Prolog
Kata orang, saat ada yang meninggal langit akan menghujani bumi
Ikut bersedih atasnya
Tapi langit pagi itu begitu cerah
Matahari tanpa malu menatap Sekar
Yang berharap ia bersembunyi di balik kelabu awan
***
Pandangan Sekar tertuju pada papan persegi panjang yang di kedua belah ujungnya runcing, pucuk yang satu lancip melengkung bagaikan kubah sedangkan yang lainnya menukik tajam pada kedua sisi.Di salah satu sisi luas papan berwarna coklat tua, tertulis nama Panji Erlangga dibubuhi tanggal lahir dan wafat.
Mata Sekar menyoroti nama suaminya dalam diam tak berkutik, mengabaikan sengatan matahari yang menerobos tajam kedalam kulitnya.
Tetes demi tetes air hasil dari penguapan permukaan kulit yang terbakar sinar ultraviolet membuat Sekar bergeming tanpa mengindahkannya. Seakan raganya tak ingin melayani rangsangan dari luar.
Selaput bening yang menutupi iris dan pupilnya memantulkan mebel kotak persegi panjang putih yang sedang diturunkan oleh enam orang laki-laki dari berbagai baya tak menyiratkan duka.
Hingga pantulan itu memunculkan babak baru, mengubah lahan berlubang menjadi tumpukan tanah merah kecoklatan.
Ia masih mematung kaku tak menyadari setiap prosesi, serta orang yang hadir di sana memerhatikannya. Masing-masing mata memancarkan emosi.
Sedih
Cemas
Harap
Duka
Rana
Bukan hanya karena ditinggal Panji untuk selamanya, namun juga karena menyaksikan raga Sekar tanpa stimulus.
Bahkan hingga saat upacara pemakaman Panji usai.
Alasan utama Sekar sangat merana akan kepergian Panji, bukan karena semata-mata lelaki yang baru saja masuk ke dalam liang berkukuran sempit sebagai tempat tinggalnya yang baru. Melainkan, baru menyadari betapa cintanya Sekar pada Panji di saat cinta itu tak dapat lagi ia terima.
Merana akan penyesalan, karena belum pernah sekalipun di saat Sekar bersama Panji. Cintanya dapat tersalurkan. Ia sungguh tak duga, benih cinta yang tertutup hasrat lain malah bertunas di saat tak ada yang memetiknya.
Penyesalan lainnya, sikapnya kepada Panji yang tak bersahabat. Bahkan, hingga napas terakhir yang dihembuskannya.
Semua proyeksi perlakuan Sekar selaku istri Panji, menghantam benak Sekar. Tak pernah satu kejadian pun kepada Panji yang pernah Sekar lakukan, murni ketulusannya.
Tak pernah, satu kepedulian yang pernah terpancar dari Sekar.
Tak pernah, satu perhatian yang terlontar dari bibir Sekar.
Tak pernah, satu kata cinta terdengar oleh Panji dari mulut manis Sekar.
Namun, di saat masa itu datang. Justru Sekar harus menguburnya, bersama tubuh Panji yang sudah tetutup tanah.
Satu persatu mahluk yang disebut manusia, mencoba menghampirinya. Memancing perhatian Sekar, agar ia menyadari kehadiran mereka. Menyentuhnya, berharap Sekar dalam kondisi yang tidak menghawatirkan.
Namun jerih mereka sia-sia, Sekar tak tergoyahkan. Ia masih berdiri kaku bak patung peraga busana. Menghadirkan guratan wajah kaku tanpa emosi, hanya tatapan kosong yang tertuju pada tumpukan tanah dengan papan nisah di atasnya. Tak ada satupun rangsangan dari setiap sentuhan manusia lain yang ia tanggapi.
Membuat seluruh manusia memilih membiarkan Sekar, berendam pada duka yang tak dapat ia salurkan. Hingga satu persatu dari mereka mulai melangkah pergi meninggalkan area pekuburan, menyisakan beberapa mahluk hidup yang berasal dari spesies Homo sapiens termasuk Arya. Sahabat Panji yang menjadi peran, terciptanya pernikahan Panji dengan Sekar.
Raut wajah Arya sedari awal menyorotkan kecemasan, yang tertuju pada Sekar sudah tak terelakkan. Niat hati menyeru untuk menenangkan Sekar, namun tak urung ia lakukan. Hingga, bola matanya bergerak mengikuti Sekar yang tiba-tiba menjatuhkan tubuhnya. Berlutut merayap, menghampiri gundukan tanah. Gontai dengan sisa tenaga, gadis itu meraih gumpalan merah kecoklatan di bawah papan nisan. Kemudian, digerusnya geram.
Pundak Sekar naik turun, dengan tempo yang tak beraturan.
Laksana mesin yang sudah terjadwalkan, kaki Arya berjalan dengan sendirinya menghampiri Sekar yang tersedu-sedan.
Langkah Arya terhenti, di belakang sebelah kiri raga Sekar. Ia berdiri tak bergerak, seakan takut Sekar menyadari kehadirannya. Ia menggerakkan tangan kanannya menghampiri bahu sekar, namun tangan itu segera ditariknya kembali. Sedetik kemudian, ia melakukan hal yang sama. Akan tetapi sekali lagi ia menariknya dengan cepat, hingga pergerakkan ketiga. Ujung telunjuk Arya, berhasil mendarat lembut di bahu Sekar.
Bahu Sekar tak memberikan sambutan apapun, pada telunjuk Arya yang bertengger padanya. Justru, telunjuk Arya naik-turun mengikuti pergerakkan tubuh Sekar yang tak beraturan. Gadis itu meraung, tak mengindahkan langkah kaki manusia yang berjalan menjauhi pemakaman Panji. Tiba-tiba terhenti, teralihkan oleh tangisan Sekar yang pecah. Kaki-kaki itu tak bergerak untuk waktu yang lama. Hanya mengiba menyaksikan raga Sekar yang terjerambab di tanah, sambil memukul-mukul dadanya. Tak tahu harus berbuat apa, hanya mampu menyaksikannya dengan iba.
Pada bahu Sekar yang semula hanya terdapat ujung telunjuk Arya saja, kini tergantikan dengan genggamannya. Arya menekan bahu Sekar dengan lembut. Usahanya pun menghasilkan tanggapan positif dari Sekar.
Dengan perlahan, Sekar menggerakkan lehernya. Matanya mendapati sumber, yang mengusik ratapan untuk mendiang suami. Saat mata menangkap bahwa ada tangan yang menggenggam bahunya, lehernya berayun keatas. Mendongak, mengarah pada wajah Arya.
Philtrum bibir atas Sekar yang lebih kecil, dibanding bibir bawahnya bergidik. Bergetar pelan lalu terlipat ke dalam. Pupil Sekar meyempit membidik wajah Arya tajam. Berkali-kali bibir itu bergerak ringan, sebelum sepatah kalimat halus nan lirih keluar.
"Kamu yang membunuhnya!"
Genggaman Arya terlepas beriringan dengan air mukanya yang terperanjat, mengernyit, menghasilkan gelombang tebal dan tipis yang tercetak di dahi lebarnya. Dua alisnya yang membetuk menyerupai segitiga tak beraturan, seakan-akan berusaha saling meraih satu sama lain. Bibir tebal baik di atas maupun di bawah sedikit melangah, kemudian terkatup kembali bersamaan dengan air mukanya yang berganti menjadi sayu. Seakan paham kalimat yang ia dengar darinya.
Arya tak membalas perkataan Sekar, bahkan sekedar untuk menyangkalnya, ia hanya menatap Sekar sambil menyerahkan tangan kananya, mengisyaratkan Sekar untuk menggapainya.