makanan yang sejak tadi dipegangnya. “Jangan lupa makan siang, Ral.” Raline mengerjap kaget. Tidak menyangka Noe akan memesankan makanan untuknya. Rasanya ingin menolak, tapi bukankah akan semakin terlihat mencurigakan? Akhirnya, Raline hanya mengangguk pasrah. “Iya, Pak.” “Semoga kamu suka. Habiskan ya!” ujar Noe hangat disertai senyum canggung  “Eh?” Untuk kesekian kalinya Raline dibuat serba salah dan terkejut oleh tingkah Noe. Kenapa rasanya pria ini seolah sedang berusaha menunjukkan perhatian untuknya? "Iya, Pak. Terima kasih." “Saya kembali ke ruangan dulu.” Raline memandangi punggung Noe yang menjauh. Setelah yakin Noe benar-benar menghilang dari ruangan ini, Raline segera menggeleng kencang, berusaha mengusir bayangan tentang Sabtu pagi lalu yang akan selalu menghantui ingatan Raline. Raline mulai terbangun dari tidurnya ketika merasakan cahaya matahari menembus masuk ke dalam kamar. Ia masih setia memejamkan mata, belum rela untuk bangun saat ini. Namun, ia terganggu ketika menyadari ada aroma asing yang menerpa penciumannya. Hidungnya disuguhi aroma maskulin yang menenangkan, bukan aroma manis yang ceria seperti pengharum ruangan kamarnya sendiri. Ketika Raline beringsut untuk mengganti posisi tidurnya, lagi-lagi ada yang terasa janggal. Jika biasanya ia berbaring miring dan memeluk guling, saat ini apa yang dipeluknya? Mengapa tangannya melingkari sesuatu yang hangat dan ada detak terasa. Ukurannya pun terlalu lebar untuk sebuah guling. Belum lagi sesuatu yang terasa hangat dan agak sedikit berotot di bawah kepalanya. Tunggu! Berotot?! Seketika matanya terbuka lebar dan Raline nyaris menjerit. Ada sesosok pria yang tengah berbaring di sisinya, memeluknya. Dan pria itu adalah Noe Camaro, atasannya sendiri. "Akhirnya kamu bangun," sapa Noe lembut.  Sontak Raline beranjak duduk. Matanya menatap nanar ke sekeliling ruangan dan menyadari ini bukan kamarnya. Tergesa Raline bangkit berdiri dan menjauh dari tempat tidur. "Raline, tunggu!" Noe bergerak cepat dan berdiri menyusul Raline. Melihat Noe berdiri dengan hanya mengenakan sehelai boxer, Raline refleks membuang pandang. Saat itulah ia menyadari pakaiannya sendiri. Hanya sehelai terusan tipis tanpa pakaian dalam lagi. Apa saja yang ada di dalam sana jelas bisa terlihat tanpa perlu usaha besar. Ini gìlà! Apa yang terjadi dengan mereka? "Raline, mari kita bicara," ujar Noe dengan suara khawatir. Raline menggeleng dan mundur menjauh. Kepalanya penuh dengan berbagai pertanyaan. Ia berusaha mengingat hal yang terjadi semalam, tapi nihil. Raline hanya ingat sampai bagian ia minum dan berjalan-jalan mengikuti buku milik Diana. Buku! "Saya bisa jelaskan semua, Ral." Suara Noe sarat akan rasa bersalah. Ia tidak menyangka Raline akan demikian syok.  Mata Raline nanar menatap sekeliling dan menemukan buku siàlan itu di atas meja makan milik Noe. Setengah berlari Raline menuju meja makan, menyambar buku tengik yang membuatnya terjebak situasi mengerikan ini, lalu tergesa menuju pintu keluar. Melihat Raline yang berniat pergi, Noe tidak bisa mencegahnya. Ia pikir mungkin nanti saat Raline lebih tenang, mereka bisa bicara. Hanya satu yang membuat Noe keberatan, pakaian tidur Raline yang tidak layak. Saat ini sudah cukup siang dan pasti dalam perjalanan menuju unitnya sendiri, Raline akan bertemu banyak orang. Cepat-cepat Noe menyambar jaketnya dari gantungan di dekat pintu keluar, kemudian memakaikannya di sekeliling tubuh Raline. "Oke, kalau memang kamu tidak mau bicara. Tapi setidaknya pakai ini, jangan berkeliaran dengan baju setipis itu lagi. Kamu tidak tahu bahaya yang menanti." Entah mengapa, setelah mereka bersatu dan menyadari ia adalah yang pertama bagi gadis itu, ada rasa tidak rela memikirkan tubuh indah Raline terekspos di depan banyak mata lelaki lain. Sejak hari itu, setiap kali melihat bahu tegap Noe, Raline teringat bagaimana ia terbangun dalam keadaan bersandar nyaman di sana. Setiap kali mendengar suara Noe, Raline teringat bagaimana suara hangat dan dalam yang sedikit serak pagi itu menyapanya lembut. Setiap kali bertatapan dengan mata Noe, Raline teringat bagaimana pria itu menatapnya kebingungan saat ia melarikan diri tanpa penjelasan. Namun, setidaknya untuk saat ini ia berhasil menghindari pembicaraan dengan Noe. Bagaimana nantinya, entah. Sayangnya, kelegaan Raline tidak bertahan lama. Malam itu juga, sosok Noe tiba-tiba mendatangi unit residence-nya. Raline yang tidak curiga sama sekali, membukakan pintu tanpa melihat dulu siapa yang datang, karena dikiranya pastilah itu Diana. Begitu melihat sosok Noe berdiri di depan pintu unitnya semua sudah terlambat. Mau ditutup lagi pintunya jelas tidak sopan.  Raline hanya bisa berdiri kikuk sambil bertanya gugup. "Eh …, mm … malam, Pak!" "Saya boleh masuk?" tanya Noe dengan senyum ramah. Sosok Noe yang malam ini terlihat begitu santai dengan kaus putih dan celana joger abunya, membuat Raline lagi-lagi teringat akan pagi itu. Otot lengannya yang tercetak jelas membuat Raline teringat kepalanya pernah bersandar di sana. Oh, ini mengerikan! "Maaf, Pak. Boleh tahu ada urusan apa?"  "Ada sesuatu yang perlu kita bicarakan, Ral." "Saya ada buat salah di kerjaan, Pak?" ujar Raline berlagak bodoh. "Bukan itu, Ral." "Terus apa ya, Pak?" Lagi. Jurus sok polos Raline keluarkan. "Boleh saya masuk dulu?" tanya Noe. Ia merasa tidak nyaman membicarakan masalah penting mereka di depan pintu seperti ini. "Boleh di sini aja, Pak?" tolak Raline halus. Noe menggaruk pelipisnya tanda bingung. "Kalau ada yang lihat malah tidak enak, Ral." Raline sadar kalau kata-kata Noe memang benar. Bicara berdua di depan pintu begini malah berpotensi dilihat banyak orang, bukan? Mana Noe ini sosok yang tergolong populer di kalangan IDEA. Jadi, dengan siapa pria ini berinteraksi di luar jam kerja, pastilah menarik untuk diulas. Akhirnya, Raline hanya bisa menyingkir pasrah dan memberi Noe akses untuk lewat.  "Masuk, Pak."  "Saya boleh duduk?" tanya Noe canggung begitu dirinya melangkah masuk..  "Silakan, Pak!" jawab Raline sama canggungnya. Noe berjalan ke arah satu-satunya sofa di unit one bedroom yang Raline sewa. "Kamu tidak duduk?" Raline menggeleng sambil tersenyum kaku. "Saya berdiri aja, Pak." "Kamu takut saya macam-macam?" Noe merasa terganggu melihat sikap Raline yang seolah ketakutan padanya. Gadis itu hanya berdiri kaku, cukup jauh dari sofa. "Bukan, Pak!" Raline menggoyangkan tangan cepat-cepat. "Saya janji tidak akan melakukan apa-apa yang tidak kamu inginkan, Ral," ujar Noe sungguh-sungguh.  "Itu sofanya sempit, Pak. Bapak aja yang duduk." Bagi Raline, sofa two seater terasa terlalu intim untuk diduduki berdua dengan lawan jenis, beda dengan sesama jenis. Kalau bersama Diana, duduk bersebelahan pun tidak masalah. Kaki mereka saling bersinggungan pun tidak jadi soal. Kalau dengan Noe? Seketika Raline kembali teringat pada ‘guling’ yang dipeluknya Sabtu pagi lalu.  "Kamu duduk di sini, biar saya duduk pakai kursi makan kamu." Noe bangkit lalu menuju meja makan, mengambil satu dari tiga kursi yang ada di sana, lalu membawanya ke dekat sofa. "Boleh saya mulai bicara?" "Silakan, Pak!" "Pertama-tama saya mau minta maaf pada kamu." "Soal apa ya, Pak?" Lagi-lagi gadis ini berlagak pilon. Untunglah Noe ini tipe pria yang sabar, andai Raline bertingkah begini di depan Jett, pastilah kakaknya itu sudah mencincangnya. "Ini tentang apa yang terjadi di tempat saya Jumat malam lalu. Saya sadar saya salah. Seharusnya saya bisa menahan-" Belum lagi Noe menyelesaikan kata-katanya, jeritan Raline sudah terdengar. "STOP!" Raline berteriak panik sambil menutup kedua telinganya. "Jangan dilanjut, Pak!" Noe menggeleng penuh sesal. "Tapi saya merasa perlu meminta maaf pada kamu." "Iya saya maafin, Pak! Udah saya maafin!" ujar Raline cepat-cepat. "Kamu yakin?"  "Yakin, Pak! Saya udah maafin dari waktu itu!" ujar Raline lagi sambil dalam hati terus merapal. Jangan dibahas, jangan dibahas, please! Jangan bilang kalau …, pokoknya jangan! "Terima kasih." "Udah selesai, Pak?" "Belum. Boleh saya lanjut yang kedua." "Boleh, Pak," ujar Raline setengah terpaksa. Apalagi sekarang? "Karena kamu sudah memaafkan saya, saya ingin  menjelaskan situasinya agar kamu tidak salah paham," ujar Noe gugup. "Jadi malam itu kamu datang dalam keadaan mabuk, kamu mengetuk unit saya lalu berbicara melantur. Saya terkejut sekali melihat kamu sekacau itu, belum lagi pakaian kamu-" Dan kembali terulang. Perkataan Noe dihentikan oleh jeritan Raline. "CUKUP! Jangan diterusin!" pinta Raline frustasi. Dia tidak ingin mendengar kenyataan yang sebenarnya. "Saya hanya ingin meluruskan hal yang terjadi. Saya takut ada kesalahpahaman." "Enggak ada, Pak. Semuanya jelas! Saya enggak salah paham, Pak! Tenang!"  "Sungguh?" ujar Noe penuh sangsi. Sejujurnya Noe sangat heran dengan reaksi Raline. Bukannya menangis sedih, gadis ini malah menolak membahasnya. "Iya, Pak. Sekarang udah selesai kan ya, Pak?" "Masih ada satu lagi." "Apa lagi, Pak?" tanya Raline memelas.  "Saya bersedia bertanggung jawab," ujar Noe penuh kesungguhan. "Hah?" Kali ini Raline sungguh melongo bodoh. Dia tidak bisa memahami maksud perkataan Noe. Apanya yang mau dipertanggungjawabkan?  "Terlepas apakah kejadian itu membawa dampak lebih lanjut atau tidak, saya bersedia bertanggung jawab. Saya bukan pria yang senang bermain-main. Jadi-" "Enggak usah, Pak!” potong Raline lagi untuk ketiga kalinya. “Saya baik-baik aja. Makasih buat niat baik, Bapak." "Ral, saya sungguh-sungguh. Setiap kali teringat malam itu, saya merasa bersalah pada kamu," ujar Noe sedih. “Pak, tolong …,” pinta Raline. “Lupain aja kejadian malam itu karena saya juga tidak mau mengingatnya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD