Alena melangkah gontai, mengenggam erat tangannya sendiri seakan ada rasa sakit yang tak mampu ia tahan lagi. Alena memutar knop pintu dan ia tertunduk hingga suara Patrick terdengar memanggil namanya pelan, “Alena.”
Alena merasakan dadanya masih terasa sesak dan ingin menghilang dengan cepat, tatapan matanya yang tertunduk mendapati sepasang sepatu milik Patrick dan sepasang sepatu lainnya yang ia yakin milik Maria. “Kau baik-baik saja?” tanya Patrick sebelum berjalan mendekat dan Alena memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya. “Ya, aku baik-baik saja.”
“Tapi tidak seperti itu kenyataannya Ale---” Maria berhenti saat bahu Patrick mendorongnya pelan. “Aku hanya---”
“Aku rasa kau butuh untuk pulang, Alena,” potong Patrick dan mereka bertatapan. Mata Alena telah berkaca-kaca. “Tidak, Patrick. Aku harus menyelesaikan pekerjaanku.”
“Biar aku yang menyelesaikannya,” timpal Patrick dengan tulus.
Alena tersenyum masam, menatap Patrick dan Maria bergantian.
“Kau pulang dan istirahatlah. Aku tak yakin kau dapat melanjutkan pekerjaanmu, Alena. Kau bisa kembali Senin nanti.”
Alena masih mematung, menatap keduanya yang berdiri di hadapannya. Alena menghela napas dalam dan ia mencoba untuk mempertimbangkan semua saran.
“Apa yang dikatakan bosmu yang tampan ini benar, Alena. Wajahmu pucat,” ucap Maria sambil melirik Patrick yang berdiri di sampingnya, namun Patrick seakan acuh.
“Kau ingin aku antar?” Patrick menawarkan bantuannya. Ia masih tampak tegang.
“Tidak, terima kasih, Patrick. Aku akan pulang sekarang dan melanjutkan pekerjaanku di rumah.”
“Ya itu terdengar lebih baik, Alena.”
Alena mengangguk pelan dan beranjak dari bibir pintu ruangan patrick untuk kembali ke bilik kerjanya. Alena menghempaskan tubuhnya ke kursi, tertunduk tak berdaya, bayangan sosok Rudolf yang menjulang di hadapannya, desir napasnya yang mengenai kulitnya dan cincin pertunangan yang dulu ia tinggalkan bersamaan dengan gaun pengantin yang koyak, kini terpasang kembali di jemarinya. Alena ingin menangis, namun sebelum semua itu terjadi, ponselnya telah lebih dulu menderu di atas permukaan meja, bersebelahan dengan mouse miliknya.
Sederet nomor yang tidak Alena kenali. Alena menatap ke sekeliling, Patrick dan Maria telah menghilang. Mereka telah kembali ke tempat masing-masing. Ponsel Alena masih terus menderu, sempat berhenti sesaat, dan kembali berbunyi. Alena menghela napas panjang sebelum menjawabnya dan suara Rudolf kembali terdengar.
“Aku menunggumu di bawah.”
“Felix, aku—“
“Aku tak ingin kau membantahku, Alena,” sela Rudolf cepat tanpa bernapas, setelahnya disusul hembusan napas keras. “Turun sekarang, kita pulang,” imbuh Rudolf dengan intonasi memerintah yang membuat Alena duduk tegak.
“Aku tidak akan pulang bersamamu, Felix,” ucap Alena dengan menekankan suaranya agar tak terdengar. Melirik ke kanan dan ke kiri.
“Kau hanya punya dua pilihan, Baby.”
“Tidak,” sela Alena cepat. Terdengar geraman kesal, suara pintu di dorong, “Aku akan menjemputmu atau kau turun sendiri.” Denting pintu lift yang terbuka. Jeda sebentar, “Pilihan ada padamu.” Alena mengetuk-getukan ujung jarinya di atas meja, dan tampak Patrick yang berjalan melewati biliknya, ia berhenti dan menjulang di tepian partisi yang menjadi sekat.
“Aku….” Alena terdengar ragu, ia menatap Patrick yang tampak bingung. “Baiklah aku akan pulang,” kata Alena dengan kesal.
“Pilihan yang bagus, Sayang. Aku menunggumu di depan lift.”
“Apa?!” pekik Alena nyaris melonjak dari duduknya di bawah tatapan mata Patrick yang masih mengamatinya, disusul dering pada pesawat teleponnya. Panggilan dari meja resepsionis.
“Angkat telepon dari resepsionismu, dia pasti sedang---”
Alena memutus teleponnya, dan menjawab panggilan dari Maria.
“CEO tampan itu ada di depan lift. Apakah kau yang sedang ditunggunya?” tanya Maria pelan, menyerupai bisikan. Alena menghela napas dan menghembuskannya mirip hentakan. Menyingkirkan sesak di dadanya. “Aku tidak---”
“Aku yakin itu kau. Mungkin dia ingin meminta maaf padamu, Alena.”
Alena melirik Patrick yang masih menatap dengan menilai. Alena menelan ludah. “Aku tidak tahu. Sebaiknya kau tanyakan padanya. Bye, Maria.”
Alena kembali meletakkan gagang telepon pada tempatnya dan bergegas memasukan barang-barang ke dalam tas miliknya. “Kau baik-baik saja?”
“Ya, maafkan aku untuk hari ini.” Terdengar sesal pada suara Alena. Ia menatap Patrick dengan tatapan penuh sesal. “Sudah tidak apa-apa. Aku telah memeriksa semuanya. Dan aku juga heran, kenapa dia… maksudku----”
Alena termangu dan ia merasakan ponselnya kembali menderu dalam genggamannya. Ia yakin itu Felix. “Patrick, bisa kau biarkan asistenmu untuk pulang sekarang?” Pertanyaan yang meluncur dari Rudolf dengan tiba-tiba, membuat Patrick dan Alena berjingkat kaget. Mata Alena membulat. Sosok Rudolf telah berdiri di antara mereka sambil membawa tas pada tangan kirinya dan jas yang tersampir pada lengan kanannya.
“A…aku…ya…”
Kalimat Patrick menggantung sambil melirik Alena yang tampak kesal dengan rahang yang mengatup rapat dan pandangan jatuh kepada sosok Rudolf. Napas Alena terdengar tertahan, dadanya terasa bergemuruh.
“Kau benar-benar b******k, Felix,” maki Alena, menyambar tasnya sambil berjalan meninggalkan biliknya, langkahnya mendahului Rudolf, dan menyisakan kebingungan pada Patrick. Rudolf berjalan tepat di belakang langkah Alena yang cepat, dan tanpa menoleh lagi pada Maria yang memperhatikannya dari balik meja resepsionis. Alena berdiri di depan lift, berharap pintu lift segera terbuka.
“Aku suka melihatmu saat sedang marah,” ucap Rudolf menyerupai bisikan. Alena bergeming, ia masih menatap pintu lift yang tertutup, seolah tak terpengaruh dengan keberadaan Rudolf. “Kau harus menjelaskan semuanya padaku, Alena.”
“Tidak ada yang perlu aku jelaskan, Felix,” sambar Alena sebelum dirinya melangkah masuk ke dalam lift dan hanya ada mereka berdua. “Sial,” batin Alena yang berharap jika lift dipenuhi orang dan hanya menyisakan satu orang untuk masuk. Nyatanya tidak. Rudolf menekan tombol dan disusul memasukan benda menyerupai lempeng dan lift berhenti seketika, menempatkan keduanya dalam ruang kedap itu, dan tubuh Alena langsung waspada, menatap Rudolf dengan curiga.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Alena lantang, mendapati seringai miring di wajah tampan Rudolf cukup mengingatkan Alena pada masa lalu kebersamaan mereka.
“Aku hanya perlu penjelasan darimu.”
Rudolf bergerak mendekat, membuat Alena mundur sambil menelan ludah dengan susah payah.
“Aku sudah mengatakannya padamu,” kata Alena dengan melangkah mundur, suaranya terdengar bergetar dan punggungnya membentur dinding lift. Ia melirik ke sudut, mencari kamera yang mungkin saja merekam keberadaannya dengan Rudolf.
“Tak ada kamera, Sayang.”
Tangan Rudolf telah berada di pinggang ramping Alena. Menempatkan tubuh Alena di antara dinding lift dan panas tubuh Rudolf. Alena mampu merasakan gejolak yang membakar Rudolf.
“Katakan, kenapa kau meninggalkan aku? Kenapa kau tidak mengatakan jika---”
“Aku sudah mengatakannya padamu. Aku tidak---”
Alena membuka mulut untuk memprotes dan Rudolf menempelkan bibirnya pada bibir Alena, menberikannya ciuman yang mendalam, dan tangan Alena telah berada di rambut hitam Rudolf. Membelainya dan menariknya. “Felix---”
“My baby.” Rudolf mengulum bibir bawah Alena, jemarinya membelai dan meremas d**a Alena dengan lembut dari balik kemeja sutra yang di kenakannya, membuat Alena mengerang dan memutar bola matanya.
“Aku hampir gila memikirkanmu, Sayang.”
“Felix… Aku…”
Bibir Rudolf telah berada di leher jenjang Alena, menyecap rasa kulit Alena yang bercampur keringat, denyut nadi yang cepat di kulit Alena yang putih. “Aku menginginkanmu, Sayang.”
“Felix, tidak,” desah Alena, mencoba mendorong tubuh Rudolf, namun sia-sia, Rudolf kokoh menjulang. Kepalanya terangkat dan Rudolf menatap dengan mata coklatnya yang menyala-nyala.
“Ini gila, Felix.” Napas Alena naik-turun.
“Aku tahu. Aku tidak... Aku tidak bisa menjelaskannya, Alena. Tapi aku ingin kau kembali padaku.”
“Tidak, Fel---“
Seolah tak ingin penolakan, Rudolf kembali menggapai bibir Alena, membawanya dalam ciuman basah dan menuntut, dan sebelah tangannya menggapai daerah di antara kedua paha Alena.
“Sssshhh, Feliiiix,” geram Alena menggigit bibirnya dan meletakkan tangannya pada bahu Rudolf. Paha Alena terbuka tanpa kenal malu, tubuhnya begitu b*******h sampai ia merasa panas. Tangan Rudolf yang lain terus meremas dua gundukan Alena bergantian. Membuat Alena mengerang dan b*******h.
“Kau basah untukku, Sayang,” gumam Rudolf, matanya meluncur menuruni tubuh Alena ke tempat ia membuka diri Alena dengan jarinya. “Felix…” desahan Alena yang terdengar liar di telinganya.
“Aku merindukanmu memanggil namaku.”
Wajah keduanya begitu dekat hingga desir napas mereka menyatu di udara. Alena menggeleng pelan, mencoba untuk menyingkirkan hasrat dan gairahnya. Namun Rudolf telah menyelipkan satu jemarinya dengan hati-hati. Spontan mata indah Alena memejam dan ia menggigit bibir bawahnya, menahan jeritan mendambanya.
“Ooohh, Felix…” Alena menelan ludah, merasakan kenikmatan saat Rudolf menarik tangannya keluar dan dengan lembut mendesak masuk lagi. Punggung Rudolf melengkung sementara Alena meregangkan tubuhnya menerima tubuh panas Rudolf yang terbakar gairah.
“Kau membuatku gila, Alena.”
Rudolf kembali menarik tangannya keluar dan mendesak masuk dengan dua jari.
“Ooohhh…Fel…liiixx” desisan panjang dengan hasrat yang liar.
Alena tak dapat menahan erangan kenikmatan yang diberikan jari Rudolf. Kepala Alena mendongak, ia butuh menarik napas panjang, hasrat yang mulai membakarnya. Rudolf menyurukkan kepalanya pada leher Alena yang terbuka, dan lidah basah Rudolf bergerak pelan di permukaan kulit mulus Alena.
“Look at me, Baby,” bisik Rudolf dengan suara seksi, membuat Alena menoleh, menatapnya dengan tatapan tak berdaya karena gairah yang merambat naik dan dadanya naik turun, hidung mancungnya kembang-kempis. “Kau ingin aku berhenti?”
Alena menggeleng pelan, ia terlampau merindukan pria pujaan masa lalunya. Rudolf memiliki jari yang ahli, penuh percaya diri dan pengalaman, Rudolf mengambil apa yang diinginkannya, dan Alena menjadi satu-satunya yang diinginkannya saat ini dan sedari dulu.
“Apa kau masih meminum pil pencegah kehamilanmu, Sayang?”
“Ya.” Tangan Alena mencengkeram bahu kekar Rudolf, “…tentu saja.”
Entah mengapa kalimat itu yang keluar. Alena mulai menatap Rudolf dengan tatapan yang biasa tanpa rasa terintimidasi seperti sebelumnya.
“Aku ingin kita memulai semuanya kembali, Alena.”
“Felix… Aku…”
Alena terengah-engah karena sentuhan Rudolf membuat pinggulnya menggeliat tanpa malu ke jemari Rudolf yang mendesak. Alena merasakan akan meledak jika Rudolf tidak membuatnya mencapai klimaks.
“Felix… Sssshhh…” desahan gairah Alena yang tak lagi ia sembunyikan dan Rudolf senang akan kenyataan itu. Seringai kemenangan memancar di wajah Rudolf. “Kau b******n b******k,” geram Alena dan di balas Rudolf dengan cepat, “Sialnya kau masih mencintai b******n b******k ini, Alena.”
Hanya Rudolf yang mampu membuat Alena b*******h seumur hidupnya. Alena nyaris gila saat ini karena membutuhkan pelampiasan. Rudolf juga terengah, wajah tampannya memerah karena gairah untuk wanita pujaannya, meski pada kenyataannya Alena tidak melakukan apa-apa pada dirinya.
Tangan Rudolf yang menangkup d**a Alena bergerak ke pipi dan membelainya.
“Wajahmu merona, Sayang. Aku sudah membuatmu bergairah.”
“Kau b******n, Felix,” geram Alena yang dibalas Rudolf dengan suara kekehan penuh kemenangan.
Senyum Rudolf nakal sekaligus senang, dan itu membuat Alena tersekat.
“Aku ingin membuatmu merasakan puncak kenikmatan, Sayang. Ketika aku menyentuhmu, Alena. Aku ingin kau merasakan diriku dalam dirimu, dan aku senang mendengar kau memanggil namaku dengan memohon saat aku mendesakkan diriku ke dalam dirimu. Lagi, lagi dan lagi.”
“Oohhhh…ssshhh…Feliiiixxx…”
“Jika kau memang tidak mencintaiku, seperti apa yang kau katakan, kau tak akan memanggil namaku, Alena. Hanya aku, hanya aku yang tahu dirimu,” ucapan Rudolf kian membuat tubuh Alena bergetar hebat, ia menatap Rudolf yang tersenyum puas sedangkan dirinya terbuka lebar dengan jemari Rudolf berada di dalam dirinya. Jari yang berlumur cairan miliknya, bergerak keluar masuk hingga batas yang mampu Alena kendalikan.
“Aku… Kau…” Napas Alena terengah-engah. Rudolf masih menggerakkan jarinya di antara kedua pangkal paha Alena. “Aku mohon…” pinta Alena pada akhirnya, ia menyurukkan kepalanya pada bahu Rudolf dan saat itu lah Rudolf menarik jarinya dari dalam diri Alena dan membuatnya mengerjap kaget. Menatap dengan tatapan frustasi. “Kau…”
“Tidak di sini, Alena sayang,” ucap Rudolf sambil memasukan jarinya ke dalam mulut, menyecap rasa milik Alena disusul dengan mencabut lempeng pipih dari dinding lift dan membuatnya bergerak turun. Alena mendorong Rudolf dan mencoba untuk mengatur napasnya yang cepat, menatap Rudolf dengan amarah.
“I love you, Alena Harris.”
***