02 - SUMMER RAIN IN SHANGHAI

2070 Words
SRIS.02 MERASA ADA YANG BERBEDA HELENA HUANG “Helena, ini beberapa data absen dari para house keeper dan staff front desk bulan ini. Tolong kamu rekap dalam satu map.”Seorang pria paruh baya yang merupakan manager hotel berkata padaku sambil memberikan selembar kertas yang ada di tangannya. Aku menganggukan kepala dan menerima kertas tersebut, “Baik, Tuan.” Kemudian manager hotel itu kembali mengulurkan tangannya memberiku sebuah map sembari berkata, “Dan ini data dari calon tamu kita yang akan menginap malam ini di hotel. Mereka telah mereservasi beberapa kamar dan juga aula yang akan digunakan untuk acara perusahaan mereka malam ini. Setelah kamu merekapnya, tolong kamu antarkan data itu ke front desk.” “Baik, Tuan.” Setelah sang manager itu keluar dari ruangan staff administratif hotel, aku pun membuka map yang beliau berikan padaku untuk membaca dan memindahkan datanya ke dalam computer yang ada di hadapanku. Saat aku membaca data para tamu hotel tersebut, aku melihat nama perusahaan SH Multimedia sebagai salah satu perusahaan yang telah mereservasi aula dan beberapa kamar hotel. Perusahaan itu merupakan perusahaan dimana Aland Bai bekerja. Sepertinya perusahaan itu akan mengadakan acara dengan para staff nya malam ini. Dan pemesanan kamar hotel dan aula itu dilakukan atas nama Dalia Han selaku CEO dari perusahaan tersebut. Aku Helena Huang, seorang wanita pekerja keras dengan pemikiran sederhana. Karena aku berasal dari keluarga biasa, aku tidak pernah memiliki keinginan yang terlalu tinggi di luar kemampuanku. Semenjak lulus kuliah hingga beberapa tahun terakhir ini, aku bekerja di salah satu hotel bintang empat di kota Shanghai. Aku bekerja sebagai supervisor of guest service yang bertanggung jawab meng-hire house keeper, front desk, hingga concierge. Aku juga memiliki tanggung jawab mengurus dan berkomunikasi via telepon dengan calon tamu yang akan memesan kamar ataupun ruangan yang ada di hotel ini. Namun untuk pemesanan yang mengatas namakan SH Multimedia, sepertinya mereka langsung memesan pada manager hotel. Karena dari kemarin aku belum pernah menerima panggilan dari perusahaan tersebut. Aku selalu melakukan pekerjaanku dengan baik dan bukan tipe orang yang ambisius. Bagiku tubuh yang sehat, dapat hidup dengan baik dan menjalani hari-hari dengan baik dengan orang-orang terkasih adalah sebuah kekayaan yang tak tertandingi. Seperti yang aku alami selama dua tahun terakhir ini. Aku merasa bahagia menjalani kehidupan rumah tangga dan menjadi istri dari seorang pria yang sangat aku cintai, Aland Bai. Aland Bai adalah seorang pria tampan dan baik hati yang bekerja di perusahaan SH Multimedia. Seorang pria yang telah menjadi suamiku selama dua tahun terakhir ini. Tiga tahun lalu kami bertemu secara tidak sengaja di hotel tempatku bekerja untuk menawarkan jasa iklan yang dikelola oleh perusahaannya. Kami berdua saling jatuh cinta pada pandangan pertama. Setelah menjalani hubungan yang singkat, akhirnya kami memutuskan untuk menikah. Meski kami hanya memiliki waktu yang sangat singkat untuk saling mengenal, tapi kehidupan rumah tangga kami terasa begitu damai. Ia selalu memanjakanku dan memperlakukanku dengan baik. Ia juga tidak pernah mempermasalahkan hubungan kami yang hingga kini belum dikaruniai seorang anak. Ia sering mengatakan bahwa bisa selalu hidup bersamaku dengan damai adalah yang paling terindah dalam hidupnya. Dan ucapannya itu membuatku tersentuh dan meyakini bahwa ia benar-benar mencintaiku. Semakin hari aku hidup bersamanya, aku semakin mencintainya. Namun satu tahun terakhir ini ia sangat sibuk. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang memiliki banyak waktu untukku, tahun ini ia sering pulang larut malam karena terlalu sibuk bekerja. Setahun yang lalu, tepatnya di tahun pertama pernikahan kami, ia yang telah beberapa tahun bekerja di perusahaan tersebut sebagai staff design grafis, akhirnya naik jabatan menjadi kepala staff. Saat itu aku merasa sangat senang karena kenaikan jabatannya. Aku juga merasa senang karena kehidupan kami semakin lama semakin membaik. Tidak hanya keuangan keluarga kami yang membaik, dalam waktu satu tahun Aland Bai mampu membeli apartemen mewah dimana kami tinggal saat ini. Ia juga membelikan sebuah mobil pribadi untukku selain mobil pribadi miliknya sendiri. Ia juga selalu memberikan apa pun yang aku inginkan meski aku tidak pernah memintanya. Namun aku kehilangan waktunya yang selama ini selalu ada untukku. Dan aku harus berbicara padanya jauh-jauh hari agar aku bisa mendapatkan waktu yang berkwalitas bersamanya. Aku rasa semua ini adalah konsekuensi bagiku yang memiliki suami dengan jabatan penting di perusahaan tempat ia bekerja. Melihat nama perusahaan yang tercantum dalam daftar tamu yang akan menginap malam ini, aku teringat pada suamiku. Aku juga teringat pada tanggal pernikahan kami yang jatuh pada besok, 7 Juli. Seperti tahun sebelumnya, kami akan merayakannya dengan makan malam berdua dan menghabiskan satu hari bersama dengan jalan-jalan. Mengingat hal itu, aku pun dengan segera menghubunginya. “Helena… ada apa?” Aland Bai langsung mengangkat teleponku setelah aku mendengar nada tersambung satu kali. Aku merasa sangat senang karena ia menjawab panggilanku dengan cepat. Sambil tersenyum aku pun menjawab, “Aland, besok adalah hari ulang tahun pernikahan kita. Aku akan mengambil jadwal cuti besok. Apa besok kamu bisa libur?” Aland Bai yang ada di seberang telepon terdiam sejenak lalu berkata, “Baiklah. Akan aku usahakan.” “Oke. Sore ini aku akan pulang lebih awal. Aku akan memasak menu kesukaanmu untuk makan malam kita. Sampai jumpa nanti malam.” Aku berkata dengan penuh semangat. “Baiklah. Sampai jumpa nanti malam. Bye-bye” “Bye-bye.” Setelah mengakhiri panggilan pada Aland Bai, aku pun melanjutkan pekerjaanku. Aku menyelesaikan pekerjaanku dengan segera agar hari ini bisa pulang lebih awal. **** Sepulang dari bekerja, dengan segera aku mengganti seragam kerjaku dengan pakaian rumah. Kemudian aku langsung melangkah menuju dapur untuk memakai apron dan memasak menu spesial kesukaan Aland Bai. Aku memasak dengan penuh semangat sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Akhir-akhir ini Aland Bai sering pulang larut malam karena lembur di kantornya. Dan aku sangat berharap hari ini ia akan segera pulang dan makan malam bersamanya. Lagi pula tadi siang aku juga sudah memberi tahunya bahwa aku akan memasak makanan kesukaannya. Tidak butuh waktu lama bagiku untuk memasak beberapa menu malam ini. Aku bisa menyelesaikan semuanya sebelum Aland Bai pulang dari kantornya. Malam ini aku memasak beberapa menu untuk kami berdua. Seperti Shanghai Shun Yu yaitu ikan mas yang diiris dan dibumbui seperti ikan asap, chow mein, wonton yaitu pangsit yang berbentuk segitiga yang berisikan daging ayam cincang, dan juga mapo doufu. Aku melirik jam yang menempel di dinding setelah menghidangkan semua masakan di meja makan. Tanpa terasa hari sudah menunjukan pukul setengah tujuh malam. Itu berarti sebentar lagi Aland Bai akan pulang. Aku yang sudah tidak sabar menunggunya pulang, dengan segera melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Karena aku ingin saat Aland Bai sampai di rumah, aku sudah menunggunya dengan tubuh yang wangi dan pakaian yang bersih. Sudah hampir satu jam aku duduk di sofa menonton televisi. Namun suamiku Aland Bai belum juga pulang. Padahal kami sudah berjanji akan malam bersama malam ini. Menunggunya membuatku bertanya-tanya dalam hati. Apa ia lupa akan makan malam denganku? Apa ia masih lembur? Apa ada pekerjaan mendadak yang harus ia selesaikan? Atau sekarang ia sedang di perjalanan pulang dan terjebak macet? Tidak mungkin, hari sudah malam dan bukan lagi jam pulang kantor. Rasanya tidak mungkin terjadi macet malam begini. Seketika perasaan khawatir muncul di hatiku. Rasa khawatirku terhadapnya membuatku berinisiatif untuk menghubunginya. Namun baru saja aku mengambil ponselku untuk menghubunginya, ibuku malah lebih dulu menghubungiku. Tanpa berpikir panjang, aku pun dengan segera menjawab panggilan masuk dari ibuku. “Helena, apa kamu sudah pulang bekerja?” terdengar suara khas ibuku dari seberang telepon. “Sudah, Bu. Memangnya kenapa?” “Putriku, bisakah kamu datang ke rumah sakit. Ayahmu baru saja masuk rumah sakit. Sakit jantungnya kambuh lagi.” ibuku menjawab dengan nada cemas. Aku pun langsung bangkit dari sofa setelah mendengar jawaban dari ibuku. Mengambil kunci mobil yang ada di atas meja dan melangkah keluar rumah. Saat ini aku sangat mengkhawatirkan keadaan ayahku dan melupakan makan malam bersama suamiku. Setelah menikah dengan Aland Bai, aku ikut tinggal bersamanya. Sedangkan kedua orang tuaku tinggal di kawasan Xin Tian Di, dimana aku tumbuh dari lahir hingga dewasa. Setelah sampai di rumah sakit, aku merasa sangat lega. Karena ayahku telah berada di ruang rawat inap setelah ditangani oleh dokter dan tim medis lainnya. Saat ini ayahku tengah terbaring di atas tempat tidur pasien dalam kondisi tubuh yang lemah. Beliau menatap wajahku yang duduk di kursi yang ada di sampingnya cukup lama tanpa berkata apa-apa dan meneteskan air mata. Tatapan beliau terhadapku sangat jelas adalah tatapan kesedihan. “Ayah, kenapa Ayah menatapku dengan wajah sedih seperti itu?” Aku bertanya pada ayahku yang terus menatapku. Dengan perlahan ayahku menggelengkan kepalanya dan berkata dengan suara rendah, “Apa kamu baik-baik saja, Putriku?” “Ya, Ayah. Aku baik-baik saja. Ayah jangan bersedih, karena Ayah akan segera sembuh.” Aku tersenyum berusaha menghibur ayahku sambil menghapus air matanya yang berlinang. Setelah mendengar jawabanku, beliau kembali terdiam tanpa berkata apa-apa. Beliau memalingkan wajahnya ke arah lain dan memejamkan matanya seolah ingin tidur untuk beristirahat. Tidak lama setelah ayahku tertidur pulas, ibuku yang dari tadi duduk di sudut ruangan dengan wajah sedihpun bersuara, “Helena…” “Ya, Bu.” Aku menjawab sambil memalingkan wajahku ke arah ibuku. “Apa kamu kemari sendirian?” “Ya, aku kemari sendirian.” “Mana suamimu?” “Aland belum pulang dari kantor, Bu. Sepertinya malam ini ia lembur.” “Apa kamu sudah menghubunginya?” Aku menggelengkan kepala dan menjawab, “Belum, Bu.” “Kalau begitu, telponlah suamimu. Tanya keadaannya dan dimana ia sekarang.” Aku merasa sedikit kaget saat mendengar ibu menyuruhku untuk menghubungi Aland Bai. Biasanya ibuku hanya menanyakan kabar suamiku saat aku sedang tidak bersamanya. Namun kali ini terasa berbeda. Ada keganjalan yang aku rasakan dari sikap ibuku malam ini. Tatapan ayah dan ibuku terhadapku terlihat seperti tatapan kesedihan. Aku tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Tapi aku bisa merasakan ada hal yang ditutupi atau yang tak tersampaikan oleh kedua orang tuaku. “Baiklah, Bu. Aku akan segera menghubunginya.” Aku menjawab sambil bangkit dari kursi dan melangkah keluar ruangan. Setelah aku berada di luar ruang inap ayahku, aku pun menghubungi Aland Bai yang hingga kini belum mengabariku. “Hallo…” “Helena… maaf, aku belum bisa pulang. Aku…” Belum selesai Aland Bai bicara, aku pun memotong pembicaraannya,“Aland, sekarang kamu dimana? Apa kamu sudah pulang? Ayahku baru saja masuk rumah sakit. Saat ini aku sedang berada di rumah sakit untuk melihat kondisi ayahku.” “Aku belum pulang, Helena. Ada pekerjaan mendesak yang harus aku selesaikan. Sepertinya malam ini aku akan menginap di kantor. Maaf, jika makan malam kita gagal.” Dengan suara rendah dan perasaan kecewa aku pun menjawab, “Ya sudah, tidak apa-apa.” “Oh iya, aku juga minta maaf karena belum bisa ke rumah sakit sekarang. Aku akan mentransfer uang untuk biaya rumah sakit ayah.” “Ya.” Aku menjawab dengan singkat dan mengakhiri panggilan. Aku yang sedang bersandar di dinding koridor rumah sakit terdiam cukup lama dengan perasaan sedih. Tubuhku mematung mengingat sikap Aland Bai yang akhir-akhir ini terasa begitu berbeda. Ia tidak lagi hangat seperti dulu. Ia tidak lagi memiliki waktu untukku. Bahkan dalam keadaan seperti ini, ia lebih mementingkan pekerjaannya dibanding aku dan keluargaku. Aku merasa ada yang berbeda darinya. Saat aku tengah berdiri sendirian dan larut dalam pemikiranku sendiri, tiba-tiba sebuah tangan yang ramping menyentuh pundakku. Kemudian aku mendengar suara yang sangat familiar menyapaku. “Helena…” Aku pun menoleh ke samping dan menatap orang yang sedang berdiri di sampingku dengan wajah kaget. Ternyata orang yang baru saja menyapaku dan menyentuh bahuku adalah Felly Fang, tetanggaku saat aku masih tinggal di Xin Tian Di. Ia tidak hanya tetanggaku, tapi juga sahabatku dari dulu hingga sekarag. Hanya saja setelah kami dewasa dan aku menikah, kami sudah jarang bertemu karena kesibukan masing-masing. Meski disibukan oleh pekerjaan masing-masing, tapi kami berdua masih sering berkomunikasi dan memberi kabar satu sama lain. “Felly… Kamu mengagetkanku.” Felly menutup mulutnya dengan satu tangan sambil tertawa kecil melihat wajah kagetku. Tidak lama kemudian ia pun kembali bersuara, “Kenapa kamu di sini sendirian?” “Aku baru saja selesai meghubungi, Aland.” Aku menjawab sambil melangkah kembali hendak memasuki ruangan. “Apa kamu datang kemari untuk menjenguk ayahku?” “Ya, aku kemari untuk menjenguk ayahmu. Tidak, tepatnya aku yang tadi mangantar ayah dan ibumu ke rumah sakit.” Felly Fang menjawab sambil berjalan di sampingku. Aku pun tersenyum tipis pada Felly Fang dan berkata, “Felly, terima kasih telah mengantar kedua orang tuaku ke rumah sakit.” “Ya, sama-sama.” Kemudian aku membuka pintu ruang inap ayahku sembari berkata, “Felly, ayo kita masuk.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD