02 | Behind The Glasses

2542 Words
Sudah hampir dua jam berlalu Vale menunggu seorang diri di CaféVe. Ah, tidak. Sebenarnya ia tidak benar-benar sendiri. Banyak pengunjung datang ke kafe ini. Hanya saja kali ini ia merasa sepi. Para sahabatnya tidak dapat ikut serta menemani. Tapi itu bukan alasan yang dapat mengurungkan niatnya. Vale harus menemui lelaki itu! Ya, lelaki bernama singkat itu. Vano. Vale sontak menoleh saat suara pintu diiringi dentingan bel khas kafe itu terdengar, menandakan adanya pengunjung yang datang. Senyuman mengembang terukir di bibir gadis itu, mendapati seseorang yang telah menyita waktu dan pikiran akhirnya datang. Namun, senyumnya memudar seketika melihat wanita yang sama seperti kemarin datang bersamanya. Ah, tentu saja. Bagaimana mungkin Vano bisa datang sendirian? Tapi siapa wanita itu? Terlihat tampak lebih dewasa dari Vano. Huh, pasti kekasihnya. Jelas saja, karena keadaan Vano yang seolah menuntut lelaki itu untuk memiliki kekasih yang penyabar dan berpikir lebih dewasa darinya. Ya, mungkin seperti itu. Oh, astaga! Tujuan utamanya ke sini adalah meminta maaf pada Vano. Bukan mengurusi teka-teki cinta lelaki itu! Vale yang hendak beranjak dari posisi duduknya, bertekad untuk menghampiri lelaki itu, lantas mengurungkan niatnya kembali. Ia takut kekasih lelaki itu akan salah paham. Vale bergidik membayangkan perang adu mulut antara keduanya atau bahkan sampai mengacak-acak rambut?! No way! Sampai seorang wanita pemilik kafe itu menghampiri mereka. Ketiganya terlihat begitu akrab. Seolah takdir mengerti keadaannya, wanita itu mengajak kekasih Vano pergi menjauh dari lelaki itu. Entah untuk apa, Vale tidak mengetahuinya. Yang pasti ini adalah kesempatan bagus! Ia mempunyai peluang besar untuk menghampiri Vano. Vale memang senang dirinya memiliki kesempatan, tapi perasaan itu tidak mampu menutupi keresahan di hatinya. Tidak ingin membuang banyak waktu, Vale berusaha menghampiri lelaki itu dengan penuh rasa percaya diri seperti biasa. Tapi tak dapat dipungkiri jika dirinya turut menjinjing sekeping keraguan. *** “Yang mana, Aunt?” “Yang itu… Tuh!” Eve menunjuk salah satu gadis cantik yang bergegas menghampiri Vano. Pandangan Tasya lantas mengikuti arah yang di tunjuk oleh Tante Eve. “Gadis yang sama seperti kemarin?” Tasya mengernyit samar. Eve mengangguk mantap. “Bukankah kemarin sudah mendapat penolakan?” Alisnya yang terbentuk rapi pun bertaut. Tasya terkekeh kecil. “Lihat saja Aunt, apa yang akan dilakukannya.” “Tasya…” Bibir Eve mendekat ke arah telinga Tasya yang mencondongkan badan. Wanita itu membisikkan sebuah rencana kecil. Tasya tersenyum geli akan rencana bibinya tersebut. “Jadi aku harus berpura-pura sibuk?” lirih Tasya dengan senyuman geli di wajahnya. “Tentu. Aku hanya ingin melihat seberapa besar usaha gadis itu. Kau tahu, seorang gadis akan menjadi pemalu jika ada orang lain di antaranya, Tasya. Aku merasakannya dulu.” Tasya mengangguk. “Aku mengerti.” *** “Hai.” Suara itu. Vano masih mengingat suara itu. Vano mengernyitkan dahinya seraya menoleh ke depan. Vale tersenyum tipis melihatnya. Padahal kini ia masih berdiri di samping Vano. Bukan tengah duduk dengan rasa tidak tahu malu di hadapan lelaki itu. “Ada apa?” Vano masih memandang kehadapannya dan berbicara pada sofa tak berpenghuni. Vale yang melihat itu tersenyum canggung. Ia berlutut, menyejajarkan dagunya pada pinggiran meja di hadapannya. Kemudian Vale menyentuh rahang yang terpahat nyaris sempurna milik Vano dan mengarahkan wajah lelaki itu padanya. “Aku di sini,” ujarnya lirih. Bahkan terdengar sangat lembut, selembut sentuhannya pada wajah lelaki itu. “Aku ingin meminta maaf soal yang kemarin…” Vale menahan napasnya. Ia benar-benar gugup! “A-aku… Maaf, aku tidak tahu keadaan-mu. Ta-tapi, kalau kau belum puas dengan permintaan maaf dariku ini, kau boleh menghinaku kembali. Tidak masalah, aku akan menerimanya,” ujar gadis itu bersungguh-sungguh. Ini adalah permintaan maaf teraneh yang pernah diucapkan. Entah mengapa saat dirinya tengah bersama lelaki itu, Vale merasa dirinya berbeda. Lelaki itu seolah telah menyabotase otaknya. Pikiran Vale seakan mendadak tak bisa berfungsi dengan baik. “Apa yang dapat kukatakan, sementara keadaan-ku tidak memungkinkan untuk menilaimu, hm?” Tanya Vano seraya mengangkat kedua alisnya. Oh, bagus! Lelaki itu bahkan sukses membuat Vale semakin merasa bersalah! “K-kalau begitu… Ng, katakan saja aku pendek. Ya! Tidak masalah, aku mengakui fakta itu. Aku tidak akan marah.” Untukmu, lanjut batinnya tanpa sadar. Vale mengangguk seraya meyakinkan dirinya. Ya, mungkin tak ada salahnya. Setidaknya, hanya satu kekurangannya saja yang terkuak, meluncur dengan begitu ringan dari bibir gadis itu pada lelaki di hadapanya saat ini. Selebihnya, tidak akan! “Pendek,” tukas lelaki itu. “Yah, berarti kita imp—” “Kurcaci, Liliput…” “Woah! Tunggu, aku tidak sependek itu! Apa tidak ada ide yang lebih bagus untukku?” Vale menghela napasnya. “Seperti TinkerBell dan Thumbelina, hm?” Sebelah alisnya terangkat. “Kurasa kau tidak memiliki serbuk peri maupun sayap untuk terbang. Dan tentunya, kau tidak sekecil ini.” Vano mengacungkan ibu jarinya seraya menampilkan seringai Vale mendengus kesal, bibir ranumnya mengerucut. Vano terkekeh. Bukan. Bukan karena reaksi Vale, tapi karena Vale yang tidak lagi terdengar membalas gurauannya. Vano menang. Ingin bertaruh dengannya? Gadis itu memang tengah kesal dengan Vano. Namun, tanpa disadarinya saat itu juga Vale bersumpah, ralat, bahkan sangat bersumpah bila Vano benar-benar tampan! “Kalau dengan menghinaku dapat membuatmu tertawa, tidak masalah bagiku sekarang,” gumamnya tanpa sadar. Vano yang menyadari itu langsung mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Begitupun dengan Vale yang lantas membungkam mulutnya dengan telapak tangan. “Aku tidak diajarkan untuk menghina seseorang,” ujar Vano seraya meralat dalam hati, tidak diajarkan menyakiti orang lain, apalagi seorang perempuan. “Memangnya ada guru yang mengajarkan seseorang untuk menghina?” Vale menyengir lebar, lantas meringis pelan menyadari gurauannya yang terdengar begitu renyah. Vano berdecak pelan. “Gadis bodoh.” “Nah, kau menghinaku, ya. Dasar pembohong!” Vale melipat kedua tangannya di depan d**a, menampakan wajah merengut khasnya. Ya, walaupun Vano tidak dapat melihatnya, bukan lagi masalah untuk gadis itu. Karena dengan begitu Vale dapat mengamati wajah tampan lelaki itu sesuka hati tanpa perlu mempermalukan dirinya sendiri, bukan? Vale menggeleng kuat, mengenyahkan pikiran itu seraya menepuk dahinya pelan. Dering ponsel Vano membuyarkan lamunannya. Vano merogoh saku kemejanya, meraba-raba tombol ponselnya yang terlihat kuno. Kini ia memandangi wajah tampan Vano yang sedang berbicara dengan orang di seberang sana. Wajah yang terlihat tampan –masih– dengan di hiasi kacamata hitam, membuat jantungnya berdegup cepat tak menentu. Oh, gosh! Ada apa denganku? “Kau pulang dengan apa?” Pertanyaan Vano membuat jantung Vale semakin berdegup kencang. Semoga Vano tidak mendengarkanmu! Rutuk batinnya, terlebih pada jantungnya sendiri. Namun, untuk apa Vano menanyakan hal seperti itu? Apa ia ingin Vale pulang bersama dengannya? Oh astaga! Bagaimana kau bisa melupakan keadaannya Vale! Kalaupun pulang bersama, berdua saja, mungkin Vale yang akan mengemudikan kendaraannya. Oh tidak masalah, asal bersama lelaki itu atmosfer dalam mobilnya pasti akan terasa hangat nantinya. Woops! Oh astaga! Ada apa dengan jalan pikiranmu, Vale! “Valecia?” Rasanya jantung ini sudah tidak bertoleransi lagi denganku! Vale menarik napasnya dalam, kemudian mengembuskannya perlahan. “Ya? Ng… aku naik mobil.” “Bus atau angkutan umum?” Vale langsung mendesis. “Tentu saja mobil pribadiku!” Vano memanggut. “Boleh aku menumpang? Ini sebagai permintaan maaf darimu saja.” Vale tercengang. “Apa? Bukankah sebelumnya kau sudah memaafkanku? Bahkan kau sudah menghinaku. Jadi kita sudah impas,” jelasnya seolah tengah bermain dengan teman sebayanya di masa kanak-kanak. “Memangnya dengan begitu artinya aku memaafkanmu? Bahkan belum ada kesepakatan yang terucap dariku bahwa aku telah memaafkanmu, bukan?” Vano menyeringai puas. Vale memutarkan kedua bola matanya. “Hah, sudahlah. Ayo!” Gadis itu lantas memutar tubuhnya, seraya melengos pergi. “Hey Valecia, bantu aku!” seru Vano. Vale menghela napas panjang. “Iyaya… Baiklah. Iya!” Tapi tak urung gadis itu mengulum senyum. Vale melingkarkan kedua tangannya di lengan besar Vano. Posisi seperti itu berhasil membuat darahnya berdesir hebat. Anehnya rasa ini membuatnya begitu nyaman. *** “Mobil apa yang kutumpangi ini? Keras sekali kursinya!” “Jangan mencela terus ih!” Vano tidak henti-hentinya mengomentari mobil Vale yang kini di tumpanginya. Begitu pun dengan Vale yang tidak henti-hentinya mencibir kata-kata pedas yang di lontarkan Vano untuk Kitty, mobilnya. Banyak sekali yang mengomentari selera uniknya. Dari sekian mobil terbaik, terbagus, dan termahal, mengapa gadis itu memilih VW beetle? Jawabannya hanya satu, akibat krisis ekonomi! Namun, seandainya saja ia mendapat sebuah mobil Volvo sepeti yang dikemudikan si tampan Edward Cullen dalam film Twilight secara gratis pun, dia akan tetap memilih bersama Kitty, si hijau imut menggemaskan yang selalu setia. Oh, demi Tuhan! Jangan membandingkan Kitty dengan mobil Tuan Bean! “Ng… Vano, boleh aku bertanya sesuatu padamu?” tanya Vale berhati-hati, takut menyinggung lelaki itu sedikit saja atas apa yang telah diucapkannya. “Tanya saja, aku tidak melarang. Tapi jangan salahkan aku jika pertanyaanmu yang membuatku tidak dapat menjawabnya,” balas Vano dengan ringan. Bibirnya mengerucut. “Hmmm… Kau tidak pulang bersama pacarmu?” Vale menggigit bibir bawahnya. Ini benar-benar membuatnya gugup! “Eh, maksudku begini, bagaimana kalau dia menunggumu? Bukankah tadi dia hanya izin sebentar padamu untuk berbicara dengan pemilik kafe itu?” Vano menautkan alisnya. “Bagaimana kau tahu?” “A-ak… Aku… Aaah! Sudahlah, jawab saja. Kau ini banyak bertanya sekali!” sungut Vale, gemas. Bagaimana jika Vano mengira atau bahkan mengetahui bila sejak kedatangan lelaki itu beserta kekasihnya di kafe, Vale sudah menajamkan telinga dan mata ke arah keduanya. Vale yakin, wajahnya telah matang saat ini! “Bukankah kau yang banyak bertanya, Nona?” Sebelah alis lelaki itu terangkat. Vale melotot penuh ke arahnya. Genggaman pada roda kemudi mobilnya mengerat. Berhadapan dengan lelaki itu benar-benar menguras tenaga! Bahkan tanpa bergerak sedikit pun, saat ini Vale sudah merasa lelah seolah telah bekerja banting tulang seharian penuh. Oh, tidak. Itu berlebihan. “Dia bukan kekasihku.” Pernyataan itu sanggup membuat kedua mata Vale membulat penuh, seraya menolehkan kepalanya dengan cepat. Nyaris saja lehernya terputus karena gerakan spontanitas itu. “Dia Kakakku. Dan soal mengapa aku tidak pulang bersamanya karena dia ada keperluan dengan Renza, suaminya.” Vale memanggut-manggut mendengar penjelasan dari lelaki itu. Tanpa disadarinya ia mengulum senyum. “Baiklah. Katakan di mana kau tinggal sekarang!” *** “Sampai di sini saja.” Vale melepas rangkulannya pada lengan Vano dengan perasaan kecewa. “Kau tidak menawarkanku masuk kedalam?” Terdengar sedikit nada merajuk dari Vale saat mengucapkannya. Terkesan manja. Mengapa juga ia harus bersikap seperti itu? Astaga! Vale ingin langsung berkumur dan membersihkan mulutnya sekarang juga! “Kau ingin masuk?” Vano mengangkat sebelah alisnya. “Boleh?” tanyanya dengan mata berbinar. “Tidak.” Bibirnya lantas memaju kecil. “Ya sudah. Aku pulang kalau begitu.” Terdengar nada kecewa dalam ucapannya. Sekali lagi, Vale merutuki diri sendiri. Ia berharap Vano menahannya. Oh, mungkinkah? Baru ia akan melangkah berlalu dengan bahu terkulai lesu, lengan kokoh itu terentang di hadapannya. Menghalangi jalannya. “Masuklah,” ujar Vano singkat, tapi sanggup menggetarkan hati gadis itu. Senyum merekah Vale tersungging di bibir yang ranumnya. Begitu memesona bagi siapa pun yang—dapat—melihatnya. *** “Kau ingin minum apa?” “Memang adanya apa saja?” “Ada air mineral dan air mentah saja.” Vale terbelalak. “Tidak sekalian kau menawarkanku air mendidih?!” Bibirnya mengerucut seraya mendengus. Vano terkekeh mendengarnya. “Ide yang bagus. Sayangnya, di mana letak panci maupun kompornya saja aku tidak tahu, Valecia.” Ia menarik sudut bibirnya samar. Vale terkesiap. Ia mengusap tengkuknya, tersenyum canggung menanggapi kalimat itu. Oh, astaga Valecia! Mengapa kau sering sekali membuat orang tersinggung?! “O-oh, ya sudah. Kalau begitu biar aku saja yang membuatnya,” ujarnya seraya berlalu melewati Vano yang segera menahan sikunya. Membuat sengatan listrik tercipta dalam diri gadis itu akibat sentuhan Vano di lengannya. “Kau benar akan membuat air mendidih?” Lelaki itu mengernyit dalam. Walaupun Vano tidak menghadap tepat di wajahnya, dapat dipastikan wajahnya sangat teramat menghibur. Vale tergelak. Ia tertawa sambil memegangi perutnya yang terasa begitu geli. “Kau lucu sekali, Vano. Kau benar-benar ingin aku membuat air mendidih?” ujarnya di sela tawa gelinya. “Oh, jangan katakan jika kau ingin membuat lidahku mati rasa. Dasar kejam!” guraunya, tidak mampu menghilangkan sisa senyuman geli di wajahya. “Berhenti tertawa, Valecia! Terserah apa yang ingin kau buat, semuanya berada dalam dapur. Sementara aku ingin ke kamar dahulu.” Vano berlalu dengan tatapan Vale yang tak lepas mengamati punggung lebar lelaki itu. Dengan pipi yang merona, Vale berusaha menghalau kupu-kupu di perutnya dan bergegas membuat minuman untuk diri sendiri. *** “Apa yang kau buat, hm? Mengapa lama sekali,” gerutu Vano, curiga. Posisi gadis itu kini tengah memunggunginya. Suara berat itu diyakininya adalah milik Vano. Tentu, siapa lagi memangnya? Oh bagus! Sekarang ia melupakan Dave dalam sekejap. Semudah itukah? Mungkin saja. Mengingat ‘siapa’ yang kini membuatnya terpesona. Hentikan Vale! Ia menggeleng samar, memukul pelan dahinya. Vale membalikan tubuhnya. “Aku membu—” Kalimatnya seolah menggantung di udara. Bibir ranumnya terbuka. Vale begitu tertegun dengan apa yang di lihatnya saat ini. Vano berdiri tepat di hadapannya. Tubuhnya begitu tinggi menjulang. Kacamata hitam yang selalu membingkai kedua mata itu, kini tidak lagi dikenakannya. Menampilkan sorot yang tajam dari kedua mata hitam yang menatap kosong hal di hadapannya. Wajah lelaki itu benar-benar tampan, bahkan nyaris menjadikan ia sosok sempurna. Garis-garis tegas yang terukir begitu menawan tanpa cela di wajahnya semakin membuat Vale tak mampu berkutik. “V-Vano?” Vano menggumam samar menjawab pertanyaannya. “Bagaimana?” Sebelah alisnya terangkat. “Ba-bagaimana apanya?” Vale mengusap hidungnya yang terasa gatal. Aroma maskulin yang menyeruak dari tubuh tegap itu seakan mampu membuat indra penciumannya tak berfungsi dengan baik saat ini. Oh, tunggu! Ada apa dengan suaranya? Semoga Vano tidak menyadari kegugupannya. Jaraknya dengan lelaki itu sangat dekat, Vale ingin mengambil langkah mundur namun apalah daya, counter di belakang menghalanginya. Pinggul Vale sudah membentur pinggirannya. “Minuman yang ingin kau buat, sudah selesai?” Vano mengulangi pertanyaannya. “S-su-sudah,” balas gadis itu dengan suara terbata-bata. “Kau terdengar gugup.” Vano menautkan alisnya. “Ah? Oh, tidak. Tidak, Vano. Hanya perasaanmu saja mungkin.” Vale mengibaskan tangannya di udara, lantas mengusap tengkuknya. Ia harus mengontrol degup jantungnya. Dalam jarak sedekat ini, bukan tidak mungkin Vano akan mendengarkan dengan jelas bunyi detak jantungnya yang sangat memalukan! “Ini, aku buatkan minuman untukmu. O-oh iya, aku harus pulang Vano. Maaf bila aku merepotkanmu ya.” Vale memberikan sebuah cangkir dalam genggamannya pada Vano dan terburu-buru mengambil langkah berlalu.  “Sampai jumpa!” seru gadis itu saat berada di ambang pintu. Vano mengernyitkan dahi. Ada yang salah dengannya. Mungkin ia memang tunanetra, tapi ia bukan tunarungu! Ia masih bisa mendengar dengan jelas kalimat demi kalimat Valecia yang di lontarkan gadis itu secara terbata-bata. Mungkinkah gadis itu gugup karenanya? Jika benar, sepertinya Vano akan sedikit menyukainya. Tidak, tentu tidak. Ia hanya bergurau. Vano benar-benar tidak tahu apa yang dirasakannya saat ini, maupun setiap bersama dengan gadis itu. Apa pengaruh gadis itu terhadapnya? Jangan bertanya, karena Vano pun tidak mengerti bagaimana perasaannya. Sebuah alasan dirinya menjadi lebih dekat dengan Vale, akibat gadis itu yang selalu meluangkan waktu untuk menemuinya. Benar-benar luar biasa bukan? Setidaknya untuk dirinya sendiri. Ia mengangkat dengan perlahan cangkir yang di berikan oleh gadis itu. Menghirup dalam-dalam aroma yang mengurai dari dalam wadah sebelum menyesapnya perlahan. Kopi? Valecia membuatkan kopi untuknya. Dan rasanya tidak terlalu buruk. Sudah jelas bukan? Vano tidak ingin mengakuinya. Mengakui kenyataan akan aroma dan rasa kopi yang dibuat gadis itu. Sudut bibirnya tertarik.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD