bc

CLARISSA (bahasa indonesia)

book_age16+
1.7K
FOLLOW
22.7K
READ
love-triangle
possessive
family
pregnant
manipulative
CEO
single mother
drama
tragedy
first love
like
intro-logo
Blurb

(21+)

Clarissa Maharani harus berjuang demi putranya yang masih berusia 4 tahun. Di usia yang masih remaja ia harus banting tulang untuk biaya kehidupan mereka berdua.

Pernah di Drop Out dari sekolahnya sewaktu SMA karena ketahuan hamil diluar nikah, bahkan ia harus diusir dari rumah orang tuanya, membuat dirinya harus menelan pahitnya masalah kehidupan di usianya yang masih belia. Membesarkan anaknya seorang diri tanpa suami adalah pilihan dalam hidupnya.

Kehidupannya kembali tidak mulus, ketika satu-persatu masalah datang mengiringi langkah menuju masa depan yang baik bersama putranya. Dia yang belum pernah jatuh cinta harus terlibat dengan banyak pria, mulai dari pria yang

mencintainya, sampai pria yang hanya terobsesi padanya.

Clarissa Maharani, bagaimana kehidupannya selanjutnya....

chap-preview
Free preview
Clarissa
“Bunda ....” Suara teriakan itu menggema di setiap sudut ruangan rumah petak kontrakan tersebut, membuat seorang wanita cantik dengan apron di pinggangnya terlonjak kaget mendengarnya. Wanita langsung saja berlari kearah kamar setelah mematikan kompor tentunya. Langkah kakinya berjalan menuju kamar satu-satunya dirumah ini, alisnya mengerenyit bingung melihat putra kesayangannya sedang meringkuk di dalam selimut dengan posisi duduk. Apa yang terjadi. Batinnya. Wanita itu pun melangkah mendekati bocah laki-laki berusia sekitar 4 tahunan tersebut. “Raka kenapa Nak?” tanyanya seraya mengelus kepala putranya yang masih tertutup selimut. Mendengar suara lembut milik sang ibu membuat bocah bernama lengkap Raka Sanjaya itupun mendongak. Anak laki-laki tampan yang memiliki manik mata berwarna hitam legam senada dengan rambut milik anak itu juga pipi yang sedikit cubby menambah kesan menggemaskan dan lucu bagi siapapun yang melihatnya.  Raka menyembulkan kepalanya dari balik selimut menatap wanita cantik dihadapannya dengan tatapan ketakutan. Hal itu sontak membuat wanita cantik tadi ikut terkejut melihatnya.  “Sayang!”  “Bun-nda ada kecoa,” gagap bocah itu terbata-bata matanya sudah berkaca-kaca hampir menangis.  “Kecoa? Dimana sayang?” tanya wanita itu melihat sekeliling kamar berukuran kecil rumah ini. Bocah bernama Raka tersebut menunjuk takut ke samping lemari pakaian mereka yang terbuat dari bahan plastik dengan jari telunjuk mungilnya. Membuat wanita yang dipanggil Bunda tadi berjalan pelan kearah lemari, setelah mendapati hewan yang di takuti putranya. Ia pun segera membuangnya keluar melalui jendela kamar. “Nah sudah Bunda buang kecoanya. Sekarang Raka siap-siap pakai bajunya bunda mau masak lagi sebentar. Boleh?" Ucapnya bertanya, dibalas anggukan si bocah ragu-ragu.  Usai memastikan jika putranya kembali berkemas dan bersiap-siap wanita itu pun beranjak dari dalam kamar menuju dapur kembali. Clarissa Maharani, namanya. Perempuan cantik berusia 19 tahun, tapi di usianya yang masih muda ia nyatanya sudah memiliki seorang putra tampan berusia 4 tahun. Status single parent harus ia sandang meski dirinya belum pernah menikah sekalipun. Melahirkan seorang anak diluar nikah adalah takdir yang harus ia terima dan jalani, bahkan Clarissa harus diusir dari rumah orang tua kandungnya adalah sedikit pelik masalah yang harus wanita itu hadapi di usianya yang saat itu masih sangat remaja dan baru menginjak 15 tahunan.  Perjuangan Clarissa begitu keras kala itu, ia harus berjuang mempertahankan janinnya yang tidak berdosa dalam rahimnya sampai akhirnya ia berhasil melahirkan seorang anak laki-laki tampan pelita hatinya. Saat ini Clarissa sudah bekerja di salah satu kafe terkenal di Ibu Kota, Cafe Coffee Theory.                                                                                        **** Kini ibu dan anak itu sudah duduk beralaskan tikar plastik bergambar karakter mobil. “Bunda masak apa?" Suara khas anak kecil terdengar siapa lagi kalau bukan Raka Sanjaya, putranya. “Hmm apa ya,” sahut Clarissa berpura-pura berpikir, membuat bocah di depannya mengerucutkan bibirnya lucu.  “Ayo Raka tebak. Bunda masak apa?" lanjutnya sambil terkekeh pelan, tangannya terulur mencolek dagu putranya yang kini sedang cemberut di dekatnya gemas. “Nggak mau,” jawab Raka merajuk.  Bocah itu memalingkan wajah, tapi matanya tetap mencuri-curi pandang ke arah tudung saji berwarna merah di depannya penasaran. “Coba tebak dulu Sayang. Kalau Raka bisa menebak. Bunda janji bakalan kasih semuanya buat Raka. Yakin nih nggak mau hmm." Nada usil masih terdengar saat Clarissa kembali berbicara kepada putranya. Tertarik, Raka langsung menatap ibunya berbinar. “Bunda janji," ujar Raka mengacungkan jari kelingking mungilnya kearah Clarissa cepat. Ekspresinya benar-benar polos membuat Clarissa tersenyum melihatnya. Wanita itupun ikut mengaitkan jari kelingking mereka berdua lalu berkata, “Janji sayang”. Sambil mengetuk-ngetuk keningnya, bocah itu mulai berpikir keras menerka apa kira-kira isi masakan yang kini masih tertutup tudung saji tersebut. Tring. Sinyal alarm kepala bocah itu berbunyi, wajahnya berubah cerah seperti mentari pagi. Ketika sebuah nama terlintas dalam benaknya, dengan semangat 45 layaknya anak-anak yang mengikuti acara 17 Agustus-an Raka menjawab sambil mengacungkaan jari telujuknya keatas bergerak-gerak heboh. “Cekel fled chiken!" pekiknya cadel dalam mengucapkan huruf R. Clarissa menahan tawa geli melihatnya. “Betulll … yey Raka hebat.” Gemas, wanita cantik itu mencium kedua pipi putranya membuat bocah itu tersenyum dan tertawa karenanya. Senyum lebar Raka terlihat begitu indah dimata Clarissa, ia bersyukur putranya tumbuh menjadi anak yang pintar, baik, penurut, dan tidak pernah merengek meminta dibelikan ini itu olehnya seolah anak itu mengerti kondisi keuangan ibunya. Putranya pun tidak pernah lagi menanyakan dimana keberadaan ayahnya sebab Clarissa sudah pernah mengatakan jika ayahnya telah tiada sebelum putranya di lahirkan.  Ayah. Entahlah. Apakah pantas bila dirinya memanggil lelaki itu dengan sebutan ‘ayah’ untuk putranya semata wayangnya, di saat dirinya sendiri tidak tahu dimana keberadaan laki-laki itu sekarang. Astaga stop memikirkannya Clarissa. batinnya menggeleng keras. "Cekel. Cekel. Cekel." Suara girang Raka menariknya wanita itu kembali dari lamunan tentang sosok itu, Clarissa ikut tersenyum menatap putranya yang begitu bersemangat mendapati makanan favoritnya tersebut.  Lihatlah. Kini bocah itu bahkan sudah makan dengan begitu lahapnya hanya dengan lauk beberapa potong ceker ayam yang ia goreng dengan tepung. Tidak dapat dipungkiri, Clarissa juga merasa sangat bersyukur karena Raka tidak pernah mengeluh ataupun protes ketika dirinya lebih sering memasak ceker ayam daripada d**a ataupun paha ayam.  Sebuah pemikiran sempat terlintas dalam benaknya, membuat Clarissa tersenyum miris dalam hati. Seandainya, ya benar. Seandainya sosok itu ada sekarang dan tahu tentang Raka putranya. Mungkinkah? Raka tidak akan hidup pas-pasan bersamanya dan yang pasti putranya itu bisa makan-makanan yang enak setiap hari tanpa bingung memilih. Bukan karena ia tidak bisa membelinya, Clarissa harus pintar membagi keuangan untuk semua kebutuhan mereka.  Wanita itu pun segera menggeleng keras mengenyahkan pikiran anehnya yang hinggap tadi cepat. Tidak tidak tidak. Batinnya menolak.  Kalau Raka putranya tidak ada, lalu untuk apa dirinya hidup. Bagi Clarissa. Putranya adalah belahan jiwanya, separuh nyawanya, pelita hatinya dan satu-satu keluarga yang ia miliki selain orang tua angkatnya. Memikirkan kata ‘Keluarga’ mengingatkan dirinya dengan kedua orangtua kandungnya. Ma Pa bagaimana kabar kalian. Lirihnya miris.                                                                            ***** Clarissa dan Raka sudah bersiap untuk berangkat menuju sekolah PAUD Raka yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah kontrakannya keduanya. Karena hari ini adalah hari pertama bagi putranya menuntut ilmu. Mereka sudah menaiki motor matic berwarna hitam milik kafe tempat dimana ia bekerja. Walau sebenarnya motor ini adalah pemberian dari pemilik kafe untuknya. Tapi Clarissa tidak ingin menerimanya begitu saja. Ibu Sari pemilik kafe yang baik hati itu terus saja memaksanya, bahkan membawa nama Raka putranya agar dirinya mau memakai motor tersebut. Dengan amat terpaksa Clarissa menerima dan memakainya. Dirinya hanya berharap bisa menjaga motor itu dengan baik, karena jika rusak Clarissa takut tidak bisa menggantinya. Pemilik kafe sampai sekarang begitu baik dengannya, bahkan sejak awal pertemuan mereka dirinya sudah dianggap seperti anak mereka sendiri dan kini Raka putranya juga dianggap seperti cucu mereka sendiri. Clarissa benar-benar bersyukur. Flashback on. 4 tahun yang lalu. Clarissa berjalan gontai di trotoar, ia menangis dalam diam sambil memeluk perutnya yang mulai membesar dibalik seragam longgarnya. Dirinya baru saja diusir oleh ayah kandungnya sendiri. Semua bermula ketika keluarganya mengetahui tentang kehamilan yang susah payah ia sembunyikan dan kini kehamilan itu sudah memasuki usia 5 bulan. Dengan seragam sekolah kebesaran miliknya, tidak lupa sweater rajut berwarna pink buatan khusus ibunya sebagai hadiah ulang tahun masih melekat di tubuhnya yang semakin berisi. Kakinya terus melangkah tidak pasti, raut bingungnya menemani remaja berbadan dua tersebut menembus kegelapan malam. Pikirannya melayang ke kejadian beberapa saat lalu ketika bersama kedua orang tuanya. “SIAPA CLARISSA.” Bentak Adit Baskara ayahnya dengan suara menggelegar. Urat tegang pria paruh baya itu tampak menonjol jelas. Clarissa hanya terisak duduk dilantai, merunduk seraya menggeleng kepala pelan. Tangannya terus memeluk erat perutnya sendiri dengan pipi yang sudah basah oleh air mata.  Adit di buat semakin murka melihat kebungkaman putri satu-satunya. Wajahnya bertambah merah padam urat-uratnya menonjol dan tegang menahan amarah yang siap ia muntahkan pada putri kebanggaannya. “JAWAB ANAK BODOH.”  Percuma lagi lagi Clarissa tidak menjawab gadis itu hanya diam membisu dan menangis tanpa suara. Grep.  Clarissa terlonjak saat Adit menarik tangannya paksa, hingga dirinya berhasil di buat berdiri tegap menghadap wajah murka sang ayah. “Jawab," desis Adit geram. Clarissa kembali menggeleng kaku dan sedetik kemudian pipinya terhuyung kesamping dengan kasar. PLAK. Suara tamparan itu begitu keras terdengar, membuat sudut bibir gadis remaja yang sejak tadi hanya diam membisu akhirnya mengeluarkan darah segar. Kepalanya seketika pusing dan matanya berkunang-kunang efek tamparan dari ayahnya. Lihat betapa besar tenaga Adit ayahnya yang tengah murka karenanya, tapi ia memilih tetap diam tanpa memberitahukan semua kenyataan yang sebenarnya. Bahkan jika dirinya memberitahu siapa ayah bayinya apa mereka bisa meminta pertanggung jawaban darinya, sedangkan yang ia tahu orang itu …. Tidak. Gelengnya. Saat ini. Clarissa hanya bisa pasrah menerima konsekuensinya. Jadi, wajar baginya jika sang ayah menjadi murka seperti sekarang. Laki-laki yang sejak dulu merupakan panutan baginya bahkan cinta pertamanya di keluarga menjadi marah, kecewa, dan malu terhadap dirinya saat ini. Melihat bagaimana putri kebanggaan satu-satunya hamil di luar nikah membuat harga Adit sebagai seorang ayah sudah terluka, dan Adit yakin mereka melimpahkan kesalahan ini pada cara mendidiknya.  Adit berusaha mengatur nafasnya yang memburu, rasanya ia ingin membunuh semua orang sekarang. “Sayang bilang sama Mama siapa yang sudah menghamili kamu Nak. Jangan takut.” Suara di iringi isak tangis lirih wanita paruh baya yang terduduk lemas di sofa menyentak kesadaran Clarissa. Ia menoleh melihat Tiara Putriani ibunya tengah memandang penuh harap kearahnya. Beliau berharap putrinya mau sedikit bercerita. Ia yakin jika suaminya akan memaafkan putri mereka jika Clarissa mau memberitahu siapa lelaki yang sudah menghamilinya. Clarissa menggeleng kepala pelan lagi dengan raut bersalah, telapak tangan gemetarnya mengusap perutnya yang mulai sedikit kram. Clarissa di landa cemas dan ia berharap janinnya baik-baik saja. Di tempat duduknya Tiara memandang putrinya tidak percaya. Mengapa putrinya tetap tidak mau bersuara sebagai seorang ibu  Tiara hanya ingin membantu anak satu-satunya dari amarah suaminya kini. Tiara memang kaget ketika mendapat kabar putrinya di Drop Out secara paksa dari sekolah disaat anaknya itu baru sekolah kelas 1 SMA, dan kenyataan mengejutkan lagi ketika mereka mengatakan alasan putrinya di keluarkan dari sana adalah bahwa ternyata putrinya sedang hamil. HAMIL. Baik Tiara dan suaminya sama sekali tidak mengetahui hal itu. Tapi Tiara juga tahu jika posisi putrinya jauh lebih terpuruk sekarang. Bagaimana putrinya berusaha terlihat baik-baik di hadapan orang lain walau nyatanya tubuh remaja itu tengah menanggung beban sendirian selama ini. Tiara merasa gagal sebagai seorang ibu. Ia ingin merengkuh putrinya, anak kesayangannya, putri kebanggaannya itu dan meminta maaf. “Clarissa sayang. Mama mohon,” bujuknya putus asa. Clarissa terdiam. Sedih melihat orangtuanya memohon seperti itu. Tapi ia juga tidak bisa berbicara, lidahnya terasa kelu dan kebas membuat Clarissa hanya terus merapalkan kata maaf dalam hati kepada keduanya.  Adit bertambah murka melihat tingkah anaknya ini. Hingga tanpa aba-aba pria paruh baya itu menarik tangan putrinya kasar berjalan kearah pintu, bahkan teriakan sang istri yang memanggil namanya berulang-ulang tidak ia gubris sama sekali. “Mas! Mas Adit jangan Mas ….” pekik Tiara dengan tubuh luruh lunglai terduduk lemas diatas lantai. Beliau sudah tidak sanggup berjalan lagi tenaganya sudah habis, menangisi nasib putri kesayangannya. Clarissa meringis kesakitan, ayahnya ternyata tidak main-main menyeretnya dengan sepenuh tenaga pria paruh baya itu. Brak. Hentakkan kasar ayahnya membuat Clarissa tersungkur di lantai teras rumahnya, ia meringis lagi bukan karena pergelangan tangannya tapi perutnya yang semakin kram. “Pergi dari rumah ini. Jangan pernah kembali lagi. Kamu sudah bukan anak saya. Sana. Cepat pergi,” ucapnya dengan nada dingin membuat Clarissa tertegun. Jantungnya terasa nyeri mendengar ucapan sang ayah rasanya seperti nyawanya di cabut paksa oleh malaikat. Kepala Clarissa mengenadah menatap lelaki paruh baya yang kini tengah menatapnya dengan datar, binar kehangatan itu tidak ada lagi tergantikan dengan kekecewaan untuknya. Papa. Batin Clarissa menjerit. Lewat ekor matanya gadis remaja itu mengintip kearah belakang tubuh sang ayah, samar Clarissa melihat ibunya terduduk di lantai sambil terisak, ingin rasanya dirinya berlari memeluk erat tubuh ibunya lalu berkata bahwa dirinya baik-baik saja serta meminta maaf atas semua dosa yang ia perbuat, atas rasa kecewa yang ia beri, atas rasa malu yang sudah ia torehkan diwajah kedua orangtuanya. Dengan susah payah Clarissa mencoba berdiri, ia berjalan gontai kearah pagar gerbang rumahnya. Sebelum sampai diluar Clarissa menoleh menatap kearah rumah keluarganya, tidak ada Adit disana karena pintu utama sudah tertutup rapat. Otaknya mulai merekam semua kenangan membahagiakan bersama kedua orang tuanya, dihati dan pikirannya untuk selama-lamanya. Mama Papa jaga diri kalian baik-baik. Maafin Clarissa. Lirihnya menjerit.  Tin tin tin. Bruk. Clarissa terlonjak kaget, ia jatuh terduduk di atas aspal.  Deg.  Jantungnya berdetak cepat kala perutnya tegang hebat disusul rasa sakit di bawah perutnya membuat Clarissa meringis sakit dengan peluh mulai membajiri sekitar pelipisnya. Kepala gadis remaja itu berkunang-kunang. Ia langsung memeluk perutnya erat bersamaan erangan sakit lirih. “Shhh.” Clarissa mencoba kembali berdiri. Namun, denyutan di kepala dan rasa nyeri di sekitar perutnya membuat gadis itu kembali terjatuh duduk, pandangan mengabur hingga akhirnya Clarissa pingsan tidak sadarkan diri di aspal dingin malam itu. Sedangkan sepasang suami istri yang masih berada didalam mobil dibuat terkejut bukan main, mereka buru-buru keluar dari dalam mobil yang mereka kemudi menghampiri gadis remaja berseragam SMA yang hampir mereka tabrak tadi. “Astaga. Bangun, Nak. Nak,” seru sosok pria paruh baya yang usianya kira-kira sekitar 45 tahunan. Sedangkan wanita paruh baya yang juga berdiri disebelahnya itupun tiba-tiba berseru panik.  "Astaga Mas darah!” Tunjuknya kearah kaki gadis remaja itu. Si pria paruh baya itu ikut terlonjak kaget, dengan sigap dan ccepat beliau mengendong remaja tadi masuk ke dalam mobil, kemudian melajukan mobil miliknya dengan kecepatan di atas rata-rata menuju rumah sakit terdekat. Setelahnya. Ruang UGD. Raut cemas menyelimuti keheningan di koridor rumah sakit. Kini sepasang suami istri tadi tengah duduk di kursi panjang koridor sedang menunggu dokter memeriksa kondisi gadis remaja yang pingsan tadi. Selang berapa lama dokter keluar dari ruangan bertulis UGD, pria dengan setelan jas putih itu berjalan menghampiri keduanya. “Gimana keadaannya, Dok?” sergah si wanita paruh baya khawatir.  Sang dokter tersenyum tipis membalas, “Ibu sama Bapak tenang saja, gadis tadi tidak apa-apa. Mungkin karena terlalu stress membuat ia mengalami sedikit pendarahan kecil. Syukurlah janinnya tidak apa-apa.” papar beliau tenang. “Janin," cicit pasangan suami istri itu saling bertukar pandangan. Mereka sama sekali tidak tahu jika anak perempuan yang mereka tolong tadi sedang hamil. “Tunggu dulu Dok. Maksud Dokter gadis tadi sedang hamil. Begitu Dok.”  Mengangguk, “Benar Pak. Dan usia kandungannya sudah memasuki 5  bulan,” jelasnya. Keduanya menggeleng tidak percaya. Bagaimana mungkin. Tubuh kecil remaja itu rupanya sedang mengandung dan bahkan sudah menginjak usia 5 bulan. Helaan nafas pendek terdengar dari pasangan tersebut. Mereka merasa kasihan dan sedih secara bersamaan. Setelahnya sang dokter pamit undur diri untuk memeriksa pasien yang lain, namun sebelum benar-benar pergi dokter mengatakan jika pasien nanti akan di pindahkan keruang rawat terlebih dahulu dan mereka baru bisa menemuinya ketika sudah selesai. Seperti sekarang sepasang paruh baya tadi hanya bisa duduk dalam diam di sofa kamar rawat inap. Si wanita paruh baya menatap iba gadis remaja yang kini terbaring lemah di atas brankar dengan selang infus ditangannya. Gadis itu belum siuman, mungkin efek obat tidur dari dokter tadi. “Mas,” Suara lembut wanita paruh baya itu memecah keheningan. “Kenapa Ma.” “Mas. Gimana kalo kita--” ucapnya ragu seraya menoleh kearah brankar dimana gadis itu masih terbaring lemas, pria paruh baya di sampingnya ikut menoleh kearah yang dimaksud sang istri. Mengerti maksud istri tercintanya ia pun menganggukkan kepala setuju, sontak saja membuat wajah sang istri berubah cerah ia tersenyum senang memeluk suami tercinta. “Makasih Mas.” "Iya Sayang." “Enngghh.” Lenguhan suara lemah itu membuat keduanya refleks menoleh kearah sumber suara, mereka berjalan cepat ke arah brankar. “Syukurlah. Kamu sudah sadar Nak,” ucap beliau bernada lega dan senang, tangannya mengusap surai rambut panjang gadis itu penuh kelembutan. Sedangkan Clarissa yang belum sepenuhnya membuka mata hanya melenguh pelan. Usapan di atas kepalanya membuat Clarissa membuka matanya perlahan. Rasa nyeri di kepala sedikit menghantamnya. Ia mengerang kecil. Alis gadis itu menukik dalam saat melihat sosok wanita paruh baya cantik tengah tersenyum kearahnya dengan tatapan hangat. Gadis itu kembali teringat kedua orangtuanya. Mama. Batinnya.  “Hei, kamu tidak apa-apa Nak?” Nada khawatir terdengar begitu indah untuk Clarissa di sana, matanya berkaca-kaca haru ketika melihat masih ada orang yang khawatir dan peduli akan kondisinya. “A--air.”  Wanita paruh baya itu dengan sigap mengambil botol air mineral dan sedotan yang ada di atas meja, ia memegang botol itu cekatan penuh hati-hati ketika memberi gadis itu minum. “Nama kamu siapa Nak?” Suara lain dengan nada bariton tegas terdengar membuat Clarissa menoleh ke arah suara. “Nama saya, Clarissa Maharani Om.”  Wajah binar orang di samping membuat Clarissa mengerenyit bingung.  “Wah nama kita sama sayang. Kenalin nama tante, Sari Maharani dan ini suami tante Toni Wijaya.” papar Sari seraya menunjuk suaminya yang berdiri di sisi lain brankar yang mengangguk kecil. Clarissa mengangguk ia tersenyum tipis mendengarnya. “Maaf Om Tante sebelumnya. Kenapa saya ada disini.”  "Kami minta maaf juga sebelumnya ya Sayang. Kamu tadi pingsan di jalan, karena kami hampir saja menabrak kamu.” sesal Sari merasa bersalah. Deg.  Bayiku. Batinnya. Astaga bagaimana dengan bayinya. Clarissa bergerak panik detik berikutnya ia menyibak selimut kesamping cepat, lalu menghela napas lega ketika melihat perutnya yang besar masih terlihat. “Hei, tenang Sayang. Janin kamu baik-baik saja. Dia baik-baik saja Nak.” Clarissa mendesah pelan, “Maaf Om Tante sudah merepotkan kalian.” “Kamu jangan ngomong seperti itu Nak. Om Tante yang seharusnya bilang maaf sama kamu. Karena kami hampir saja bikin kamu kehilangan jagoan kamu.” "Jagoan," cicit Clarissa terperangah di tempatnya. Sari mengangguk semangat, “Ya Sayang. Jagoan. Bayi kamu laki-laki Nak” jelasnya. Manik Clarissa berbinar haru menatap perutnya. Akhirnya ia bisa mengetahui jenis kelamin bayinya. Anaknya laki-laki dan baik-baik saja.  Terimakasih Nak. Ucapnya dalam hati penuh syukur. “Nak Clarissa. Begini Sayang, Om sama Tante ingin mengajak kamu tinggal dengan kami. Bagaimana? Kamu mau Nak?” Toni bertanya penuh hati-hati. “Ikut sama kami ya sayang. Kamu mau kan jadi anak kami.” “Tapi saya--” Flashback off. “Bunda ....” teriakan membahana putranya dari belakang punggungnya menyadarkan wanita cantik itu dari lamunan masa lalunya.  Ia menoleh mendapati wajah menekuk putranya di jok belakang motor. Clarissa meringis, “Maaf ya Nak.” Ujarnya mengusap surai putranya lembut.  “Pakai helmnya dulu ya Sayang.”  Raka masih terlihat cemberut, Clarissa tersenyum kikuk. Ia mulai menjalankan motornya melewati deretam perkarangan rumah kontrakan disana. Clarissa menghembuskan napasnya panjang, mencoba menghilangkan bayang bayang kelam masa lalu. Ayo semangat Clarissa demi Raka. Batinnya.                                  ***** Tbc___

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Sepenggal Kisah Gama ( Indonesia )

read
5.0M
bc

CUTE PUMPKIN & THE BADBOY ( INDONESIA )

read
112.5K
bc

Long Road

read
118.3K
bc

DIA UNTUK KAMU

read
35.3K
bc

DIA, SI PREMAN KAMPUSKU ( INDONESIA )

read
471.2K
bc

Beautiful Madness (Indonesia)

read
220.4K
bc

Sweetest Diandra

read
70.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook