4. Hari Ini Juga Kita Menikah?

1567 Words
Sekitar hampir lima detik Rama berhasil mencium Moza. Gadis itu kemudian segera berusaha melepaskan ciuman itu. “Apa yang kau lakukan, Rama? Aku telah berjanji menjaga tubuhku tidak dinodai oleh pria mana pun sebelum menikah. Tapi, kamu malah mencium bibirku. Ini namanya----- “ “Hentikan meributkan dan mempermasalahkan hal remeh seperti itu, Moza. Aku akan bertanggungjawab.” Moza belum selesai bicara. Rama sudah menyerobotnya. Moza melotot dengan mata seakan ingin copot. Lalu dia menepuk dahinya kesal. “Remeh katamu? Ya, Tuhan... Aku lupa kita berdua mungkin adalah manusia yang dilahirkan dengan otak berbeda. Bagiku bibir atau tubuhku ini sangat berharga dan perlu dijaga. Suatu saat ini nanti aku akan mempertanggungjawabkannya pada Tuhan,” tegas Moza dengan berkacak pinggang dan berapi-api. “Aku semakin suit memahamimu, Moz. Mengapa kamu malah sibuk berkhotbah?” tanya Rama mulai kesal. Moza menyeringai kesal ke arah lain. Sangat sulit membuat Rama mengerti dan memahami prinsipnya. Ciuman baginya adalah hal lumrah dan biasa saja. “Bertanggungjawab? Bagaimana caranya Rama? Selama ini bibirku belum dicium oleh pria mana pun. Bagaimana apa kamu bisa mengembalikannya?” tanya Moza kesal. Dia tak tahu pak Danu yang masih duduk di ruang sebelah ternyata juga menyimak percakapannya dengan Rama. Pria tua itu yang sudah berambut putih, tapi masih terlihat segar itu tersenyum menahan geli. Tiba-tiba Rama berlutut dan mendongak menatap Moza serius. “Menikahlah denganku, Moza. Hari ini, saat ini juga.” Moza tercengang. “Hari ini? Saat ini juga katamu?” Moza lalu tertawa sambil berkacak pinggang. “Hahaha.... Jangan bercanda, Rama. Pernikahan kamu pikir seperti acara kencan?” Rama berdiri lalu mendekat dengan menarik Moza ke dalam pelukan. “Aku tidak bercanda, Moza. Sangat serius. Bahkan aku merasa belum pernah seserius ini sebelumnya.” Moza membalas tatapan Rama dengan berani. “Aku tidak mau menikah denganmu hari ini.” “Kau tidak bisa menolakku, Moza. Aku akan memaksamu. Ingat, saat ini kau tawananku. Kamu berada di dalam kamar hotel bersamaku.” “Apa sebenarnya yang ingin kau rencanakan, Rama? Kau igin berbuat jahat padaku? Semalam, aku melamarmu secara baik-baik. Tidak ada niat untuk memanipulasimu. Dengan jujur aku mengungkapkan tujuanku sebenarnya padamu. Tapi, mengapa sekarang aku malah kau jadikan tawananmu? Aku sangat kecewa padamu Rama,” ungkap Moza dengan hati perih dan kedua mata berkaca-kaca. Tak tahu mengapa Rama sangat membuatnya kecewa. Baru semalam mereka saling kenal. Walau belum percaya sepenuhnya, tapi dia sudah mulai yakin dengan pria yang saat ini menatapnya tajam dan memeluk pinggangnya erat-erat itu. Tapi saat ini Moza merasa Rama menyakitinya, seakan pria itu kekasihnya. “Ikut, aku!” Rama melepaskan pelukannya lalu menarik pergelangan tangan Moza. Ingin menolak. Tapi Moza tak bisa menahan kekuatan Rama. Ia pun pasrah menurutinya. “Duduklah,” perintah Rama saat keduanya sampai di sofa. Pak Danu segera berdiri untuk mempersilakan Moza duduk. “Silakan, duduk, Nona.” Moza masih enggan duduk. Dia malah melihat ke arah lain seolah tidak mendengar perintah Rama dan juga pak Danu. Rama mengembuskan napas keras-keras. Kemudian dia mengarahkan pandangannya kepada pak Danu. “Mengapa mereka belum datang, Pak?” “Tadi dia bilang sudah sampai di hotel ini. Mungkin saat ini sedang dalam perjalanan kemari,” jawab pak Danu masih berdiri saja sama dengan yang lain. Baru mereka selesai bicara, bel pintu berbunyi. “Itu, pasti mereka,” ucap pak Danu. Kemudian bergegas membuka pintu. Moza dan Rama sama-sama mengarahkan pandangan ke pintu. Setelah pak Danu membuka pintu, seorang pria berdasi dengan setelan jas berwarna abu-abu masuk ke dalam. “Pagi, Rama,” ucap pria kira-kira seusia Rama itu. “Selamat pagi Felix. Duduklah,” ucap Rama. “Oke, terima kasih. Maaf, aku sedikit terlambat. Aku ingin cepat-cepat kemari, tapi Mamaku memaksaku untuk sarapan bersamanya. Jadi, aku harus menurutinya. Kalau tidak dia akan ngambek denganku satu minggu,” jelas Felix. “Ya, aku bisa mengerti. Tolong, segera keluarkan surat perjanjian itu. Kami harus segera membacanya terlebih dahulu.” “Baiklah. Semalam sampai rela begadang demi membuat ini.” Felix mengeluarkan sebuah map berwarna merah dari dalam tasnya. “Terima kasih, kau sudah bekerja keras untukku,” ucap Rama. Kemudian menoleh pada Moza. “Oh ya, Moz. Perkenalkan dia Felix Hermawan, pengacaraku.” Felix bangkit menyalami Moza. “Felix.” “Moza.” “Kau juga harus duduk, Moz. Kamu perlu membaca surat yang dibuat Felix dan aku.” Dengan berlagak malas Moza kemudian duduk. “Bacalah, perhatikan dan cermati setiap poin dengan baik. Kalau tidak setuju kamu boleh mengajukan keberatan,” ucap Rama menyodorkan beberapa lembar kertas dari dalam map merah tadi. Tanpa malas-malas lagi Moza dengan cepat segera menyambar surat perjanjian itu. Tentu saja dia sangat penasaran apa isinya. “Kamu ingin pernikahan ini berapa lama?” tanya Rama di sela-sela membaca surat perjanjian itu. Moza menoleh. “Sampai adikku tamat SMA. Satu setengah tahun lagi bagaimana?” “Baiklah aku setuju.” Rama lalu mengambil pena yang sudah disiapkan di meja untuk menanda tangani surat itu. Tak lama kemudian Moza pun mengikutinya. Tak ada poin-poin yang memberatkan bagi Moza. Jadi gadis itu pun merasa tak ada masalah untuk segera menandatanganinya. Pak Danu yang sejak tadi berdiri di dekat Rama duduk segera mendekatinya dan membisikkan sesuatu, “tapi, Tuan. Apa itu tidak terlalu singkat? Bagaimana Anda punya waktu membesarkan Alrash Corp. Andaikan pun bisa, apa Alrash tidak akan terguncang lagi dengan perceraian ini. Musuh-musuh Anda pasti akan menggorengnya lagi.” “Kamu jangan khawatir. Aku yakin saat itu Alrash Corp pasti sudah stabil dan bahkan jauh lebih baik dari sekarang,” jawab Rama sangat percaya diri. Pak Danu tak membantah lagi. Pria itu kemudian berdiri tegak lagi. Setelah selesai menandatangani surat perjanjian kontrak itu, Moza segera memotretnya. “Tidak perlu begitu, kamu akan menyimpannya satu,” ucap Rama menyodorkan surat perjanjian itu. “Bagus, terima kasih,” jawab Moza bergaya seolah dirinya berpengalaman. “Tolong, kamu simpan milikku, Felix.” Rama mengulurkan surat miliknya pada Felix. “Oke, aku akan menyimpannya.” Rama mengalihkan pandangannya pada Moza lagi. “Moza bersiaplah, MUA dan designer baju pengantin akan datang. Dia akan membawa beberapa baju pengantin yang sudah jadi untuk kamu pilih. Kita tak punya waktu membuat ide baju sesuai selera kita. Dua jam lagi kita menikah.” “Sudah kubilang aku tidak mau menikah secepat ini. Setidaknya tunggulah plaing tidak satu minggu lagi. Aku harus memberitahu Ibuku, saudaraku. Menikah itu bukan cuma kita Rama,” jelas Moza sambil berjalan menjauhi ruangan itu menuju ke area ranjang yang menurutnya lebih private karena tidak bisa di dengar secara langsung oleh pak Danu atau Felix. Rama mengikutinya. Sampai di sana, dia segera setelah itu dia meraih lengan Moza dan memutar tubuhnya sehingga menghadap pria itu. Rama menatapnya dengan sorot mata tajam dengan bibir menipis menahan geram. Kesal karena Moza terus menolak pernikahan ini. Tidak mencoba mencari tahu. Mengapa dirinya melakukan hal ini. “Kamu lupa kalau hubungan ini hanya kesepakatan di atas kertas. Kalau kamu tidak mau, ya sudah aku cari gantinya.” Moza terdiam. Rama membalikan badan membelakanginya. Kemudian dia berbicara dengan suara lebih rendah, “hari ini akan ada rapat pemegang saham yang bertujuan untuk menggulingkan diriku dari kursi CEO Alrash Corp. Jika kita tidak menikah sekarang juga, maka aku tidak bisa mempertahankan posisiku sebagai CEO. Mereka menganggapku bukan pria-pria baik-baik. Yang hanya akan menghancurkan reputasi perusahaan. Lama-lama bisa menghabiskan uang perusahaan karena terus bermain dengan wanita. Padahal selama ini aku tak pernah mengambil uang perusahaan sepeser pun.” Moza mendekat. Hatinya tersentuh dengan penjelasan Rama. Dia juga merasa bersalah, mengapa tidak bertanya apa alasan Rama mengajaknya menikah sekarang juga. Malah berprasangka menjebaknya. Moza meraih tangan Rama. “Baiklah, aku setuju kita menikah hari ini.” Rama membalikkan badan menatap Moza. Ada rasa tidak yakin di sorot matanya saat menatap gadis itu. “Aku bersungguh-sungguh Rama.” “Sungguh? Apa kamu yakin tak akan menyesalinya?” Moza mengangguk kemudian menggeleng. Rama pun segera memeluknya. Moza cukup terkejut. Tapi kemudian dia pasrah saja. Membiarkan Rama meluahkan kebahagiaannya. “Terima kasih. Aku tak akan melupakan jasamu.” “Sama-sama. Aku juga tidak akan melupakan jasamu. Kesepakatan kita memang untuk ini, kan,” ucap Moza masih dalam pelukan Moza. “Permisi, maaf,” ucap pak Danu dengan menunduk. Rama segera melepaskan pelukannya. “Ada apa pak Danu?” “Tim rias pengantin dan juga designer baju pengantin sudah datang, Tuan.” “Bagus, persilakan mereka semua datang kemari.” “Baik, Tuan, akan saya antar mereka kemari.” Rama meraih jemari tangan Moza. “Aku juga akan bersiap di kamar depan kamar kita ini. Aku keluar dulu.” Moza mengangguk. Rama pun melepaskan genggamannya lalu melangkah meninggalkan Moza. Hanya beberapa detik berselang, rombongang tim MUA dan designer baju yang membawa busana pengantinnya tiba. Moza mendengar mereka menyapa Rama ketika berpapasan. “Permisi, tuan Rama.” “Ya, silakan masuk. Calon istri ada di dalam sana. Dia sedang menunggu kalian.” Moza dibuat terkesima. Ada sepuluh orang masuk ke kamarnya. MUA beserta tim dengan peralatan riasnya dan tim designer yang membawa ada lebih dari lima busana pengantin yang indah untuknya. Dari yang bermodel sederhana sampai yang bermodel mewah. Pak Danu juga masuk. Pria berjalan mendekati Moza. “Nona, mereka yang akan membantu merias Anda. Mereka adalah MUA dan designer busana pengantin ternama di negeri ini. Tuan Rama sendiri yang memilihnya. Beliau berharap nona Moza menyukainya. Moza memperhatikan mereka satu persatu. Apa yang dilihatnya itu justru membuatnya bersedih. Meskipun telah berusaha tetap saja dia tidak dapat menahannya. “Maaf, saya permisi dulu.” Moza berlari ke kamar mandi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD