03 | The Eyes

1895 Words
Vale gelisah. Ia terus membolak-balik tubuhnya seperti adonan dalam minyak panas. Perasaannya tidak menentu. Entahlah, sepertinya kasur yang selalu setia bermanja-manja dengannya kali ini terasa tidak nyaman. Seakan enggan membuat Vale terlelap dan berhenti memikirkan wajah tampan Vano. Gosh! Vale memukul pelan guling yang berada dalam dekapannya. Bagaimana mungkin ia mengira benda dalam dekapannya itu adalah Vano! Wajah Vano yang tersenyum tanpa kacamata yang selalu dikenakan lelaki itu. Menyembunyikan kedua mata yang terlihat begitu tajam dan indah. Vale terduduk dengan perasaan resah yang tidak kunjung hilang. Apakah mungkin ia merasakan hal yang sama kembali saat bersama Dave? Bahkan ia baru mengenal Vano dan belum terdapat alasan kuat untuk membuktikan detak jantungnya yang berdebar setiap bersama lelaki itu. Vano, lelaki itu mempunyai kekurangan yang tidak biasa. Ralat, Vale tidak pernah berdekatan dengan siapa pun yang mempunyai batasan. Tidak, ia tidak menjauhi siapa pun yang mempunyai kekurangan seperti Vano maupun keterbatasan lainnya. Hanya saja ia tidak ingin membuat orang tersinggung karenanya, baik secara verbal maupun non verbal, baik secara sadar maupun tanpa disadari. Dan sebuah pengecualian hadir pada lelaki ini. Entahlah, menurutnya Vano adalah orang yang asyik. Sangat berbeda. Bahkan, justru karena “keadaannya” itulah yang membuat Vale merasa ingin mengetahui segala hal tentang lelaki itu. Namun, menjaga perasaan orang lain adalah hal utama yang patut disegani. Ia tidak ingin lelaki itu merasa kurang atau bahkan tidak merasa nyaman bersamanya. Bersamanya? Sepertinya ia akan kembali ke CaféVe, besok. *** Vano meraba-raba tempat tidurnya, mencari ponsel tua nan kuno yang membuatnya terusik akibat jeritannya. “Halo?” “Vano, apa kau sudah tidur?” “Lalu siapa yang mengangkat telepon darimu, hm?” Vano mendengus pelan. Terkadang, usaha Tasya untuk sekadar berbasa-basi tidaklah hebat. Terdengar tawa kecil dari seberang. “Baiklah, aku hanya ingin memberi tahumu. Hari ini aku pulang ke rumah,” jelas wanita itu. Ke rumah? Tentu. Tempat tinggal tetapnya kini adalah rumah Renza, suaminya. Sementara rumah yang ditempatkan oleh Vano adalah rumah peninggalan kedua orangtua mereka. Rumah yang begitu besar, membuat Vano merasa sepi karena hanya dihuni oleh dirinya seorang. Vano dan Tasya memang telah bersepakat untuk tidak menjual rumah itu. Terlalu banyak kenangan untuk mereka hiraukan begitu saja. Lagipula, Vano telah mengetahui seluk beluk interior bangunan itu tanpa perlu ‘melihat’-nya. Ia sudah hafal diluar kepala, di mana saja tempat dan ruangan dalam rumah itu. Tasya tidak pernah mengubah letak tempatnya. Ya, kecuali peralatan serta perlengkapan berbau dapur yang sering digunakan wanita itu tanpa pernah tersentuh oleh Vano, setelah peristiwa itu. “…kau janji akan baik-baik saja, kan, Vano? Mungkin aku tidak bisa menemanimu selama tiga hari ini kurang lebih. Aku perlu mengurusi Renza yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya akhir-akhir ini. Dia terlihat begitu kacau, aku sangat berharap kau mengerti.” “Kau tahu aku telah melewati masa balita, Tasya.” “Akan ku usahakan untuk menemuimu secepat mungkin.” “Ya.” Vano meletakkan ponselnya kembali. Hari tanpa Tasya. Tanpa seseorang yang menemaninya. Sepertinya ia benar-benar akan merasakan hal yang sama seperti narapidana yang di kurung dalam sel tahanan. Lain halnya, ruang yang ia tempatkan adalah rumah layaknya sebuah istana. Bukan ruangan yang dibatasi oleh jeruji besi. Dan lelaki itu dapat keluar kapan pun yang ia inginkan. Tapi justru keadaannyalah yang membuat Vano mau-tak-mau harus menetap dalam gelapnya sepi. Vano mendesis. Bagaimana caranya jika besok ia ingin kembali lagi ke kafe milik Tante Eve… tanpa Tasya? *** Vale memandang pintu CaféVe dengan kecewa. Sepertinya ia datang terlalu cepat. Ah, bahkan masih terlalu pagi. Ia melirik arloji yang melingkar manis di pergelangan tangannya. Benar. Jarum pendek itu masih tetap setia bertengger pada angka delapan! Sementara jarum panjang begitu terasa lamban untuk mengejar waktu dengan berputar lebih cepat. Apa sekarang Kitty mulai secepat Roller-Coaster? Tidak. Sepertinya tidak. Mungkin karena gadis itu tanpa disadarinya merasa begitu semangat. Mengingat tujuannya kali ini berbeda, tidak biasa. Vale menyisir helaian rambutnya dengan jari. Ia memantapkan niatnya sebelum akhirnya kembali tancap gas. Memutar arah tujuan. *** Vano terbangun dengan erangan kesal begitu mendengar suara ketukan pintu rumahnya yang teramat mengusik! Bisakah dia menekan bel saja?! batinnya kesal. Tunggu dulu. Siapa “dia” yang dimaksud? Apakah urusan Tasya sudah selesai? Ah, sepertinya belum. Karena bila benar dugaannya, wanita itu akan menghubunginya kembali. Tapi mengapa harus membangunkannya di pagi buta seperti ini?! Ah, lagi-lagi tunggu! Memangnya pukul berapa sekarang? Sayangnya ia tidak mampu mengetahui waktu dengan melihat benda-bundar-berdetak itu! Miris. Oh, apakah Tasya ingin membuat kejutan untuknya? Sungguh? Ya, ini kejutan teraneh yang pernah kau buat Tasya. Gerutu batinnya kesal. Vano turun melewati tangga ke lantai dasar dengan perlahan. Ia benar-benar kesal! Ketukan pada pintu yang tidak berjeda itu membuatnya nyaris terjatuh dari tangga. Bagaimana bisa dengan kegelapan gulita yang menyelimuti pengelihatannya, ia dapat meniti di atas banyaknya anak tangga dengan begitu lihai?! Kau bercanda?! Bahkan Vano harus meraba-raba dengan gemas dan tidak jarang memaki pada anak tangga yang tak bersalah di atas pijakannya. Vano benar-benar merutuki Tasya atau siapa pun itu tanpa ampun dalam batinnya! Vano meraba pintu, menemukan kunci yang masih menggantung lantas memutarnya. “Hai.” Sapaan yang begitu khas di telinganya terdengar begitu pintu itu terbuka. “Bisakah kau bertamu ke rumah orang dengan sopan, Nona? Tekan saja bel yang telah tersedia. Tidak perlu bertindak seperti pengusik!” tukas Vano dengan raut wajah datar namun kedua matanya menajam dalam kegelapan yang hanya mampu dilihatnya. Mulut Vale menganga lebar, kemudian mengatup rapat. Gadis itu bahkan berupaya keras menelan ludahnya. Keheningan yang tercipta di antaranya, lantas membuat Vano mengernyit. “Valecia?” Panggil lelaki itu dengan kelembutan suara yang terdengar sangat berbeda dengan kalimat tajam sebelumnya sontak kembali menyadarkan Vale. Vale tersenyum mengalah. “Maaf,” ujarnya sedikit kikuk. “Aku sudah menekan bel terlebih dahulu sebelumnya, tapi kau tidak kunjung menyahutiku. Ng… apa aku telah mengganggu waktumu?” “Ya.” Vano ini! Tidak bisakah ia berpura-pura untuk tidak terganggu dengan gadis yang rela memutuskan mimpi indahnya bertemu pangeran hanya untuk bertemu dengannya? Oh, tunggu. Bukankah pangeran yang dimaksudnya adalah Vano sendiri? Vale menggeleng kuat, sampai-sampai ia merasa kepalanya hampir terputus! “Apa kau akan pulang?” tanya Vano, datar. Vale tertegun mendengarnya. Astaga, benarkah lelaki itu tega mengusirnya? Ke mana hati nurani seorang Vano! “Kau mengusirku?” Vale mendongak, menatap kedua mata—yang menurutnya—indah milik Vano yang tak membalasnya. “Tidak. Masuklah,” ujar lelaki itu, lembut. Vale mengulum senyuman manis dibuatnya. Menurutnya, lelaki dihadapannya ini tercipta dengan penuh kejutan. Dan karena tindakannya itulah yang membuat hati Vale terkadang mencelus. Tapi tak urung seulas senyum pun terukir manis setelahnya. Bukan begitu? *** “Kau ingin ke mana?” tanya Vale membuat langkah Vano terhenti. “Baru saja kau mengatakan ingin ke CaféVe? Aku perlu membersihkan diri dan bersiap-siap dulu. Kau tunggu saja, tidak akan lama.” “Ini masih terlalu pagi, Vano. Aku sudah lebih dulu kesana, dan ternyata masih tutup!” Jelas Vale, lantas mengerucutkan bibirnya. Vano tersenyum, memutar tubuhnya ke asal suara. Gadis itu menelan air liurnya dengan susah payah saat dirasa kerongkongannya kering seketika. Oh, hentikan! Jangan tersenyum seperti itu, Vano! “Kau tenang saja. Kapan pun aku datang, pintu kafe itu akan selalu terbuka untukku,” ujar Vano tanpa menyurutkan senyumannya. Dahi gadis itu mengernyit. Dagunya terangkat seraya berkacak pinggang. “Memangnya kau siapa, huh!” gerutu Vale, lantas menjulurkan sedikit lidahnya. Sombong sekali, timpal batinnya.  “Eve, pemilik CaféVe itu adalah Tanteku, Valecia.” Vano menarik sudut bibirnya. Berhasil. Vano sanggup membuat Vale tercengang, bahkan bibir gadis itu sampai terbuka lebar karenanya. Mungkinkah? Mungkinkah selama ini ia tidak menyadari keberadaan Vano? Lelaki itu terlalu menawan untuk dilewatkan. Sudah sangat sering, bahkan nyaris setiap hari bila ia bosan dengan jadwal kuliahnya Vale beserta dengan ketiga temannya selalu ke tempat itu. Tapi ia tidak pernah, tidak sedikit pun melihat Vano di kafe itu, Cafeve. Tempat di mana ia bertemu dengan Dave yang secara tak di sengaja saat itu juga tengah berada di sana, dengan secangkir kopi hitamnya. Dan kini ia bertemu dengan Vano… Awal yang serupa. Akankah menjadi akhir yang sama? “Valecia?” Aha! Kini Vale mengetahui sebuah fakta. Di mana Vano akan selalu menyebutkan namanya dengan bernada lembut saat keheningan menyergap di antara keduanya. Vale menyunggingkan senyuman jahil. Gadis itu melangkah mundur dengan perlahan tanpa suara saat dilihatnya Vano turut melangkah maju, upaya menghapus jarak dengan kening berkerut dalam. “Valecia?” Vano memejamkan matanya seraya mengepalkan jemarinya dengan kuat. “Bersuaralah. Jangan membuatku seperti tunarungu!” bentaknya, keras. Lelaki itu berucap dengan satu tarikan napas, nyaris berteriak karenanya. Ia membenci keheningan seperti itu. Di tambah pada kenyataan bahwa dirinya tidak dapat melihat apa pun di sekitarnya selain kegelapan! Vano takut. Cemas jika secara yang tak terduga, tiba-tiba Tuhan mengambil serta pendengarannya. Vale terkesiap mendengarnya. Ia menggigit bibir bawahnya. “Maaf,” cicit Vale menghentikan gerik tubuh Vano yang terlihat gelisah. “Jangan diulangi,” tukas lelaki itu. Vale memanggut-manggut memahaminya. Walaupun Vano tidak dapat melihat, lelaki itu tahu dan telah menganggap bahwa Vale mengerti karena gadis itu telah dewasa. Ah, tunggu. Memangnya berapa usia gadis itu? “Berapa usiamu?” tanya Vano seraya berjalan ke arah tangga. Mengingat keadaan Vano, Vale menyusul langkahnya berniat membantu lelaki itu. Kedua tangannya melingkar erat pada lengan Vano. Menimbulkan desiran hebat dalam diri gadis itu saat lengannya yang terbuka saling bersentuhan. “Biar kubantu,” ujar Vale tulus. “Kau belum menjawab pertanyaanku, Valecia.” Vano merendahkan nada bicaranya. Terdengar sangat lembut. “Eh? Usiaku baru 22 tahun, Vano. Memangnya kau berapa?” tanya Vale dengan mata berbinar. Ia harus menjaga detak jantungnya. Saat ini wajahnya begitu dekat dengan Vano, bahkan puncak hidung gadis itu nyaris menyentuh rahang yang terpahat nyaris sempurna dihadapannya. “72 tahun.” “WHOA!” Vale terlonjak hebat. Gerakkan spontanitas itu membuat tubuhnya limbung dan nyaris terjungkal ke belakang. Dengan sigap, lelaki itu menahan tangan mungil yang melingkar pada lengannya. “Hati-hati!” seru Vano. Namun Vale tidak mengubris kecemasannya itu. Cemas? Ah, tidak mungkin! “Benarkah? Tapi wajah dan penampilanmu masih terlihat segar, Vano. Ng… mungkin sekitar 30an tahun?” herannya. Alis gadis terangkat tinggi, membuat kelopak matanya turut terbuka lebar. “Kau memercayainya?” Vale ragu, namun tak urung ia mengangguk. Vano merasakan gerakan itu, akibat posisi kepala gadis itu sedikit menyentuh bahunya. Ia meraba kepala gadis itu dan mengetuknya, gemas. “Aw...!” Vano terkekeh. “Terbalik, bodoh! Usiaku baru 27 tahun dan tidak mungkin setua itu.” Vale menyipitkan matanya, bibirnya mengerucut. “Hah, sudahku duga! Leluconmu itu sudah kadaluarsa, Tuan Vano! Tubuhmu itu tidak terlihat rentan dan ringkih seperti seorang Kakek. Wajah seperti ini juga tidak pantas berusia lebih tua dari Dave!” Vale menunjuk puncak hidung Vano dengan bibir memaju. Namun gadis itu lantas mengatupkan bibirnya saat menyadari apa yang baru saja ia bicarakan! “Dave?” Vano mengangkat sebelah alisnya. “Kekasihmu?” Vale lantas berucap syukur dalam batinnya saat mereka telah sampai pada pijakan tangga teratas. “Sampai!” “Baiklah, segera ke kamarmu. Tunggu apa lagi? Aku akan menunggumu di bawah,” lanjutnya dengan napas sedikit memburu. Karena lelah meniti tangga, atau mungkin karena gugup? Entahlah! Vano masih berdiri di tempatnya saat Vale telah berlalu menuruni tangga. Apa dia menghindari pertanyaan itu? Benaknya terasa dihantui oleh pertanyaannya sendiri. “HEY! CEPATLAH!” pekik gadis itu dari lantai dasar seraya berkacak pinggang memandangi punggung Vano yang tak lepas bergeming. Pekikannya mampu mengenyahkan pemikiran dalam benak lelaki itu. Vano berdecak. “Pengusik!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD