FELIX - 10

1991 Words
Telapak tangan lebar Rudolf menyambar pergelangan tangan Alena dan keduanya melangkah keluar dari dalam lift yang disambut oleh tatapan dari beberapa pasang mata yang berdiri menunggu di depan pintu lift. Beberapa antaranya wanita, dan seperti apa yang masih segar dalam ingatan Alena jika para kaum wanita akan terus menatap Rudolf hingga ia benar-benar menghilang dari pandangan. Rudolf mampu mempesona lawan jenisnya dengan daya tarik seksual yang jelas memancar dari dalam dirinya. Membuat mata wanita tidak berkedip hingga menggetarkan jiwa berharap dapat memilikinya. “Kau akan membawaku ke mana, Felix?” Suara Alena yang terdengar bagai geraman tajam dengan lirikan pada sudut mata yang tertuju pada Rudolf yang berjalan dengan gagah. Semua pasang mata memperhatikan keduanya, namun Rudolf seakan tak peduli. Ia tetap berjalan dengan tegap dan mempesona di samping Alena sambil menggenggam telapak tangan Alena dengan erat. Menunjukan kepemilikan. “Selamat sore, Sir.” Rudolf hanya mengangguk pelan dan membuka pintu mobil bagian belakang. “Masuklah, Alena,” perintah Rudolf. “Tidak Rudolf,” seru Alena, ia menatap Rudolf yang berdiri menjulang di hadapannya dan mereka bertatapan lurus. “Aku tak suka berdebat di tempat umum, Alena,” geram Rudolf. Alena melihat sekeliling dari sudut matanya dan apa yang dikhawatirkan Rudolf benar, beberapa pasang mata memperhatikan mereka. Meski sesungguhnya bukanlah memperhatikan mereka karena keributan tapi karena ketampanan Rudolf. “Masuklah,” ucap Rudolf sambil mengarahkan tubuh Alena untuk masuk ke dalam mobil lebih dulu, disusul dengan dirinya. Mereka duduk bersebelahan dan itu membuat Alena bersikap waspada. “Kita berkeliling London dan jangan berhenti sebelum aku memintamu untuk berhenti, Clancy.” Tak ada jawaban selain anggukan kepala yang dapat Alena lihat dari kaca spion yang menggantung dan mobil berjalan meninggalkan halaman kantor. Alena melirik ke samping dan mendapati Rudolf yang sedang memperhatikannya. “Kau tahu, kau lebih cantik dari yang terakhir aku lihat,” ucap Rudolf lugas membuat Alena nyaris tersedak, matanya membulat. Rudolf meraih telapak tangan Alena dan dengan cepat Alena menariknya lalu Rudolf sekali lagi menyambarnya. Menggenggam dengan lebih erat dan membuat Alena kian waspada. “Kenapa kau begitu takut denganku, Alena?” tanya Rudolf tajam sebelum ia mendekatkan telapak tangan Alena pada bibirnya, ia mencium kulit punggung tangan Alena dengan lembut tanpa melepas tatapannya. “Aku bukan Alena yang dulu, Felix. Aku tidak mencintaimu,” ungkap Alena dengan suara bergetar. Alena mengatakannya dengan sisa keberanian yang ia miliki. Namun apa yang dikatakan Alena tak membuat Rudolf bergeming. Ia tersenyum miring dan acuh.  “Kau tidak mencintaiku, tapi aku mencintaimu, dan aku tidak akan pernah menyakitimu,” timpal Rudolf dan Alena membuang tatapan matanya keluar kaca mobil. Menatap deretan bangunan di kota London. Keramaian sore ini yang tampak tidak bersahabat. Tarikan napas yang disusul dengan hembusan kasar, Rudolf meraih dagu Alena, membuat Alena menatap dirinya, menatap ke dalam mata coklatnya yang dalam. Alena butuh usaha keras, ia merasa napasnya tertahan. Wajah tampan pria pujaannya tepat berada di hadapannya. “Aku tidak peduli dengan perasaanmu, Alena. Kau adalah milikku dan aku tidak akan melepaskanmu.” “Kau sudah gila, Felix,” maki Alena tepat di hadapan Rudolf sambil berusaha melepaskan diri dari genggaman tangan kuat Rudolf namun dengan mudah Rudolf langsung menarik tubuh mungil Alena dan menempatkannya di atas pangkuannya, membuat Alena terbelalak dan napasnya naik turun tak beraturan. “Kau…” Rudolf menangkup tubuh Alena, sebelah tangannya berada di paha Alena dan tangan lainnya berada di tungkak leher Alena, menempatkan keduanya untuk saling menatap satu sama lain dengan napas yang memburu. “Kau dengar aku. Aku tidak peduli dengan perasaanmu padaku, Alena. Aku akan membuatmu mencintaiku lebih dari sebelumnya.” Kalimat yang bagai ancaman sebelum Rudolf menggapai bibir Alena. Gerakan mendesak saat Alena mencoba untuk menolak ciuman yang diberikan Rudolf. Namun Rudolf merupakan pria yang pandai berciuman, salah satu keahlian Rudolf, hal itu yang nyaris dilupakan Alena. Tangan Rudolf membelai permukaan kulit paha Alena yang terbuka dan lidahnya kian mendesak masuk hingga Alena menyerah. Pertemuan dua lidah yang basah dan menjelajah, membuat Alena menyerah dan mengerang. “Alena.” Rudolf menekan tombol dan kaca privasi di belakang sopir pun terangkat berbarengan dengan ciuman keduanya yang kian panas. Ciuman yang seakan sudah mereka harapkan sejak pertemuan di dalam ruang kerja Rudolf. Alena menyisirkan tangannya di rambut Rudolf dan membalas ciuman Rudolf yang teramat ia sukai, yang membuat Alena selalu merasa ia bisa gila kalau ia tidak melakukan hal itu dan sudah terlalu lama ia tidak merasakan hal itu. Alena mengulum lidah Rudolf, merasakan tangan Rudolf meluncur di punggungnya yang berbalut kemeja sutra. “Felix, aku---” “Persetan dengan omong kosongmu, Ms. Harris,” potong Rudolf cepat dan kembali melumat bibir Alena dan mendudukan Alena dengan posisi mengangkanginya, menarik kedua kakinya terbuka, menyikap rok yang dikenakan Alena. Dengan lutut di kedua sisi pinggul Rudolf, Alena memeluk bahu lebar Rudolf dan memperdalam ciuman untuk pria itu. Mereka saling menjilat dan Rudolf mencengkeram pinggang Alena hingga keduanya baru saling melepaskan saat oksigen di dalam rongga d**a kian menipis. Kening mereka saling menempel satu sama lain, menatap di sela napas yang terengah-engah. “Apa yang kau lakukan, Rudolf?” “Aku sedang menyentuhmu. Menikmati dirimu dan membuktikan apa yang kau katakan semuanya bohong.” Hidung mancung Rudolf kembang-kempis. “Kau akan melakukannya sekarang?” “Aku sudah nyaris gila sejak melihat dokumen tentang dirimu.” Cengkeraman tangan Rudolf kian mengencang di pinggul Alena. “Apa kau akan melakukannya di sini?” Pertanyaan yang meluncur dari bibir tipis Alena sebelum ia menyadari kembali keramaian kota London sore ini. Kendaraan dan para pejalan kaki yang berlalu lalang di sekitaran mereka. Mereka hanya berjarak beberapa sentimeter dari ratusan orang, meski keberuntungan adalah mereka berada di balik kaca jendela yang gelap. “Kau ingin mencobanya di dalam limosin, Sayang?” Alena menoleh untuk menatap langsung Rudolf sebelum ia menangkup wajahnya dan menempelkan bibirnya ke bibir Alena dengan rakus. “Kau selalu membuatku tergila-gila,” bisik Rudolf di bibir Alena. “Aku tahu kau menginginkanku, Alena.” Napas Rudolf naik-turun. Alena tak berubah santai, tetapi ia juga tidak lagi berusaha untuk menghentikan apa yang dilakukan Rudolf pada dirinya. “Aku membutuhkanmu, Alena.” Tubuh Alena luluh ke sentuhan telapak tangan Rudolf. “Oh, God.” Alena mengerang, suaranya terdengar tersiksa sekaligus erotis. “Felix…” Desah Alena sambil menggesekan pinggulnya ke tubuh Rudolf. Napasnya mendesis di antara giginya yang mengertak. “Aku….” Suara Alena kian terengah di tengah dirinya yang mengirup aroma maskulin tubuh Rudolf yang kian terasa tajam karena pria itu sedang b*******h sama dengan dirinya. “Aku selalu menjadi milikmu, Baby.” Mata keduanya berbinar gairah yang tak lagi mereka sembunyikan. Alena mengulurkan tangannya ke bagian depan celana panjang yang dikenakan Rudolf, melepaskan dua kancing untuk menggapai ritsleting Rudolf dan seketika tubuhnya menegang. “Oh, Alena sayang.” Alena meremasnya dengan lembut, dan ia sadar bahkan sengaja melakukannya dengan lembut dan perlahan. Rudolf begitu keras dan panas. Alena menggerakkan tangannya menyusuri tubuh Rudolf dari bawah ke atas, napas Alena tersekat ketika Rudolf gemetar karena sentuhannya. Rudolf mencengkeram pinggul Alena, tangannya meluncur naik ke balik rok yang dikenakan Alena sampai jarinya menemukan celana dalam Alena yang berwarna hitam berenda. “Aku merindukan tubuhmu, Baby,” gumam Rudolf di mulut Alena, jeda sebentar untuk menjilat bibirnya yang kering, “Aku ingin merasakan setiap inci tubuhmu sampai kau memohon padaku, karena aku lebih mempercayai tubuhmu dari pada mulut manismu.” Tatapan mata coklat Rudolf membakar Alena seketika, gairah yang pada awalnya ia tampik, kini tak dapat lagi ia tekan. Pesona dan kebutuhan dirinya akan Rudolf seakan menjadi pengkhianat bagi mulutnya. “Aku ingin Alena yang sesungguhnya. Alena yang selalu membuatku b*******h,” ucap Rudolf sambil menjulurkan tangannya pada sisi jok dan membuka sebuah laci untuk mengambil kondom, sementara salah satu ibu jari Rudolf menyelinap ke balik pinggiran celana dalam Alena, menyentuh bukti gairah Alena. “Felix….” “Aku belum menyentuhmu, Sayang,” bisik Rudolf, matanya berkilat-kilat menatap Alena di pangkuannya, “tapi tubuhmu sudah siap untukku.” “Aku… aku tidak bisa menahan diriku.” “Aku tidak ingin kau menahan dirimu, Alena.” Rudolf mengangkat tubuh Alena sebelum mendesakkan ibu jarinya ke dalam tubuh Alena, menyambar bibir bawahnya ketika Alena meregangkan dirinya tanpa daya. “Lakukan lah, Sayang.” Rudolf mengulurkan kondom pada Alena. “Aku tidak----” Keduanya bertatapan dan masa lalu itu kembali. “Lupakan.” Nada suara Rudolf yang berat dan serius mengirimkan semburan dan kepercayaan diri Alena. Pipinya memanas. Alena memegang bahu Rudolf untuk menyeimbangkan dirinya, berlutut, mengangkat dirinya untuk menempatkan dirinya di puncak kejantanan Rudolf. Tangan Rudolf mengepal di pinggul Alena dan terdengar sesuatu yang di robek ketika Rudolf menyentakan celana dalam Alena. Suara mendadak dan menghentak itu membuat keduanya bertatapan dan gairah mereka kian nyata. “Pelan-pelan saja,” kata Rudolf dengan suara serak, mengangkat pinggulnya untuk mendorong celana panjangnya ke bawah. Kejantanan Rudolf membelai di antara paha Alena ketika ia bergerak dan Alena merintih dengan begitu mendamba. Kerinduan yang seakan tak lagi Alena tutupi. Rudolf menegang ketika Alena mencengkeram tubuhnya dan memposisikannya, menyelipkannya ke dalam tubuhnya. Aroma gairah yang terasa tajam dan lembap di udara. Campuran dari gairah yang meletupkan setiap sel dalam tubuh keduanya. Kulit Alena memanas dan tergelitik, payudaranya terasa berat dan begitu sensitif. Inilah yang Alena selalu inginkan, mimpi erotis di setiap malamnya. Memiliki kembali Rudolf, menindih tubuh Rudolf yang luar biasa dan membiarkan Rudolf menenggelamkan dirinya jauh ke dalam tubuhnya. “Ooohhh, My God, Alena.” Rudolf terkesiap ketika Alena menurunkan tubuhnya di sepanjang milik Rudolf, sementara tangan Rudolf meregang gelisah di atas permukaan paha Alena. Alena memejamkan mata, merasakan dirinya sangat terbuka di hadapan Rudolf. Tak dapat dipungkiri Alena memang menginginkan keintiman dengan pria yang selalu didambanya setiap malam. Keduanya berpandangan, hanya terpisah jarak beberapa sentimeter, di tengah ruang tertutup dengan seluruh dunia sedang berlalu lalang di sekitar keduanya. Alena membiarkan Rudolf meluncur lebih dalam. “Oh, Felix,” desah Alena, menarik napas dalam-dalam merasa tubuhnya terbuka begitu lebar. Rudolf menempelkan telapak tangannya di bagian bawah perut Alena, menyentuhnya dengan ibu jarinya dan menekankan jarinya dalam gerakan yang lembut. Tubuh Alena menegang, membuat Rudolf kian masuk ke dalam. Alena membuka mata dan menatap Rudolf dari balik kelopak matanya yang terasa berat. Rudolf terlihat tampan dan seksi dalam balutan kemeja putih yang di kenakannya. Leher Rudolf menengadah, kepalanya didesakkan ke sandaran kursi seolah ia sedang berusaha melawan gairahnya sendiri. “Ah, ya ampun, Sayang,” cetus Rudolf dengan gigi mengertak. “Pelepasanku akan luar biasa rasanya.” “Felix, aaarrgghhh!” Teriakan terkesiap meluncur dari mulut Alena saat ia berhasil menerima tubuh Rudolf yang mengeras di dalam tubuhnya, dan Rudolf mendesak kian dalam sampai Alena nyaris tidak tahan, tapi sepertinya tubuhnya tidak peduli. Tubuh Alena menggelenyar di sekililing milik Rudolf, meremas, gemetar di ambang puncak kenikmatan. “Sial, milikmu luar biasa, Alena. Milikmu meremas milikku, Baby.” Rudolf menyumpah dan mencengkeram pinggul Alena dengan tangannya yang bebas, mendesak dan mencondongkan badan ke belakang sementara napasnya terus memburu dengan cepat. Posisi keduanya mengubah tubuh Alena menjadi kian terbuka untuk Rudolf. “Apa kau menyukainya, Felix?” Pertanyaan yang meluncur dari bibir Alena sebelum membelai bibir Rudolf dengan lidahnya, mencicipi rasa keringatnya dan Alena memajukan tubuhnya ke depan. “Aku hanya menginginkan dirimu, Sayang.” Pinggul Rudolf bergerak tidak sabar, mengangkat dirinya dengan hati-hati dan mengingatkan Alena sekali lagi, “Pelan-pelan, Sayang.” Gerakan mereka sempat berhenti untuk dua detik sebelum Alena menurunkan tubuhnya kembali, menerima tubuh Rudolf yang kian terasa memenuhi rahim Alena, merasakan sakit dan nikmat ketika Rudolf mendorong dirinya melewati batas. Mata keduanya bertemu sementara kenikmatan memancar dari tempat mereka menyatu. Rudolf terus menciumnya, melumatnya tanpa bosan sementara Alena menggerakan pinggulnya. Alena tidak dapat memusatkan pikirannya pada apapun selain keinginan untuk bercinta dengan Rudolf, merasakan dirinya meledak dalam kuasa pria itu, dan tubuh Alena seakan merindukan pelampiasan yang telah lama ia tidak rasakan. Ketegangan itu meledak dan membebaskan Alena dari rasa lapar akan seks. “Aku merindukanmu, Felix. Oohh God,” Alena terisak, tersesat dalam diri Rudolf. “Kau terasa… ssstt, Felix. Ini terlalu nikmat.”   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD