Bab 7 Diselamatkan

1259 Words
Sepertinya hanya Tris yang menyadari Sajaka kurang semangat tampil di atas panggung. Suaranya memang bagus, tidak ada salah lirik atau nada, hanya dalam beberapa kali kesempatan Sajaka kedapatan bengong. Tatapannya lurus ke depan. Terutama saat The Lost Island membawakan lagu melow, ekspresi Sajaka seolah nyambung sama lagunya. Orang-orang yang menonton pasti mengira Sajaka begitu karena menghayati lagu. Namun bagi Tris yang kenal Sajaka sejak SMP lumayan bisa membedakan kapan temannya sedang mendapatkan masalah dan kapan sedang menghayati lagu. Penampilan mereka dipungkas riuh tepuk tangan penonton. Di SMA Deltaepsilon, band mereka lumayan ditunggu-tunggu. Entah itu karena sekolah mereka tidak punya anak-anak band lagi mungkin. Makanya pada penampilan The Lost Island kali ini panitia menyiapkan kejutan. Sebelum naik panggung mereka tidak bilang kejutan itu adalah efek api. Kemunculan efek api yang menyembur di sisi panggung hampir membuat Sajaka terjengkang jika Bagas tidak refleks memegangi lengannya. Kejadian itu mengubah suasana seru puncak perayaan menjelang akhir sementer menjadi tegang. “Lu beneran nggak apa-apa?” Dari tadi Kevin menanyakan hal yang sama. Belakang panggung tempat mereka duduk. Sajaka yang pucat pasi bersandar di kursi plastik. Sebotol air diminumnya hingga habis setengah. Wajar Sajaka kaget, api itu muncul tepat di depan mukanya. “Gue udah datengin tukang panggungnya. Munculin efek api nggak pakai aba-aba. Panitia nggak ngasih tahu juga di akhir penampilan bakal kayak gitu. Kalau kita tahu kan nggak akan berdiri di ujung ya?” Bagas baru datang tapi sudah misuh-misuh sendiri. Teman-temannya cuma melirik kedatangan Bagas tanpa minat menimpali perkataannya. “Lagian tahun kemarin panggungnya nggak pake efek api. Sekarang kenapa gaya-gayaan segala? Anak SMA kan masih kecil nggak boleh main api. Payah banget. Mereka calon anak OSIS angkatan baru, kan?” Ternyata Bagas masih melanjutkan protesnya. “Gue masih ketua OSIS-nya by the way, Gas,” sahut Sajaka. Bagas mengekeh, “Eh, iya. Ya maaf ..., mulut kan nggak ada remnya.” Tidak heran sih Bagas segitunya. Soalnya dia hampir terkena semburan api juga. Bedanya kalau Sajaka kagetnya diam, Bagas kebalikannya. Di antara semuanya hanya Tris yang memasang tampang tenang. Cowok itu bersandar di tiang penyangga panggung sembari melipat tangan di d**a. Kaus hitam berlengan pendek dipadukan dengan celana denim berhasil membuat penampilannya sedingin namanya, Tris. Cowok itu lekat menatap Sajaka sampai yang ditatap mendongak. Sebelum Sajaka mengeluarkan suara, Tris memotongnya dengan nada mengintimidasi, “Sebenarnya ada masalah apa lo sampai nggak fokus kayak tadi?” Sajaka kontan merapatkan lagi mulutnya. Tris selalu diam-diam memerhatikan, lalu tahu segalanya. Sajaka akui tadi salahnya juga tidak berhati-hati. Kalau saja ia bisa fokus dan menyingkirkan masalah pribadi, mungkin kecelakaan di panggung tidak akan terjadi. Mendengar suara sinis Tris, Bagas mendadak berhenti mengomentari betapa payahnya panitia pengurus pentas seni tahun ini. Bila Tris bersuara berarti akan membahas hal serius. Ternyata Tris tengah mengajak Sajaka bicara. Kevin menoleh pada Bagas karena bingung, tapi mereka hanya berakhir saling melempar pertanyaan lewat bahasa mata. Bagas mengendikkan bahu sama-sama belum mengerti arah pembicaraan dua temannya. “Dari sebelum naik panggung juga lo nggak fokus, gue perhatiin. Biasanya lo nggak gitu kalau nggak lagi ada masalah.” Sajaka meringis. Tidak ada yang mengenal Sajaka lebih baik dari Tris dalam pertemanan mereka berempat. Sajaka sulit menghindar tatapan Tris yang menuntut jawaban itu. Mana mungkin ia mengatakan hal sesungguhnya kalau sejak tadi ia menunggu seorang penonton spesial, tapi orangnya nggak datang. Bisa diejek sampai hari kelulusan kalau begitu ceritanya.  Sajaka serasa bucin banget. “Gua lagi nggak enak badan aja.” “Harusnya lo cerita, Bro.” Kevin menepuk bahu Sajaka. Sudut bibir Tris bekedut kecil sambil menyambar tas gitar dan menyangklungkannya di bahu kanan. Sajaka melihat jelas ekpresi Tris itu. Ia tahu perkataannya tidak dipercayai Tris.  Beberapa langkah dari belakang panggung Tris tiba-tiba balik badan, “Oh iya, sebelum pulang masukin peralatan band ke mobil. Gue balik dulu ke kelas ada yang ketinggalan.” Habis itu Tris resmi melenggang pergi membiarkan teman-temannya mendumal. Mereka cuma mengeluh sebentar saja. Sadar diri tanpa peralatan musik milik Tris, band mereka mustahil terbentuk. Apa boleh buat mereka harus menuruti perintah Tris, jadi tukang angkut barang. ** Yang tertinggal di kelas itu pick gitar berwarna hitam. Bukan barang berharga tinggi sebenarnya, hanya bagi Tris terlalu istimewa kalau sampai hilang. Beruntung pick gitar kesayangannya masih berada di kolong meja. Alat bantu petik senar gitar itu pemberian mendiang kakeknya waktu Tris berhasil memainkan sebuah lagu pertama kali.  Di permukaannya ada inisial nama pemiliknya Tr alias Tris. Tris jarang menggunakan pick gitar pemberian kakeknya. Takut cepat rusak dan tidak ada gantinya. Tris akan membawanya ke setiap penampilan panggung, menjadikannya jimat keberuntungan. Terbukti tidak membawa pick gitar pemberian kakek, penampilan band-nya tadi terasa kurang. Hampir ada kecelakaan pula. Begitu selesai menuruni tangga dari lantai dua dimana kelasnya berada, Tris berpapasan dengan tiga cewek. Hanya satu cewek yang dikenal Tris, yaitu Davia sahabat dekat Sajaka. Gelagat ketiganya agak aneh menurut Tris, seperti ... habis melakukan kesalahan? Tris menggeleng tidak mau ambil pusing. Sayup-sayup kemeriahan acara pentas seni mengiringi langkahnya di lorong sepi. Semua anak Deltaepsilon berkumpul di lapangan. Tris jadi sedikit bebas bersenandung kecil. “Tolong!” Langkah Tris tersentak. Tadinya mengira itu suara tabuhan musik di pentas seni. Lama-lama ia celingukan mendengar lebih jelas di salah satu pintu digedor keras. “Tolong!” “Ada orang di luar?” “Bisa bukain pintunya? Tolongin aku!” Suaranya terdengar dari arah penyimpanan barang di dekat perpustakaan. Langkah Tris praktis bergerak menuju ruangan paling ujung. Nggak tahu kenapa, Tris tahu-tahu penasaran siapa yang menggedor pintu. Padahal dirinya selalu tidak peduli pada apa pun. “Tolong!” Semakin jelas dengan gerakan pintu yang berusaha di dobrak dari dalam. Dalam jarak dekat begini Tris mengenai suara ini meski hanya sekali dua kali ia mendengarnya di rumah Sajaka. “Sadina?” panggilnya mendekat. “I-iya ini aku. Tolong bukain pintunya. Tolong!” teriaknya memohon disertai tangis. Sebuah kayu menyilang pada gagang pintu. Tris melepaskan gagang kayu itu. Ketika pintu terbuka, cewek itu melangkah pelan keluar. Rambut panjangnya acak-acakan, diperparah dengan sembab di matanya yang tak kunjung berhenti mengeluarkan air mata. “Makasih,” katanya sambil mengusap lelehan air mata di pipinya menggunakan lengan cardigan. Penampilan menyedihkan cewek ini akan membuat siapapun iba, termasuk Tris. Terpaksa Tris merogoh saku celana abunya, lalu mengulurkan kain dilipat segi tiga ke arah Sadina. “Nih, berhenti nangis. Salah sendiri main dalam gudang.” Sadina menatap uluran tangan Tris ragu, sampai Tris kesal sendiri dan berinisiatif mengusapkan sapu tangan miliknya pada sisi wajah Sadina. Tindakan mendadak teman band-nya Sajaka membuat Sadina terbelalak. Dalam beberapa lama kemudian Tris sadar apa yang dilakukannya setelah tatapan mereka tersirobok. Tris berdeham canggung. Apa-apaan ya barusan itu? Tris menggeleng, berusaha membenahi posisi gitar di gendongannya padahal baik-baik saja. Sapu tangan tadi tanpa sengaja ia lempar, dipungut Sadina. “Kenapa nggak ngehubungin Sajaka?” Sadina memperlihatkan ponselnya mati total. Layarnya terdapat retakan-retakan panjang menyerupai akar. Cukup mengejutkan Tris. Terkurung di dalam gudang, ponselnya rusak, ini ... ada apa sebenarnya? “Ponsel aku mati, nggak bisa menghubungi siapa-siapa.” “Ya udah gue bantu teleponin si Jaka. Tadi dia udah siap-siap mau pulang, semoga aja masih di sekolah—“ "Jangan!" cegah Sadina mencekal tangan Tris. Mendapat raut muka tak suka dari cowok di depannya, Sadina tergagap melepaskan cekalan. "M-maaf, tapi jangan kasih tahu Sajaka." "Kenapa?" Sadina tidak menjawab. Kepalanya jatuh tertunduk memandangi tangannya saling bertautan. Akhirnya Tris menyerah, seperti kata Sajaka sangat sulit mengajak Sadina bicara. Sedangkan ia tidak mungkin membiarkan cewek lugu ini pulang sendiri dalam keadaan begini. Kemeja putihnya kotor pula. Usai menaruh tas gitarnya di lantai, Tris melepaskan kemeja flanel kotak-kotak abu tuanya dan melemparnya pada Sadina. "Pake. Gue anter lo pulang." 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD