FELIX - 7

1662 Words
Alena mencoba menenangkan degup jantungnya yang tak karuan, dengan menarik napas sedalam-dalamnya dan memasukan oksigen sebayak-banyaknya ke dalam rongga dadanya. Alena berusaha untuk tetap tenang, menyingkirkan kegelisahannya selama satu jam ke depan sementara Patrick dihujani banyak pertanyaan oleh Rudolf. Alena tak dapat menampik ketampanan Rudolf yang kian memancar dengan rambut coklat dan Rudolf mengenakan setelan yang membuatnya terlihat berkuasa. Alena kagum dengan pertahanan Patrick di bawah d******i dan intimidasi Rudolf sepanjang pertemuan berlangsung. Tekanan-tekanan yang dikerahkan Rudolf bagi Alena terasa menyiksa. Rudolf yang belum berubah dengan d******i yang selalu ia tunjukan. Rudolf yang menggambarkan kesempurnaan pria. Tampan, berkuasa dan d******i. Alena tenggelam dalam dunianya yang tiba-tiba berguncang hebat, terasa bagaikan lorong waktu yang menariknya kembali dan tak ada jalan untuk kembali saat ini. “Aku akan meninjau ulang proposal yang kau ajukan Griffith. Apa yang menurutmu penting dan menguntungkan untuk aku jadikan pertimbangan melakukan akuisisi ini, Alena?” Spontan Alena mengerjap dan Rudolf sepenuhnya membuat Alena terkejut. Lamunan Alena menguap seketika, bayangan sosok Rudolf di kepalanya menghilang berganti dengan Rudolf yang nyata, yang membuatnya hilang kendali pada dirinya. “Maaf? Aku…” Tatapan mata Rudolf sangat tajam menghujam langsung ke dalam mata Alena. Rasanya seakan seluruh hatinya di arahkan pada Alena yang duduk tak jauh darinya. Kursi Rudolf menghadap Alena langsung. Rudolf meletakkan lengannya di permukaan meja, jemarinya mengetuk-ngetuk meja dengan irama yang teratur, entah mengapa pandangan mata Alena tertuju pada jemari itu dan pemandangan kulit sekitar pergelangan tangan Rudolf. Alena mulai merasakan perasaan bagaimana kulit Rudolf mengenai kulitnya dan jemari itu pernah berada di dalam dirinya. Rudolf yang….seksi. “Di antara semua informasi dan konsep yang diberikan Patrick, mana yang menurutmu dapat aku jadikan bahan pertimbangan yang menguntungkan dan kau menyukainya, Ms. Harris?” Pertanyaan yang sekali lagi diajukan Rudolf dengan intonasi suara yang terdengar teratur dan lugas. Keduanya bertatapan. Alena berpikir keras sementara Rudolf menanti jawaban yang akan meluncur dari bibir Alena yang begitu ingin ia cium.   “Menurutku…. Semuanya bisa dijadikan pertimbangan. Konsep untuk ke depannya hebat.” Wajah Rudolf berubah datar, ia mengerutkan keningnya, menatap Alena dengan curiga. “Kau takut mengatakan kebenarannya, Alena?” “Maksud … Anda?” Suara Alena berubah waspada, ia melirik Patrick yang duduk di sampingnya yang seakan mencari sekutu untuk mempertahankan diri dari serangan intimidasi yang diluncurkan Rudolf. “Kau butuh ruang untuk mengatakannya hanya padaku?” Rudolf bertanya sambil melirik Patrick sekilas lalu sebelum sepenuhnya menatap Alena. Alena merasakan tenggorokannya sakit saat menelan ludah. Manik matanya bertemu dengan manik mata Rudolf. Terang-terangan tanpa peduli dengan keberadaan Patrick di antara mereka. “Apa kau bisa tinggalkan kami berdua, Pat----” “Aku baru saja mengatakan yang sejujurnya, Sir.” Sela Alena cepat sebelum Patrick benar-benar mengangkat bokongnya dari atas kursi yang didudukinya. “Semua konsep yang ditawarkan dan keuntungan yang Anda harapkan semua tergambar dengan jelas dan sudah di sampaikan dengan baik. Tapi saya tidak tahu jika Anda---” “Aku suka kau melihat semua ini dari sudut pandang yang sama denganku, Alena.” Rudolf berdiri dari kursinya sambil mengancingkan jasnya. Menjulang di hadapan Alena yang menatapnya dengan mata membulat. “Kau sudah mendapatkan persetujuan dariku, Patrick. Kita akan membicarakan hal ini lagi minggu depan.” Alena merasa semua berjalan begitu cepat dan ia masih tercengang dengan segalanya. Alena memberanikan diri untuk melirik Patrick yang tampak terkejut, kebingungan bercampur kegembiraan yang terlihat jelas. Alena berdiri dan berjalan lebih dulu ke arah pintu, dan ia sangat menyadari jika Rudolf berjalan di sampingnya dan jarak mereka begitu dekat. Cara Rudolf bergerak masih tetap sama dengan yang Alena ingat beberapa tahun lalu. Keanggunan seperti hewan dan keangkuhan yang membuatnya terlihat begitu menggairahkan. Saraf di tubuh Alena berkedut. Tatapan mata Rudolf tak pernah lepas dari sosok Alena yang begitu dekat dengannya. Wanita yang membuat tahun-tahunnya terasa gila, bayangan malam-malam mereka berkelebat dalam kepala Rudolf. Aroma tubuh Alena yang bercampur dengan parfume yang masih sama, membuat Rudolf ingin menerjangnya, dan warna rona bibir Alena yang lembut membuat Rudolf berusaha keras menahan hasratnya untuk melumat bibir Alena. Rudolf tetap berjalan mendampingi Alena sampai ke depan lift, berbincang sedikit dengan Patrick tentang pertandingan basket semalam. Tapi tidak dengan Alena. Ia terpaku pada pesona pria masa lalunya. Rudolf lebih tampan dan matang.  Ketika lift terbuka di depan mereka, Alena sempat mendesah dengan perasaan lega dan ia bergerak cepat untuk maju mendahului Patrick. “Alena.” Rudolf memanggil namanya sambil menahan sikunya. “Dia akan menyusulmu nanti, Patrick,” lanjut Rudolf pada Patrick sambil membawa Alena keluar dari lift dan Patrick hanya mengangguk pelan ketika pintu lift tertutup di depan mereka, menyisakan kebingungan dan rasa waspada yang menghentak dalam diri Alena. Rudolf hanya menatap Alena sampai lift benar-benar turun meninggalkannya. Alena merasa ingin segera pergi, tatapan mata Rudolf yang menghujam, menusuk hingga ke dalam jantungnya, terasa menyesakkan, membuatnya merasa mati perlahan. “Tuhan mempertemukan kita lagi, Alena sayang.” Suara berat Rudolf yang membuat Alena bergidik. Alena menelan ludah, mengumpulkan sisa keberaniannya untuk menatap langsung Rudolf. “Ya, kau benar.” Alena hanya mampu berkata singkat. Senyum miring khas Rudolf terlihat jelas di hadapan Alena. “Kau tahu, betapa aku menunggu pertemuan denganmu, Mrs. Martinez.” Suara Rudolf saat menyebutkan nama belakang Alena kini, membuat mata indah Alena membulat dan napasnya tersekat, menatap Rudolf yang mengatupkan rahang dengan keras, wajahnya berubah kaku dan dingin, tatapan matanya yang lebih tajam dari beberapa detik sebelumnya. “Apa yang kau inginkan, Felix?” tanya Alena menyerupai desisan. “Aku ingin kau menjelaskan semuanya padaku, Alena,” ucap Rudolf menuntut dan dibalas dengan lugas dan cepat oleh Alena, “Tak ada yang perlu aku jelaskan, Felix.” Tatapan keduanya bertemu pada satu titik. Napas keduanya memburu dan letupan emosi dari jejak masa lalu siap membakar keduanya. Alena merasakan sesak, ia menarik napas dan menghebuskannya dengan kasar. Rudolf bergerak mendekat, menghapus jarak di antara keduanya dan meraih lengan Alena yang ramping, tak ada jalan menjauh bagi Alena, hanya dinding dan pintu lift yang tertutup. Alena menekankan ujung jari telunjuknya pada tombol turun lift. “Aku tidak akan pernah melepaskan apa yang sudah menjadi milikku, Alena.” “Tapi aku bukan lagi milikmu, Felix.” Pintu lift terbuka di belakang Alena dan ia langsung menggeser tubuhnya untuk masuk disusul Rudolf, menempatkan Alena dalam kurungan lengan kekarnya. Alena merasakan hasrat dalam dirinya yang berpijar. “Apa yang akan kau lakukan, Felix?” Suara Alena terdengar gemetar. Rudolf menundukan kepalanya, menempelkan bibirnya pada lekukan leher Alena. Saat itulah napas Alena tersangkut. Aroma tubuh Alena bagai candu yang memabukan bagi Felix. Ia begitu mendamba wanita yang ada dalam kungkungan lengan berototnya. “Aku akan menjemputmu pukul lima.” Lidah Rudolf membelai nadi yang berdenyut liar di leher Alena, membuatnya luluh dan kian terasa melemahkan saat Rudolf menariknya kian mendekat. Alena berpegang pada bahu kokoh Rudolf dengan gerakan refleks. “Harum tubuhmu masih sama, Alena. Dan aku suka mengetahui hal itu,” bisik Rudolf dengan suara serak, membuat tubuh Alena berkedut. “Aku tidak akan membiarkan kau melakukannya, Felix.” “Terlambat, Alena sayang.” Saat Alena membuka mulutnya untuk memprotes, Rudolf telah lebih dulu menempelkan bibirnya ke bibir Alena, membawanya dalam ciuman basah yang menggiurkan. Lidah Rudolf membelai pelan pada awalnya dan menggoda yang membuat Alena ingin merasakan sensasi masa lalu itu kembali. Alena mencoba untuk menekan reaksi tubuhnya pada tubuh Rudolf, namun seluruh saraf dalam tubuh Alena terasa mengkhianatinya. Tangan Alena terangkat ke rambut Rudolf sambil melengkungkan tubuhnya dalam pelukan pria seksi di hadapannya. “Felix---” Suara dentingan pintu lift dan tangan Rudolf mengapai tombol yang menghentikan pintu lift untuk terbuka. Keduanya bertatapan begitu dekat dengan napas naik-turun tak beraturan. “Aku tidak akan membiarkan kau melakukannya padaku.” Senyum miring itu kembali muncul di wajah tampan Rudolf. Seringaian penuh misteri. “Aku akan membayar semua rasa rindumu padaku, Alena.” “Kau sudah gila, Felix,” maki Alena sambil mendorong tubuh Rudolf untuk menjauh sebelum ia menyambar tombol pada lift dan membuat pintu lift terbuka. Maria Molar ada di hadapan mereka, membuat Alena membeku untuk beberapa detik sebelum ia melangkah. “Hi, Maria,” sapa Alena dan ia beranjak keluar dari dalam lift tanpa menoleh lagi, meninggalkan Rudolf di belakang langkahnya. Alena terus berjalan dengan langkah lebar dan cepat untuk segera sampai di bilik kerjanya, namun Patrick telah menunggunya. Ia berjalan mondar-mandir. “Apa yang terjadi, Alena?” tanya Patrick cemas dengan raut wajah yang bingung. “Aku juga tidak tahu,” sahut Alena sambil terus berjalan melewati Patrick. Yang Alena inginkan saat ini hanya menghilang. Menjauh dari sosok Rudolf Felix.  “Demi Tuhan, Alena. Ini---” Alena menghentikan langkahnya, berhadapan dengan Patrick.  “Aku tidak tahu dan aku….” Jeda sebentar, Alena menggigit bibirnya keras-keras sebelum melanjutkan kalimatnya, “… aku butuh waktu sendiri.” Alena menghempaskan tubuhnya di kursi kerjanya, menghembuskan napas dengan cepat dan menyingkirkan semua kegilaan dalam kepalanya. Alena merasakan dirinya tak berdaya. Kehadiran sosok Rudolf di depan pelupuk matanya bagai mimpi yang menjadikan nyata. Rudolf benar-benar seksi dan mampu membakar diri Alena tanpa tersisa.   “Tiduri aku,” pinta Alena dengan suara yang mendamba dan seakan hanya Rudolf yang mampu menuntaskannya. “Please.” Suara yang terdengar nyata dalam bayangan di kepala Rudolf. Rudolf masih ingat saat dirinya melepaskan rambut Alena, mengulurkan tangan ke balik gaun wanita itu, dan menarik celana dalamnya turun sampai ke paha. Jaket miliknya terbang melewatinya dan mendarat di atas salah satu kursi sebelum tangannya mendesak di antara kedua kakinya dari arah depan. “Kau memang tercipta untukku, Alena sayang. Kau tak akan bisa bertahan tanpa diriku di dalam tubuhmu, Baby.” Bayangan saat jemarinya yang ahli masuk kian dalam, menyebarkan kelembapan di tubuh wanitanya. Rudolf butuh kewarasan untuk menekan hasrat liar dalam jiwanya. Aroma Alena telah membuatnya berkedut dan sakit kepala. “D*mn!” maki Rudolf pada dirinya. Ia gagal mengembalikan kendali dirinya yang menghilang seketika hanya karena pesona seorang Alena Harris. Tubuh Rudolf begitu mendamba dan aliran darah di pembuluhnya mengalir dengan deras. “Kau akan kembali padaku. Tak ada jalan lain bagimu, Alena sayang,” gumam Rudolf.   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD