Bab 6 Ketakutan

1105 Words
"Aku nggak mau Davia tambah marah ke aku." Ucapan Sadina yang penuh permohonan itu sore tadi di balkon mengusik tidur Sajaka. Cowok itu sudah guling kiri guling kanan demi mendapatkan kantuk. Sayangnya, hingga jarum jam menuduh angka dua, ia masih terjaga. Sadar ia tidak akan bisa tidur sampai matahari terbit, Sajaka mengeluarkan sebuah botol dari dalam laci nakas di samping tempat tidur. Dikeluarkannya sebutir dari botol. Selin yang memberikan obat tidur agar Sajaka bisa beristirahat jika sudah lelah belajar seharian. Sajaka hanya sesekali meminum obat jika pola tidurnya terlalu kacau. "Ayo, Sadina!" Tiba-tiba suasana di sekitar berubah dalam satu kedipan mata. Sajaka melihat dirinya waktu kecil sedang berlarian sambil mengenggam tangan anak perempuan. Mereka mengenakan baju yang serupa, berwarna biru dan putih. Dari lorong ke lorong yang berbelok-belok kaki kecil mereka berlarian. Bangunan itu tak terawat. Sarang laba-laba dijumpai di setiap sudutnya. Tembok yang sudah mengelupas menampilkan tekstur batu bata menambah kesan tua. Kedua anak itu terengah-engah menuruni tangga. Sesekali menengadah ketika mendengar langkah kaki di titian tangga teratas. Seseorang berdiri di sana. Orang yang memakai topeng seolah mengetahui keberadaan Sajaka dan balas menatapnya. Sajaka dibuat tersentak. Menyadari tatapan mata pria bertopeng semakin dekat dan kini tepat berada di hadapannya. Tak lama terdengar siulan yang perlahan semakin bising. Sajaka membuka mata. Langit-langit kamar menjadi pemandangan pertama. Keringat di leher mengalir hingga punggung menciptakan rasa tidak nyaman. Mimpi itu datang lagi. Sudah lama mimpi buruk absen dari tidurnya. ** Di mulai dari percakapan di balkon rumah Argajaya kemarin, Sajaka dengan Davia menjadi renggang. Davia menghindar berpapasan dengan Sajaka yang pulang dari kantin membelikan makanan kesukaan Sadina. Cewek itu marah tidak dibela oleh sahabat sendiri. Sedangkan Sajaka bingung mana mungkin membela pelaku perundungan. Ini bukan hanya menyangkut jabatannya sebagai ketua OSIS, tapi juga menyangkut seseorang yang ia sukai. Sajaka telah berjanji akan melindungi Sadina sejak mendengar percakapan kedua orang tuanya soal Sadina yang kini sendirian. "Lu sama Davia kenapa deh? Tumben kalian canggung pas ketemu tadi." Sajaka hanya melirik Kevin sekilas, "Dia lagi periode kali." Mendengar jawaban itu mulut Kevin membulat, setelahnya membahas hal lain. Sajaka cukup lega Kevin orangnya tak sekepo Bagas. Kalau saja Bagas mendengar percakapan bisik-bisik ini sudah dipastikan Sajaka dicecar banyak pertanyaan. Entah dimana gitaris The Lost Island itu. Ketika Sajaka celingukan, sedikit jauh dari panggung tepatnya dekat kerumunan penonton yang duduk di tangga keberadaan Bagas tertangkap olehnya. Bagas tengah berhadapan dengan seseorang. Pacarnya yang belum pernah dikenalkan, tapi The Lost Island seakan sudah kenal lama sebab Bagas terlalu sering menceritakan cewek ini. "Dasar bucin!" dengus Sajaka mengundang perhatian Kevin dan Tris. "Tuh sih Bagas kayak di dunia ini yang pacaran cuma dia aja!" Mereka geleng-geleng kepala. Kelakuan Bagas jika ada pacarnya suka lupa daratan. Kevin terpaksa menyibak kerumunan demi membawa Bagas bersiap tampil.  "Emang lagi musim kali ya macarin cewek-cewek pendiem gitu. Bagas bucin sama Diyana. Elu juga, Jak." Sajaka melotot, "Kok gue?" Tris bicara sembari asik menyetel gitar, "Bentar lagi juga bucin sama siapa cewek yang tinggal di kamar sebelah itu? Sadina?" "Sok tahu, lu!" Tris mengendikkan bahu. Dia ini paling kalem di band mereka. Jarang bicara, tapi sekalinya berkomentar tepat sasaran. Sejenius-jeniusnya Sajaka kalau berdebat dengan Tris pasti kalah. Selain omongannya tajam, mungkin alasan lainnya karena aura Tris yang dingin dan tajir. Ini sebagian besar peralatan nge-band mereka dari gitar, keyboard sampai satu set drum punya Tris semua. Anggota The Lost Island lainnya cuma numpang nama aja kayaknya. "The Lost Island habis penampilan tari daerah, ya, Kak." Salah satu pengurus OSIS mengingatkan jadwal. Hari itu SMA Deltaepsilon mengadakan pentas seni. Di puncak acara seperti tahun-tahun sebelumnya The Lost Island tampil sebagai bintang tamu. Begitu The Lost Island naik ke atas panggung, riuh penonton menyambut mereka. Band yang dibentuk sejak dua tahun lalu itu cukup terkenal di kalangan perempuan. Sajaka menghela napas, layar ponselnya kembali menghitam. Sadina tak kunjung mengangkat panggilan teleponnya. Akhirnya Sajaka memasukkan ponsel ke dalam saku jaket sebelum mengikuti teman-temannya naik ke atas panggung. Dengan langkah ringan Sajaka menyapa penonton. Sajaka yang terbiasa menjadi pusat perhatian di atas panggung itu terasa lebih bersinar. Tanpa ada yang tahu di balik senyum lebar Sajaka, matanya awas mencari di antara kerumunan penonton. Berharap seseorang berdiri. Sajaka kecewa orang itu melanggar janjinya.  Rico : Egois itu ga salah. Rico : Ada saatnya manusia harus memikirkan kebahagiaan diri sendiri sebelum kebahagiaan orang laon Rico : typo *lain. Personal chat dari teman mayanya direnungi Sadina semalaman. Ia merasa bersalah gara-gara dirinya persahabatan antara Sajaka dan Davia renggang. Walau bagaimanapun Sadina orang baru dalam kehidupan Sajaka. Sadina mendapatkan tanggapan dari Rico setelah cerita semuanya. Kata Rico sikap Sajaka menegur perundungan itu sudah benar. Namun, Sadina tetap merasa ini salah. Kini Sadina diam di dalam perpustakaan. Semua orang berkumpul di lapangan menyaksikan pentas seni. Sayup-sayup alunan musik dan riuh penonton terdengar sampai ke tempat Sadina. Bukannya tidak mau ikut bahagia, tapi di sana hanya ada keramaian yang akan membuatnya merasa sendiri. Sadina membalikan layar ponsel. Berkali-kali benda persegi itu bergetar menampilkan nama Sajaka. Sadina sengaja tidak menjawab semua panggilan. Ia tahu pasti Sajaka menanyakan keberadaannya sekarang. Bukan tidak mungkin jika diberi tahu Sajaka akan langsung menjemputnya di sini. Tadi pagi Sajaka berdiri di depan kamar. "Nanti aku tampil di pentas. Kamu belum pernah nonton The Lost Island, kan--" "Kalian sering nyanyi-nyanyi di balkon," sela Sadina waktu itu bikin suasana berubah serba salah. Sajaka terkekeh, "Itu kan di balkon, di panggungnya belum. Nanti di sekolah acara puncaknya tonton kami, ya?" Sadina hanya diam saja, tapi Sajaka buru-buru membuat kesimpulan. "Diamnya kamu berarti setuju." Habis itu Sajaka balik badan, setengah berlari menuruni tangga seolah sengaja agar tidak mendengar penolakan Sadina.  Sekarang mengabaikan panggilan Sajaka lama-lama menimbulkan rasa tak enak. Meski tidak berjanji akan datang, tapi bukankah sudah seharusnya Sadina menuruti kemauan sederhana Sajaka? Selama ini kan Sadina numpang tinggal di rumah keluarga cowok itu. Sadina berdiri. Mondar-mandir di ruang baca paling belakang. Berada dalam keramaian sangat dihindarinya, tapi di sisi lain takut Sajaka kecewa karena dirinya tidak datang. Ponselnya bergetar lagi, nama Sajaka mengapung lagi di atas layar. Sadina menggigiti bibir bagian dalamnya. Bimbang angkat atau tidak. Panggilan itu berakhir dengan sendirinya. Beberapa menit kemudian tidak ada getaran di ponsel lagi. Sajaka berhenti menghubungi. Seketika bahu Sadina turun. Memikirkan kemungkinan Sajaka kesal. Jalan satu-satunya demi menghargai kedua orang Sajaka juga, ia harus datang ke acara pentas seni. Hanya sebentar, kan? Melihat Sajaka tampil dari kejauhan, habis itu pergi dari sana. Sadina mengangguk-angguk pada idenya.  Baru sebelah kaki melangkah keluar perpustakaan. Mendadak Sadina berhenti. Matanya terbelalak, di hadapannya berdiri tiga orang di depan pintu. "D-Davia?" Dalam genggaman tangannya Sadina merasakan getar ponsel. Tanpa melihatnya ia tahu pasti panggilan dari Sajaka lagi, tapi sekarang Sadina benar-benar tidak bisa menjawabnya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD