FELIX - 8

2209 Words
Siksaan yang membuat Alena tidak mampu berpikir. Ia butuh ruang sendiri. Ia ingin segera beranjak dari tempatnya namun kenyataannya ia harus menyelesaikan dokumen yang diminta oleh Patrick usai pertemuan mereka dengan Rudolf. Aroma maskulin yang menguar dari kulit Rudolf bercampur dengan aroma mint, basah bibir Rudolf yang membelai lembut bibirnya, merasakan lembap lidah pria yang pernah mengecap di semua tempat di tubuhnya. Alena berusaha menekan hasratnya yang paling liar dengan hanya membayangkan sosok Rudolf Felix. “Aku tidak akan pernah melepaskan apa yang sudah menjadi milikku, Alena.” Ucapan Rudolf yang mengintimidasi kembali terngiang di telinga Alena. Alena menundukkan wajah, menyingkirkan bayangan dari ketampanan Rudolf. “Harum tubuhmu masih sama, Alena. Dan aku suka mengetahui hal itu.” Bisik Rudolf dengan suara serak, membuat tubuh Alena berkedut. Bayangan dan suara yang tidak dapat Alena singkirkan. Ia beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah ruang istirahat. “Kau baik-baik saja?” tanya Maria yang membuat Alena berputar di atas tumit sepatunya. Alena baru menyadari jika ia belum mengganti sepatunya. “Aku merasa---” “Pria itu tampan,” sela Maria sambil berjalan mendekat, “Tidak, maksudku sangat tampan.” Alena masih berdiri di tepian meja pantry. Menyandarkan pinggulnya di sana dan Maria berdiri di sampingnya. Alena menelan ludah lalu melirik Maria yang tersenyum padanya sebelum mengulurkan tangannya untuk meraih cangkir yang tersusun di rak yang berada di atas kepalanya. Degup jantung Alena terasa merambat cepat. “Aku belum pernah melihat CEO semuda dan setampan Rudolf Richard Felix.” Maria mengatakannya dengan suara yang terdengar mengangumi. Alena masih diam, tak bersuara sambil mengamati kopinya yang masih tersisa setengah cangkir, dan Alena menyesapnya kembali, masih terasa panas. Meski tidak sepanas ciuman Rudolf beberapa jam lalu. Alena masih dapat merasakan rasa bibir Rudolf. “Apa kau masih tetap bisa berkonsentrasi sepanjang pertemuan, Alena?” selidik Maria dengan tatapan mencurigakan. Alena menatap Maria dari atas cangkir kopinya sambil tersenyum yang dipaksakan. “Aku, mungkin jika aku yang berada di posisi Patrick. Tapi sayangnya… Aku hanya pendengar.” “Oh, sayang. Itu artinya kau punya banyak waktu untuk mengamati pria itu.” Terdengar kecewa dalam suara Maria yang menggelitik bagi Alena. Tak dapat dipungkiri jika pesona Rudolf memang luar biasa. “Sayangnya, aku tak terpikir tentang hal itu, Maria.” Alena menggeser posisi berdirinya, menghadap Maria yang telah selesai meracik kopi miliknya sendiri. Aroma kopinya berkelebat di udara. “Apa kau pernah membayangkan memiliki pria seseksi itu, Alena?” Pertanyaan yang membuat kerongkongan Alena kering dan ia merasa sulit untuk menelan. Bayangan sosok Rudolf dalam kehidupan lama Alena seakan menariknya kembali ke masa itu. Alena tak lagi membayangkan, tetapi Rudolf memang pernah menjadi miliknya. Menghabiskan hari-harinya bersama pria yang tampak seksi di mata semua wanita. Bahkan bagi Alena, Rudolf yang sekarang lebih seksi dari beberapa tahun yang lalu. Membayangkan Rudolf menjulang di atas tubuhnya yang telanjang dengan tubuh kekarnya yang tanpa penutup sehelai pun seakan menjadi bayangan terliar yang dengan sekuat tenaga Alena coba singkirkan. “Alena, kau melamun?” seloroh Maria sambil menyenggolkan lengannya pada lengan Alena, membuatnya mengerjap kaget dan bayangan sosok Rudolf hilang dalam sekejap. “Aku…” Alena berhenti lalu ia mengangkat tangan kirinya untuk melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Jam menunjukan pukul lima kurang lima menit. “Aku harus kembali ke tempatku, aku akan bersiap untuk pulang.” Alena meletakkan cangkir kopinya pada tempat pencucian. “Kau akan langsung pulang?” tanya Maria dari balik punggung Alena. “Ya, beberapa menit lagi. Aku akan memastikan Patrick tak membutuhkan aku lagi untuk hari ini,” jawab Alena sambil menatap dengan senyuman dari balik bahunya ke arah Maria yang masih bersandar pada meja pantry. Alena beranjak dari pantry dan berjalan menyusuri lorong, melewati beberapa bilik kerja karyawan lainnya sebelum ia melintas di ruangan Patrick yang terbuka. “Alena,” panggilan dari dalam dan suara Patrick terdengar lantang. Langkah Alena berhenti. Ia mundur dan melongok untuk mencari asal suara. Betapa terkejutnya Alena saat sosok Rudolf ada di seberang meja Patrick. Tampilannya masih tetap menawan dengan dasi yang telah dilonggarkan. Napas Alena tersekat, matanya membulat meski tak seutuhnya, ia mencoba untuk bersikap baik-baik saja. “Hi, Alena.” Suara milik Rudolf yang berat. Rudolf menatap Alena dengan tatapan yang membuat sekujur tubuh Alena bergidik karena sensasi. “Aku sama terkejutnya denganmu, Alena.” Apa yang dikatakan Patrick seakan telah membaca isi dalam kepala Alena. “Aku tak ingin membuang waktu dan aku ingin semuanya berjalan cepat. Aku setuju untuk semua konsep dan perhitungan yang kalian buat,” ungkap Rudolf panjang lebar seakan menjadi jawaban untuk semua pertanyaan yang berputar-putar dalam kepala Alena. Patrick melirik Alena yang masih berdiri di ambang pintu ruangannya, sedangkan Alena sedang berusaha keras untuk menekan perasaan dan reaksi tubuh yang ditimbulkan Rudolf padanya hingga ia tak menyadari langkah anggun Rudolf yang perlahan mendekat padanya. Alena masih berdiri diam seperti orang bodoh. “Kau baik-baik saja?…” kalimat yang menggantung dan Rudolf mendekatkan kepalanya ke samping kepala Alena, “…Aku tak akan membiarkanmu lari lagi dariku.” Sekujur tubuh Alena berkedut, meremang merasakan napas Rudolf yang mengenai kulit lehernya, dan suara berat itu benar-benar nyata di telinganya. “Alena, kau baik-baik saja?” Pertanyaan Patrick yang membuat Alena melirik cepat dan tersenyum yang dipaksakan. “Ya,” sahut Alena cepat, ia menelan ludah memberanikan diri untuk menatap Patrick dan berakhir di manik mata Rudolf. “Aku hanya…terkejut dengan kehadiran Anda, Mr. Felix. Ada yang bisa kami bantu?” Suara Alena terdengar lugas meski ada getaran nyata yang tak dapat sepenuhnya ditutupi. Alena menelan ludah, mengangkat wajahnya untuk bertemu pandangan dengan mata Rudolf yang tersenyum miring. Jantung Alena terasa ingin loncat. “Sangat banyak, Mrs. Martinez,” ujar Rudolf, ia berjalan selangkah kian mendekat dan degup jantung itu langsung naik, Rudolf mendorong pintu di belakang Alena hingga tertutup, membuat napas Alena tersekat beberapa detik dan ruangan tiba-tiba terasa sesak saat Rudolf mengurung Alena dalam lengannya yang bersandar di pintu yang tertutup di belakang Alena. Desir napas keduanya bisa dirasakan satu sama lain. “Aku harap kau tidak keberatan aku membawanya ke ruanganku, Patrick. Karena aku membutuhkan asistenmu untuk mengurus semua yang kita bicarakan tadi,” ucap Rudolf tanpa melepaskan tatapan matanya dari Alena. “Aku… Aku tidak keberatan, Sir.” Mata Alena membulat dan Rudolf tersenyum puas. “Kau dengar, Alena?” “Tidak,” sela Alena, menyingkirkan lengan Rudolf dan melepaskan dirinya dari kungkungan sambil bernapas dengan kasar. “Katakan saja di bagian mana yang salah dan aku akan----” “Aku ingin kau memecatnya sekarang juga, Patrick,” potong Rudolf dengan suara penuh penekanan dan terdengar geraman halus. Alena dan Patrick terbelalak sebelum keduanya saling melirik satu sama lain. “Apa maksudmu?” tanya Alena tajam. Rudolf masih berdiri ditempatnya, membelakangi Alena dan Patrick. “Aku tak suka dengan karyawan yang membangkang dan keras kepala,” ucap Rudolf sambil berbalik dengan gerakan pelan dan disusul dengan tatapan yang mengintimidasi. Berhadapan langsung dengan Alena tanpa peduli dengan kehadiran Patrick. Jantung Alena terasa berhenti dan loncat ke luar. “Kau sudah gila!” maki Alena dengan suara lantang dan bergegas keluar meski dengan cepat Rudolf menghentikannya dengan menyambar pergelangan tangan Alena, menempatkannya tepat di dalam dekapan d**a lapangnya yang membuat Patrick menatap curiga. Banyak pertanyaan yang berjejal di dalam kepala Patrick dengan semua yang dilihatnya. Satu tangan Rudolf berada di pergelangan tangan Alena dan satu tangan lainnya ada di pinggang ramping Alena. Tatapan tajam keduanya dan napas yang memburu. “Kau bisa tinggalkan ruangan ini, Patrick?” Pertanyaan tajam dari Rudolf yang seakan mulai menyadari kehebohan yang akan terjadi setelahnya dengan keberadaan Patrick saat ini dan tanpa berpikir lagi Patrick bergegas keluar, meninggalkan keduanya dalam ruang kerjanya dan menyisakan hentakan pada pintu di belakang langkahnya. “Lepaskan aku,” geram Alena tak kalah tajam. Ia mendongak untuk menatap ke dalam mata Rudolf. “Aku sudah katakan, kau tak bisa lari dariku, Alena.” Rudolf mengatakannya sambil mencengkram pergelangan Alena, mendekatkan tubuh keduanya. “Duduk lah, kita bicara.” Rudolf membawa Alena ke arah kursi dan menghempaskan tubuh mungil Alena di sana dan Rudolf menjulang di hadapan Alena. “Tidak ada yang perlu kita bicarakan, Rudolf,” timpal Alena tegas. Alena mencoba untuk mempertahankan dirinya dari serangan Rudolf meski detak jantungnya seakan berlari dan napasnya memburu. Alena bangkit dan Rudolf menahannya untuk tetap duduk. “Kau memanggilku dengan nama Rudolf, Alena?” sindir Rudolf, digesernya sebuah kursi yang lainnya, mendudukinya dan keduanya saling berhadapan. Kedua lengan kekar Rudolf diletakkan di kedua lengan kursi yang diduduki Alena dan Rudolf mencondongkan tubuhnya untuk mendekat ke arah Alena, membuat Alena tersentak, merasakan otaknya berputar-putar. “Aku telah pergi dari kehidupanmu, Rudolf.” “Bersama pria Martinez?” Tatapan keduanya tajam, menusuk dan saling menyakiti. “Kau pergi di hari pernikahan kita. Kau meninggalkan aku demi pria lain?! Katakan yang sebenarnya, Alena!” pekik Rudolf tepat di hadapan wajah Alena dan membuat Alena menahan napas, tubuhnya langsung gemetar. Punggung Alena menempel pada sandaran kursi di belakangnya. Wajah Rudolf memerah, keras dengan kedua rahang yang mengatup, terdengar geraman bak serigala terluka. Alena tak pernah melihat Rudolf seperti yang ia lihat saat ini. Alena merasakan tenggorokannya sakit untuk menelan ludahnya sendiri, air mata telah berjejal di pelupuk matanya. “Ya, aku meninggalkan dirimu demi pria lain!” Suara Alena terdengar pelan namun jelas yang terasa bak tinju telak bagi Rudolf. Alena tertunduk sebentar, menarik napas sebelum kembali menatap Rudolf di hadapannya yang masih menatap dirinya dengan tatapan yang sama. “Kenapa?” Pertanyaan yang terdengar menuntut saat Rudolf yang mengajukannya. Alena tak langsung menjawab, hingga bayangan masa lalu itu kembali berkelebat, hari yang kelam bagi Alena.   Beban berat menghalangi napasnya sementara tangan lain dijejalkan ke balik gaunnya, meraba-raba dan meremas. Kepanikan menyerangnya dan Alena menggeliat-geliat, kakinya menendang-nendang dengan panik. “Tidak…tolong jangan… tidak…. Jangan….” Sambil terengah-engah seperti anjing pria itu menyentakan kaki Alena hingga terbuka lebar. Benda keras di antara kedua kakinya menusuk-nusuk sembarangan, mendesak paha bagian dalam. Alena melawan, meski paru-parunya terasa tersekat, tetapi pria itu terlalu kuat. Alena tidak bisa menyingkirkannya, ia tidak bisa menghindar. “Hentikan!!” Menyingkirlah dariku!! Jangan sentuh aku!! I-bu!”   “Katakan kenapa kau pergi dariku, Alena.“ Suara berat Rudolf menyentakkan Alena, menariknya lepas dari bayang-bayang masa lalu yang ada di dalam kepalanya. Mata indah Alena berkaca-kaca, menghela napas dengan begitu dalam dan menghembuskannya dengan pelan sambil berpikir. Alena tak ingin mengatakan kebenaran jika dirinya di perkosa oleh ayah tirinya, suami dari ibu kandungnya di satu hari jelang kebahagiaannya, beberapa jam sebelum esok hari yang seharusnya menjadi hari pernikahan dirinya dengan Rudolf. “Aku tidak mencintaimu, Rudolf,” ucap Alena dengan segumpal kebohongan pada akhirnya. Rudolf tak bergerak, ia hancur seketika, napasnya tersendat dan tatapannya keruh meski masih tetap terasa tajam. “Aku pergi karena… aku tak ingin membohongi perasaanku padamu, Ru…Felix.” Alena meralat ujung kalimatnya dengan suara yang terdengar gemetar. Jeda beberapa detik, Alena menjilat bibirnya yang terasa kering. “Kau terlalu baik untukku,” imbuh Alena dengan perasaan hancur yang ia sembunyikan dalam hatinya. Wajah Rudolf begitu dekat, berada tepat di hadapannya dan Alena menekan perasaannya untuk menyentuh pria yang sesungguhnya sangat ia cintai. “Kau tidak mencintaiku setelah semua yang kita lewati, Alena. Separuh jalanku denganmu.” Suara tajam Rudolf dan ia berdiri menjulang di hadapan Alena. “Itu lah kenyataannya Rudolf. Aku---” “Kau pembohong!” maki Rudolf seraya menarik lengan Alena untuk membuatnya berdiri dan mendorongnya ke sebuah dinding. Tubuh Alena membentur dinding di belakangnya. “Apa yang akan kau lakukan, Rudolf?” Pertanyaan milik Alena dengan penuh waspada. Mata Alena membulat dan napasnya sesak saat merasakan jarak dirinya dengan Rudolf kian menghilang. “Rasanya begitu menyakitkan melihatmu, Alena.” Rudolf meraih pergelangan tangan Alena dan menahannya dengan keras. “Tidak, Felix.” Alena merasakan rasa lapar dan amarah Rudolf yang memancar dari tubuhnya. Tubuh Rudolf  kuat terasa keras dan panas. Alena menginginkan Rudolf, ia mendambakan pria itu seperti yang Rudolf rasakan padanya juga. Kekuatan Rudolf bisa menghancurkan tubuh Alena. Rudolf menarik napas dalam, jemari Rudolf meregang gelisah dengan jemari Alena. Seolah Rudolf ingin menyentuh tubuh Alena yang lainnya, namun ia menahan diri. Aroma tubuh keduanya yang menguar di udara. Membawa rasa yang dulu sangat mereka kenali dan sukai. Terasa menyiksa kini. Alena merasakan sesuatu yang melingkar pada jemari Rudolf. Cincin pertunangan mereka yang masih dikenakan Rudolf. Alena menoleh menatapnya dan menegang ketika menyadari hal itu, bingung bercampur kesedihan yang mendalam. “Kenapa?” bisik Alena dengan suara parau. “Aku tidak pernah melepaskannya. Aku tidak akan melepaskannya. Tidak akan pernah, Alena. Karena aku terus mencintaimu. Kau milikku, dirimu dan juga tubuhmu.” Napas Rudolf mendesis. “Aku tak percaya jika kau tidak mencintaiku, Alena.” “Tapi itulah…” Tangan kanan Rudolf melepaskan cengkramannya pada tangan Alena dan ia merogoh sakunya. Alena mengamati Rudolf yang menyematkan kembali cincin yang pernah diberikannya kepada Alena dulu, lalu mengangkat tangan Alena ke mulutnya. Rudolf mencium tangan Alena, lalu menempelkan ke bibirnya, dengan cepat, keras dan marah ke pelipis Alena. “Fel---” “Aku ingin memulai semuanya dari awal, Alena,” potong Rudolf cepat. “Tapi---” Kalimat Alena berhenti dengan tatapan Rudolf. “Aku tak peduli dengan perasaanmu.” Rudolf pergi, menyisakan hentakan pada pintu di belakang langkahnya. Meninggalkan Alena dalam kebingungan.   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD