Suasana dalam mobil gadis itu saat ini terasa berbeda. Entahlah, Vano ingin membuka mulut, upaya mengawali pembicaraan untuk sekadar bertanya. Pertanyaan yang terus menari dalam benaknya. Namun, ia sedikit ragu. Ah tidak, bahkan lelaki itu sangat penasaran dengan seseorang yang membuat Vale tidak mengindahkan pertanyaannya.
Vale pun begitu. Ia ingin sekali menyemburkan sebuah kalimat yang semakin menggelitik bibirnya untuk membuka mulut, sekadar untuk mencairkan suasana di antara keduanya. Namun ia takut jika lelaki itu akan bertanya tentang Dave.
Oh astaga, kenapa dengan dirinya? Bukankah Dave tidak ada artinya lagi untuk seorang gadis bernama Valecia Rain? Lantas, untuk apa takut untuk mengakui? Toh, bayang-bayang Dave nantinya hanya akan menghantuinya sementara waktu, mengingat lelaki di sampingnya kini-lah yang tak jarang membuatnya sulit tertidur.
Ah sudah, tidak perlu dipikirkan, batinnya. Ingat Valecia? Vano tidak menyukai keheningan. Pasti lelaki itu yang akan memulai percakapan mereka terlebih dahulu…
“Valecia?”
“Gotcha! Sudah kuduga!” pekiknya membuat Vano nyaris berjengit.
“Kau duga? Apa yang sudah kau duga?” Lelaki itu mengerutkan dahinya.
Vale menyengir tak keruan. “Apa kau lapar?” Ia mengusap tengkuknya, kikuk. Gadis itu mencoba mengalihkan pembicaraannya. “Aku ingin makan di tempat yang berbeda.”
“Aku akan mengajakmu ke restoran pamanku. Menu yang tersedia, begitu menggiurkan. Dan kau harus mengetahuinya, Vano, pemandangan di sana sungguh indaaaaah… sekali!” lanjut gadis itu seraya merentangkan sebelah tangan yang terbebas dari stir kemudi saat mengucapkan kata ‘indah’ dengan nada gembira.
Seolah tersentak oleh sebuah kenyataan, Vale menginjak pedal rem dengan mendadak. Bibirnya terkatup rapat. Dilihat dari sudut matanya Vano yang terdiam dengan raut wajah begitu datar. Seandainya lelaki itu melepas kacamatanya, pasti Vale akan dapat melihat kilat kesedihan dalam kedua matanya.
Betapa bodoh dirinya!
Vale berdeham kecil. “Vano, aku tidak bermaksud begitu. Mm… Ma-maksudku, aku hanya…” Gugupnya dengan suara parau.
Vano menoleh sedikit ke arahnya. “Tidak apa. Kau sepertinya belum terbiasa dengan keadaanku,” ujar lelaki itu seraya menekan kata terakhirnya, membuat Vale semakin dihantui rasa tidak enak hati.
Oh Tuhan, beri aku pencerahan!
“Kalau begitu kita putar arah saja ya, bagaimana?” saran gadis itu seraya menggigit bibirnya.
Vano menautkan alisnya. “Bukankah kau merasa lapar? Mengapa harus kembali ke kafe?”
CaféVe memang menyediakan berbagai macam menu ringan yang terasa lezat, menurutnya. Namun, tetap saja ia lebih menyukai makanan rumah atau restoran mahal yang mempunyai menu berat dan membuatnya puas bahkan sampai merasa begah, juga disertai pemandanganyang indah dan tidak membosankan. Atau paling tidak, McDonald’s menurutnya bukan masalah.
Dan sepertinya ia berubah pikiran.
Gadis itu akan membawa Vano ke suatu tempat, di mana lelaki itu akan berterima kasih padanya dan tidak akan melupakan momen tersebut.
Vale mengulum senyum.
***
Vale menutup pintu mobilnya di samping kemudi. Gadis itu menuntun Vano ke sebuah gerbang besar di hadapannya.
“Di mana kita sekarang?” Vano mengernyitkan dahi saat pendengarannya menangkap suara tawa beberapa kecil dari kejauhan.
“Panti Asuhan.”
Senyum Vale memudar saat Vano mengentakkan dengan kasar lengan yang dirangkulnya.
“Pujian yang manis, Nona!” sinis Vano dengan bibir menipis. Lelaki itu berdecak pelan setelahnya.
“Maksudmu?” Dahi gadis itu berkerut samar. Vale benar-benar tidak mengerti apa yang dikatakan lelaki itu.
Vano menarik napas dalam, lantas mengembuskannya dengan kasar. “Kau ingin aku bergabung dengan mereka? Dengan anak-anak yang tidak mempunyai orang tua, sama sepertiku? Kau ingin aku seperti mereka yang tidak memiliki kebahagiaan, hm?” Vano berhenti sejenak karena hati yang bergemuruh. “Kau tidak perlu repot memedulikan keadaanku, Nona. Seluruh kebahagiaanku sesungguhnya telah direnggut paksa dariku,” lanjutnya sarkasme.
“Vano,” lirih Vale, pilu. Bahkan nyaris tak terdengar.
Lagi-lagi ia bertindak salah. Valecia Rain selalu salah. Gadis itu tidak pernah tahu, bahkan ia tidak pernah mengerti keadaan Vano. Apa yang menurutnya baik, belum tentu membuat Vano bahagia. Vale ingin menangis!
“Aku akan pulang sendiri!”
Pelupuknya sudah menampung air mata, lantas membuat pandangannya melebur. Bagaimana bisa lelaki itu pulang tanpa dirinya? Mengingat Vano yang tidak pernah membawa maupun menggunakan tongkat layaknya seorang tunanetra. Ia hanya mengandalkan siapa saja yang tengah bersamanya saat itu, membantu seraya menuntun lelaki itu. Lalu…
Bagaimana kalo terjadi sesuatu?!
Vale berlari kecil menghampiri Vano yang tanpa disadarinya telah berlalu. Gadis itu menghapus jarak antara keduanya. Memeluk erat lelaki itu dari belakang seraya berucap dengan nada memohon. “Jangan marah padaku, kumohon!”
Lelaki itu menghentikan langkahnya. Vano terkesiap dengan apa yang dilakukan Valecia padanya. Tubuh lelaki itu seakan membeku saat sepasang lengan milik gadis itu melingkar begitu erat di perutnya. Vano merasakan punggungnya basah. Dengan samar ia dapat merasakan tubuh gadis itu bergetar.
Valecia menangis?
“Vano, jika memang aku bersalah, beri tahu aku. Jangan marahi aku. Kumohon, jangan menjauhiku!” ujar gadis itu di sela tangisnya.
“Kau sudah dewasa.”
“Aku tahu, aku tahu! Tapi aku merasa tidak seperti mereka. Maksudku anak-anak itu. Mereka dapat berpikir lebih dewasa untuk masa depannya, sementara aku tidak! Mereka juga memiliki keinginan kuat untuk menjadi apa yang mereka inginkan, sementara aku tidak tahu apa yang aku inginkan kelak, Vano! Jangan salahkan aku, jika aku masih bertingkah layaknya anak seusia mereka.
“Aku hanya ingin kau dekat dengan mereka, Vano. Bukan karena aku menghinamu, tapi karena aku ingin kau mengetahui suatu hal, bahwa kau lebih beruntung dibanding dengan mereka. Perlu kau pahami kembali bahwa kau masih memiliki orang-orang yang menyayangimu Vano, sementara mereka… Mereka hanya hidup dengan kasih sayang terhadap sesama teman.” Vale berupaya keras menahan isak tangisnya saat menjelaskan alasannya tersebut.
Rahangnya yang sempat mengeras, kini kembali terlihat normal. Lelaki itu tertegun mendengar pernyataan gadis yang kini tengah memeluknya dengan berurai air mata.
Vano melepaskan kedua tangan yang melingkar erat di perutnya dengan lembut. Ia memutar tubuhnya, menghadap gadis itu. Dengan perlahan ia menggapai udara dihadapannya, lantas menyentuh kepala gadis itu dan merengkuh tubuhnya begitu erat tanpa celah. Terhirup olehnya aroma buah segar yang tercium pada puncak kepala gadis dalam dekapnya. Lelaki itu lantas mengecupnya ringan.
“Maaf. Maafkan aku, Valecia.”
Sungguh. Ia tidak tahu akan maksud baik dari rencana gadis itu membawanya ke tempat itu. Ia hanya mengikuti logika yang terlintas di pikirannya saat itu.
“Sssh… Sudahlah.” Vano mengusap lembut punggung gadis itu.
Vale melepaskan rengkuhannya seraya mendongak menatap lelaki itu. “Kau memaafkanku?”
“Seharusnya kau yang memaafkanku, Valecia. Aku berterimakasih padamu untuk ini,” ucap Vano dengan ketulusan yang terlihat di balik senyumannya.
“Kau ingin masuk?”
“Ya,” jawab Vano mantap, lantas membuat Vale tersenyum.
“Baiklah. Ayo!” ujarnya bersemangat.
Vano menahan rangkulan gadis itu pada lengannya, membuat Vale mengenyitkan dahi. “Kenapa?”
Vano melepaskan kacamata yang bertengger dihidungnya, menampilkan mata hitam yang begitu tajam namun terlihat memesona. Tindakan itu sanggup membuat Vale tercengang, bahkan mulutnya –tanpa sadar– sedikit terbuka. Kembali terulang, debaran d**a yang berdegup terlalu bersemangat pada jantungnya, tidak pernah berpihak kepadanya di saat-saat seperti ini!
“Kau membutuhkan ini,” Vano menyerahkan kacamata hitam miliknya pada gadis itu, membuat Vale mengernyitkan dahi. “Apa kau menginginkan mereka segera mengusirku akibat telah membuatmu seperti ini? Ku yakin matamu itu sekarang terlihat sembab,” lanjutnya seolah dapat mengerti akan ketidakpahaman yang terpampang jelas di wajah Vale, juga keheningan yang diciptakan gadis itu.
“Tapi, bagaimana… denganmu?” Vale ragu melanjutkan pertanyaannya.
Vano memahami pertanyaan itu. “Kau sendiri yang mengatakannya, bahwa aku lebih beruntung, bukan? Jadi, biarlah mereka mengetahui ‘keadaan’-ku. Dengan begitu, mereka akan menyadari, kebahagiaan bukan hanya di nilai dari apa yang kita miliki, tapi juga apa yang kita rasakan.”
Vale mengulum senyum termanisnya. Menatap penuh arti pada lelaki yang tidak menyadarinya.
Ehm, sesungguhnya, Vale tidak begitu memahami maksud Vano. Bodoh! Tapi tentu saja, ia dapat melihat ketulusan Vano saat mengucapkan kalimat panjang dan memiliki makna berharga itu. Vale tertawa kecil mendengarnya serta mengingat kebodohannya.
Ia meraih kacamata itu dan mengenakannya. “Yup! Dengan begini lebih baik. Terimakasih, Vano.”
Sudut bibirnya tertarik, penuh arti.
***
Berjalan-jalan seharian penuh bersama Vale sepertinya mampu membuat otot-otot wajahnya mengendur. Ia merasa lebih rileks. Bersama dengan gadis itu, Valecia, dapat membuatnya berubah. Ralat, dapat mengubah wajahnya dengan berbagai ekspresi. Entahlah, kali ini pikiran dan perasaannya tidak sependapat.
Vano merebahkan tubuhnya ke ranjang. Menjadikan kedua lengan sebagai alas kepalanya. Memandangi ruang gelap gulita itu seolah tengah menatap langit-langit kamarnya yang berwarna hitam.
Valecia Rain.
Namanya bagaikan hujan yang turun saat terik matahari memancari bumi. Memberi keteduhan bagi hati dan pikirannya.
Vale memang tidak hebat dalam mengutarakan segala sesuatu untuk membuat orang lain merasa tersanjung karenanya. Tapi perilaku dan tindakannya membuat, jujur saja, Vano terharu bahkan begitu mengesankan. Sejak peristiwa itu, ketika dunia hitam dengan kegelapan menguasai indra pengelihatannya, ia hanya mengenal ‘rumah sakit’.
Menurutnya, hanya di sanalah, tempat di mana orang-orang yang berlalu lalang tidak menaruh peduli terhadap kondisinya. Tentunya, karena banyak orang di sana yang terlihat lebih ironis dibandingkan dengan dirinya sendiri. Tempat di mana semua benda berwarna putih, namun tidak dalam pandangannya yang justru terlihat sebaliknya. Atau boleh dikatakan, tidak ada yang dapat terlihat olehnya. Miris.
Namun di sanalah, tempat di mana ia bisa menjadi apa adanya.
Dan kini, saat ia mengenal gadis itu, Valecia Rain. Vano mengenal sebuah tempat yang dihuni oleh para anak yatim-piatu. Anak-anak kecil tak berdosa yang telah di tinggal pergi oleh kedua orang tuanya. Oleh kebahagiaan utuh mereka.
Jujur saja, lelaki itu sempat kesal dengan Vale yang secara tiba-tiba membawanya kesana. Logika yang terlintas dalam benaknya lantas membuat darahnya mendidih. Membuat dirinya… Ah! Vano membenci dirinya sendiri mengingat hal itu!
Lelaki itu kembali teringat saat Vale menangis. Gadis itu memeluknya dengan erat seolah enggan melepaskannya, menciptakan celah antara keduanya. Dalam relung hatinya, ia seolah merasakan butir-butiran pasir yang membeku di dalamnya. Membuatnya merasa sesak dengan sendirinya.
Bagaimana mungkin? Apakah dirinya memang mulai merasakan hal yang hampir tidak dikenalnya selama ini?