Penugasan yang Mengejutkan

1581 Words
"Tahan sebentar. Bernafas pelan..." Ellie menekuk kaki kanan pasiennya, selama sepuluh detik, lalu beralih ke kaki kiri. "Bagaimana Beth? Apakah masih sakit?" Ellie bertanya dengan senyum lebar. Beth sudah mengalami banyak kemajuan. Dia masih belum bisa berdiri, tapi gerakan kakinya sudah lebih luwes. "Tidak. Kau memang terapis jempolan, El. Terima kasih." Beth mengelus pipi Ellie dengan sayang. Wanita itu sudah menjadi pasien Ellie hampir tiga tahun. Wajar jika mereka akrab meski usia mereka jauh berbeda. Ellie 29 tahun, sedangkan Beth sudah hampir tujuh puluh. "Apa Mr. Norad akan datang sebentar lagi?" Ellie mendorong kursi roda Beth keluar dari ruang terapi, menuju ruang tunggu rumah sakit. "Iya. Dia sedang membeli kopi di cafetaria." Beth membaca pesan yang masuk dari suaminya, sambil menjauhkan ponsel dari mata. Dia lupa membawa kacamata baca. "Kenapa kau masih memanggilnya Mr. Norad? Dia menyuruhmu memanggil Luke saja. Kau bisa memanggilku Beth, kenapa tidak untuk Luke?" tanya Beth dengan nada menuntut. Dia kesal karena menurutnya Ellie terlalu kaku. Butuh tiga bulan sebelum Ellie memanggilnya Beth, dan setelah tiga tahun Ellie masih memanggil suaminya dengan nama keluarga. "Baik...Baiklah, Beth. Jangan marah-marah. Kau tahu itu tidak baik, untuk tekanan darahmu." Dengan panik, Ellie menepuk pelan bahu Beth, menenangkan. Alasan Beth duduk di kursi roda adalah karena hipertensi yang memicu stroke. Akan lebih baik jika dia tidak marah-marah seperti itu. Wajah Beth yang menghadap ke depan tersenyum puas. Amarah itu hanyalah sandiwara saja, agar Ellie bisa lebih santai di depan Luke. "Nah... Jadilah gadis manis, dan turuti perempuan tua ini," kata Beth. Nadanya serius, tapi mulutnya tersenyum. Ellie yang ada di belakang mendorong kursi roda sama sekali tidak menyadari hal ini. "Ellie..! Maaf, tapi Dr. Stefan memanggilmu ke ruangan." Salah satu perawat yang bertugas di meja perawat, memanggilnya. "Baik. Terima kasih." Ellie melambai mengerti. Dr. Stefan adalah direktur rumah sakit ini. "Maaf, Beth. Aku tidak bisa mengantar..." "Shh! Aku tahu promosi itu membuatmu sibuk." Beth tersenyum mengelus tangan Ellie, menyuruhnya pergi. Suaminya sebentar lagi akan datang. "Jangan lupa jadwal baru kita ya." Ellie berpesan pada Beth sambil berjalan mendekati lift. Setelah dibalas lambaian tangan, Ellie memencet tombol lift agar terbuka. Kantor Dr. Stefan ada di lantai sepuluh. Ellie bersyukur karena lift itu kosong, dengan begitu dia bisa bersandar santai, sekadar beristirahat. Beth adalah pasien terakhirnya hari ini. Jadwalnya padat sekali, karena rumah sakit ini memang memiliki fasilitas fisioterapi yang cukup terkenal di Inggris. Ellie selalu merasa beruntung bisa bekerja di sini, karena bisa menggunakan ketrampilannya secara lebih maksimal. Pintu lift terbuka, mengagetkan Ellie yang sudah setengah mengantuk. "Hai, Lea! Apa Dr. Stefan di dalam?" Ellie bertanya pada sekretaris yang ada di depan ruangan. Lea mengangguk dan kembali sibuk mengetik. "Terima kasih." Tanpa membuang waktu, Ellie mengetuk pintu kaca berwarna putih hijau di depan Lea. "MASUK!" "Selamat malam, Dokter," sapa Ellie, ceria. "Ellie! Kenapa Lea malah menemukanmu di ruang tunggu? Bukan tugasmu lagi untuk mengantar pasien ke depan. Apa pekerjaanmu sebagai Supervisor Rehabilitasi masih kurang sibuk?" Dr. Stefan tidak repot-repot menjawab sapaan Ellie, langsung mengomel. Tapi itu adalah omelan sayang. Pria separuh baya itu memandang Ellie dengan mata menyipit yang main-main. Ellie tersenyum mendengar teguran itu. "Saya hanya mengantar Beth ke bawah, Doc. Dan dia pasien terakhir saya hari ini," jelas Ellie. Stefan mencibir. "Kau selalu pandai beralasan." "Apa Anda memanggil saya hanya untuk mendengar alasan?" Ellie mengingatkan. Stefan direktur yang rajin, tapi kadang dia terlalu gampang terhanyut dalam percakapan. Jika dibiarkan Stefan bisa betah mengobrol berjam-jam. "Tidak... tentu saja tidak. Sebentar. Kau duduk dulu." Ellie duduk di sofa untuk tamu yang ada di sudut ruangan, melihat Stefan mencari sesuatu di mejanya. Map hijau yang dicarinya, ternyata tertindih oleh jas dokter putih miliknya. "Aku punya penawaran untukmu. Penawaran ini aku berikan padamu, karena aku tahu kau adalah fisioterapis paling handal di sini." Mata Ellie sudah menancap pada map itu, tapi Stefan belum memberikannya. Dia duduk di depan Ellie, sambil menyodorkan sebotol air. "Salah satu temanku mengalami kecelakaan tiga bulan lalu, dan kini dia sedang dalam proses pemulihan. Dia terluka cukup parah dibagian panggul dan kepala. Semua lukanya sudah hampir pulih, tapi masalahnya fungsi motorik kakinya belum kembali. Dia orangnya....sedikit sulit." "Apa dia dirawat di sini?" tanya Ellie. "Tidak, belum pernah. Dia mengalami kecelakaan di Belgia. Dan kini sedang memulihkan diri di rumahnya." "Lalu?" "Aku ingin kau yang melakukan terapi pemulihan fisik padanya, Ellie. Kemampuanmu cukup hebat." "Saya bisa menjadwalkannya untuk hari selasa dan kamis. Hari lain sudah tidak bisa." Ellie setengah mengeluh saat mengatakannya. Jadwalnya sudah benar-benar padat. Seharusnya dia tidak menerima pasien baru lagi, tapi Stefan menyebut ini temannya. Ellie tidak ingin mengecewakan. "Bukan seperti itu. Temanku ini tidak mungkin pergi ke rumah sakit untuk mendapat terapi. Dia itu.... apa ya? Lumayan terkenal. Tidak ada yang boleh tahu tentang keadaannya. Saham perusahaannya bisa-bisa turun drastis jika berita soal kelumpuhannya sampai bocor keluar." Ellie mulai mengerti. Dia harus menjadwalkan panggilan rumah. Bukan hal aneh, rumah sakit ini menyediakan fasilitas untuk perawatan di rumah, bagi pasien yang kesulitan pergi ke rumah sakit. "Di mana alamat rumahnya? Saya akan mengosongkan hari kamis, agar bisa ke sana." Stefan tidak langsung menjawab pertanyaan sederhana itu. Dia memandang Ellie dengan mata bersalah. "Dia tidak di London, maupun Inggris. Tapi di Swedia." Gerakan Ellie membeku, saat mendengar nama negara itu. "Dimana?" "Swedia." Stefan mengulang sambil tersenyum membujuk. "Dengar...aku tahu ini mendadak. Tapi aku ingin kau ke sana dan membantunya pulih, mungkin sekitar enam atau tujuh bulan akan cukup. Semangatnya untuk sembuh cukup tinggi, aku yakin dia akan pulih dengan cepat." Stefan mengira sikap diam Ellie karena penugasan ini mendadak. Tapi dia salah. Ellie diam karena negara itu membuatnya merasa mual. "Dan Raven masih cukup muda, dia baru berusia tiga puluh enam. Dengan fisik......" "SIAPA?! Siapa nama pasiennya?" Ellie memotong penjelasan Stefan. "Raven. Raven Corbin Wycliff." Ellie terhenyak berdiri dari duduknya. Firasat buruk yang melandanya saat Stefan menyebut kata Swedia, seolah menjadi nyata. "Kecelakaan? Bagaimana keadaannya?" "Kau mengenalnya?" Stefan heran mendengar pertanyaan Ellie, apalagi sampai terlihat terguncang. Untung saja Ellie cepat menyadari kesalahannya. "Ah... tidak. Saya hanya pernah membaca soal dirinya beberapa kali. Sepertinya berita soal kecelakaan itu tidak dimuat dimanapun." Ellie berhasil menghindar. Dia duduk kembali sambil berpura-pura merapikan baju. Menutupi kegelisahan. "Demi menjaga stabilitas saham perusahaannya, dia memang harus merahasiakan kecelakaan ini. Dia cukup terkenal, seperti yang aku sebut tadi." Stefan akhirnya meraih map hijau itu, lalu menyerahkannya pada Ellie. "Ini catatan medisnya. Aku sudah memeriksanya dengan detail, dan meninggalkan beberapa catatan tambahan untuk kau tindaklanjuti ketika menyusun daftar latihan fisiknya." Ellie berusaha keras membaca tulisan di atas kertas itu, tapi matanya perlahan mengabur. Ingatan buruk soal kejadian lima tahun lalu, menerornya tanpa ampun. Hanya dengan keajaiban dan tekat kuat, Ellie berhasil menahan air matanya. Stefan tidak menyadari kegundahannya. Dia terus menjelaskan detail kondisi Raven. "Apa harus saya yang mengambil pekerjaan ini?" Ellie akhirnya berani mengajukan keberatan, setelah berhasil menenangkan diri. "Sebenarnya tidak. Tapi kau lihat sendiri, terapis yang bertugas paling tidak harus meninggalkan London selama berbulan-bulan. Dan hanya kau terapis senior yang belum berkeluarga di sini. Aku tidak tega menyuruh terapis lain berpisah begitu lama dengan keluarga mereka." Alasan Stefan sangat tepat. Yang dia tidak tahu, alasan Ellie masih melajang sampai sekarang adalah pria yang sedang mereka bicarakan. "Aku mohon, Ellie. Dia teman lamaku, dan harus merahasiakan keadaannya. Bisa dikatakan rumah sakit ini bisa berdiri karena kebaikannya." Ellie melemparkan pandangan bertanya. Dia tidak pernah tahu jika rumah sakit ini ber-affliasi dengan Wycliff. Jika tahu Ellie tidak akan melamar pekerjaan ke sini. "Rumah sakit ini milikku. Tapi Wycliff membantu membangunnya. Tidakkah kau heran kenapa aku bisa memiliki gedung sebagus ini dalam waktu singkat?" Stefan menunjuk tembok secara acak. Ellie tahu rumah sakit ini memang milik Stefan. Karena itu dia melamar ke sini setelah lulus. Stefan adalah salah satu dosen pengampu di kampus tempatnya kuliah, saat dia mengambil studi fisioterapi. Stefan baik dan sangat peduli terhadap pasiennya. Karena itu Ellie gembira saat empat tahun lalu, Stefan akhirnya mampu membuka rumah sakit sendiri. Siapa yang menyangka jika Raven ada di baliknya. Stefan sendiri juga senang saat Ellie melamar ke sini, karena Ellie termasuk dalam murid yang cerdas, menerimanya dengan tangan terbuka. Kini setelah tiga tahun bekerja di sini, Ellie menjabat sebagai Supervisor fisioterapi, yang membawahi paling tidak lima belas terapis junior. Dan jabatan itu yang membuat Stefan memilihnya. Selain karena status lajang, dia tidak mungkin mengirim terapis junior ke sana. "Akan ada bonus khusus jika kau menerima pekerjaan ini, " tambah Stefan. Mencoba meyakinkan Ellie dengan alasan lain. "Anda tahu saya melakukan pekerjaan ini bukan untuk uang." desis Ellie. "Ini hanya bonus Ellie. Jangan dianggap sebagai penghinaan." Stefan mengangkat kedua tangan, mencegah amarah Ellie. Dia tahu Ellie akan menjadi kabar buruk jika marah. Semua pegawai rumah sakit mengerti jika Ellie penyabar hanya terhadap pasien saja. "Bagaimana dengan pasienku?" Ellie mengeluarkan senjata terakhir. Tapi Stefan menepisnya dengan mudah. "Jangan khawatir. Aku sudah berbicara dengan terapis senior lain. Mereka tidak keberatan membagi semua pasienmu diantara jadwal mereka." Ellie mengeluh dalam hati. Dia menyesal telah berharap. Tentu saja tidak akan ada yang keberatan. Semua penghuni rumah sakit ini akan dengan sukarela menolong siapapun yang disebut teman oleh Stefan. "Kapan saya harus kesana?" Ellie hanya bisa pasrah. Jika dia menolak tanpa alasan Stefan akan curiga. "Dalam beberapa hari ini? Tapi aku ingin kau membuat daftar latihan dan jadwal untuk Raven sebelum berangkat. Aku ingin memeriksanya dulu." Ellie mengangguk. Itu rutinitas biasa. Saat menerima pasien, dia memang harus bisa menyusun terapi jenis apa saja yang dibutuhkan pasien, dan segala kelengkapannya, berdasarkan cacatan medik. Setelah mengambil nafas dalam-dalam, Ellie mulai membaca isi map hijau itu dengan teliti. "Dia buta?" Ellie terkesiap. Dia melewatkan kalimat itu tadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD