Bab 3 Perkenalan

1418 Words
“Kenapa pindah di tengah semester begini?” tanya seorang perempuan yang duduk di bangku depan, sengaja menoleh usai bel tanda istirahat berdenting.  “Iya, tanggung banget,” timbrung yang lain. Yang lainnya lagi saling bisik-bisik, “Dia diem aja dari tadi.” Perkataan mereka telah Sadina duga sejak Deka bilang besok mulai masuk sekolah. Duri-duri ketakutan yang bermunculan disekitar punggung, semakin parah ketika perkenalan diri di depan kelas sebagai murid pindahan. Duri-duri tak kasat mata itu menyembunyikan Sadina dari ancaman. Reaksi setiap orang baginya adalah ancaman besar. Sebenarnya Sadina ingin tidak peduli, tetapi masuk ke dalam lingkungan baru masih menjadi hal paling sulit. Sadina selalu banyak menerjemahkan tatapan orang-orang ketika memandangnya dari bawah hingga atas seolah menguliti. Ibunya pernah bilang, "Ketakutan itu hanya ada dalam pemikiran Nana saja. Percaya sama ibu, suatu saat nanti Nana akan mendapatkan teman sejati." Beberapa kali mencoba melihat orang-orang itu dari sudut lain—tanpa merasa takut dirinya tidak akan diterima dalam lingkungan—Sadina hanya merasa percuma. Semua tempat tidak merima anak yang jarang bicara, suaranya kecil, suka memisahkan diri, terkadang tidak mengerti pembicaraan karena kurang pergaulan. “A-aku ...." Suara Sadina hampir tak terdengar. Kedua tangannya sembunyi di bawah meja, meremas kuat ujung rok abunya. Mereka yang mengajak bicara harus mencari dimana wajah gadis manis berponi ini. Kepalanya terus menunduk, sehingga rambut lurusnya menutupi wajah. Tanpa sadar kesan pertama di tempat baru kembali hancur. Satu per satu meninggalkan Sadina sendirian. Mungkin nasibnya akan seperti di sekolah lama, tidak punya teman. Pada akhirnya semua tempat sama saja mengucilkan Sadina. Di sisi lain ruangan, Sajaka duduk sambil menyangga kepala di atas meja. Memerhatikan Sadina sejak pertama kali masuk kelas. Ia masih tidak menyangka ayahnya membuat mereka berada dalam satu kelas dengan alasan agar gadis itu bisa dipantau. Jika saja Deka tahu sesungguhnya satu kelas dengan Sadina keinginan terbesar Sajaka, pasti Selin tidak jadi menyekolahkan Sadina di SMA Deltaepsilon. Meski berada sangat dekat hampir 24 jam. Sajaka harus bersikap seolah mereka belum kenal. Beberapa hari tinggal bersama, Sadina lebih sering menjaga jarak. Sadina tidak nyaman jika ada yang menemaninya duduk menonton tv. Aura penolakan akan sangat terasa lewat sikap dingin dan kebungkamannya. Dia jarang terlihat berkeliaran di rumah, kebanyakan mendekam di dalam kamar. Entah apa yang dia lakukan, setiap Sajaka menempelkan telinga ke tembok, kamar sebelah selalu hening. Kedua orang tua Sajaka jadi khawatir. Selin mewanti-wanti putranya untuk menjaga Sadina dari kejauhan saja. Jangan biarkan anak-anak iseng mendekati Sadina. Entah mengapa ibunya begitu berlebihan mengenai Sadina, yang jelas Sajaka merasa ada sesuatu. “Nana?” Kelas sepi, hanya menyisakan mereka berdua. Sajaka menghampiri Sadina yang betah menelungkupkan kepala. Dari naik turun punggungnya yang teratur, Sajaka mengira Sadina tertidur. Sajaka iseng menunduk untuk memastikan gadis itu benar-benar tidur. "Nan--"  Tiba-tiba Sadina mendongak. Sajaka berjengit kaget sampai dengkulnya menubruk kaki meja. Linunya bukan main. Melihat Sajaka  meniup-niup lututnya sambil meringis, Sadina mengerjap linglung. Kekesalan Sajaka lenyap begitu tersirobok mata memerah itu. Bukan hanya matanya, hidungnya juga merah. Sadina habis menangis. Sajaka berhenti mengusap lutut, beralih duduk di atas meja barisan depan. “M-maaf ganggu. Cuma mau nanya tadi Mama ngasih bekal makan, kan?” Seperti biasa tiap diajak bicara, Sadina menunduk. ”Mending kamu makan mumpung jam istirahatnya masih ada.” Kalau saja Selin tidak memperketat soal interaksinya dengan Sadina, sudah Sajaka ajak gadis itu ke kantin dari tadi. Selin malah memberikan bekal agar Sadina tidak usah pergi ke kantin. “Aku harus lihat kamu menghabiskan makanan itu. Kalau nggak, nanti Mama ngasih aku hukuman,” deham Sajaka, lalu pura-pura memasang tampang galak. “Ayo buruan makan!” Dengan gerakan terburu-buru Sadina mengeluarkan kotak makanan dari dalam tas. Diam-diam Sajaka menyungging senyum tipis sambil terus melipat tangan di depan d**a. Sadina mudah sekali ditakut-takuti. Ibunya benar, Sadina harus selalu diperhatikan jangan sampai mereka berbuat semena-mena. “Jaka—“ ucap Sadina menggantung, “enggak makan?” Mungkin sebentar lagi jam istirahat akan segera berakhir. Sementara Sajaka terus di kelas memastikan Sadina menghabiskan seluruh bekal, bukannya pergi ke kantin seperti anak-anak lain. “Aku lihat kamu lama-lama juga udah kenyang.” “Ha?” Sajak berdeham, “Cepat habiskan makanannya. Sebentar lagi jam masuk. Kalau kamu makannya lambat kayak gitu, aku bisa nggak keburu ke kantin!" Suapan Sadina bertambah besar. Gadis itu berusaha mengunyah secepat mungkin seperti mengikuti kontes makan. Ia tidak ingin merasa bersalah bila nanti Sajaka kelaparan karena dirinya. Senyum Sajaka mengembang lagi. Belum pernah ia sesenang ini melihat orang lain makan. Segerombolan siswi kembali ke kelas tanpa sengaja memergoki keduanya. Keseruan obrolan mereka seketika senyap melihat Sajaka duduk di hadapan si murid baru. Lantas Sajaka bangkit dari duduknya, melempar senyum manis sembari berlalu keluar kelas. Hal itu cukup membuat perhatian mereka teralihkan. *** Setengah jam setelah guru mata pelajaran memulai materi, Sajaka baru datang. Sajaka dibiarkan masuk mengikuti kegiatan belajar tanpa hukuman. Sebelum Sajaka ada anak-anak yang terlambat lima menit dan mereka dilarang masuk oleh Pak Sammy. Sajaka diperlakuan berbeda di oleh semua orang di sekolah. Sadina juga menyadari Sajaka selalu memerhatikannya dari kejauhan. Sajaka sering kedapatan menatap ke arahnya, padahal guru tengah menjelaskan materi di depan kelas. Ketika guru bertanya sebagai teguran, Sajaka selalu bisa menjawab dengan benar. Kecerdasan Sajaka mengagumkan. Sadina mana bisa menjawab di posisi tidak fokus begitu. Memang tak heran medali dan piala satu lemari penuh di rumah milik Sajaka. Pak Sammy bahkan bilang kemampuan Sajaka telah melebihi guru, kalau saja Sajaka tidak menolak akselerasi, mungkin sekarang sudah lulus sarjana. Sepertinya hanya Sadina yang terkejut, yang lain biasa saja mendengar penuturan Pak Sammy. Tuk tuk tuk tuk! Seketika keseruan Pak Sammy bercerita teralihkan. Sebagian besar penghuni kelas menghela napas lega. Seseorang yang mengetuk pintu bagai penyelamat mereka dari kebosanan. “Maaf mengganggu, Pak. Kalau boleh saya minta izin bicara sebentar dengan Sajaka?” Bagai menyaksikan pertandingan bulu tangkis, tatapan semua orang berpindah-pindah antara siswa di ambang pintu, Pak Sammy, dan Sajaka. "Baik, silakan." Sajaka keluar kelas. Mereka bicara di balik pintu. Tak berapa lama Sajaka kembali menghampiri meja guru. Mereka terlibat pembicaraan singkat, tetapi serius. Dari anggukan Pak Sammy kali ini, Sajaka tampak mengucapkan terima kasih. Sajaka setengah berlari keluar kelas menghampiri temannya yang masih menunggu. Sadina mengendikkan bahu, mungkin Sajaka ada urusan penting. Hingga bel pulang sekolah Sajaka tak muncul lagi. Tas dan alat tulisnya masih tergelar di atas meja. Sadina melirik meja Sajaka sekali lagi sebelum keluar kelas. Dari bisik-bisik yang tak sengaja terdengar, Sajaka masih disibukan dengan kegiatan organisasi dan lomba padahal ia sudah kelas 12. Biasanya tingkat akhir sibuk menyiapkan segala keperluan masuk perguruan tinggi. Langkah Sadina lunglai menyusuri lorong sekolah. Ponselnya bergetar menampilkan pesan dari Selin. Wanita itu telah menunggu di parkiran sekolah. Sadina membalas, “Oke.". Deka dan Selin sepakat, sebelum Sadina hapal jalan sekitaran rumah dan sekolah, mereka akan gantian mengantar-jemput. Sadina tidak enak. Sajaka yang anak kandung mereka saja selalu berangkat dan pulang sendiri. "Nana kan anak keluarga ini juga," jawab Selin selalu begitu. Sampai rumah, Sadina mendekam di dalam kamar. Ia keluar waktu makan malam. Kali ini kursi di seberang Sadina kosong. Deka masih ada urusan kantor. Sedangkan Sajaka belum pulang. Selin bilang Sajaka masih di sekolah. Malam itu mereka makan malam berdua saja. Menjelang pukul 10, deru mesin kendaraan memasuki halaman rumah. Sadina yang tengah membaca doa sebelum tidur, tidak jadi menarik selimut. Cewek itu meloncat dari tempat tidur. Mengintip keadaan di luar dari jendela. Di bawah sana Deka keluar dari mobil. Sajaka turun dari motornya melangkah lebih dulu memasuki rumah. Sadina sungguh penasaran mengapa Sajaka pulang selarut ini. Tidak berapa lama terdengar derit pintu kamar sebelah. Tidak ada alunan musik yang biasa terdengar setiap Sajaka pulang. Kamar sebelah sangat hening.  Sadina berusaha tidak terganggu. Ia kembali menaiki tempat tidur dan menarik selimut sampai kepala. Esoknya ia baru mengetahui alasan Sajaka pulang malam. Ada kejadian yang menggemparkan sekolah. Seorang siswi mengakhiri hidup di toilet putri gedung paling ujung. Sebagai ketua OSIS yang masih menjabat hingga bulan depan, Sajaka punya tanggung jawab terhadap reputasi sekolah. Sajaka ikut membantu pihak sekolah mengurus kasus dengan membungkam kejadian ini dari semua murid. Sehingga kabar ini baru heboh keesokan harinya. Sayang, tanpa dapat dicegah foto-foto tempat kejadian tersebar ke setiap grup kelas. Slavina, siswi yang mengakhiri hidup itu kelas 11. Potret seorang gadis terkulai dengan mata terpejam, genangan darah dimana-mana, hasil tangkapan layar percakapan pesan singkat Slavina dengan dekatnya, dan segala tentang kepribadian tertutup Slavina menjadi topik hangat hari itu. Sebuah tautan web turut dibawa-bawa. Tautan web tersebut diduga tempat orang-orang kesepian. Entah karena ikut sedih melihat foto mengenaskan akhir hidup seseorang, atau Sadina merasa persamaan nasib. Ia tak henti menatap tautan web itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD