Jika sering memerhatikan orang yang disuka, perubahan sekecil apa pun langsung terasa.
Akhir-akhir ini Sajaka merasa Sadina berbeda. Di kelas, cewek itu sering kedapatan asik sendiri memainkan ponsel sambil senyum-senyum. Di rumah juga, Sadina makan lebih cepat dari biasanya dan menghilang ke dalam kamar lagi. Tiap Selin memintanya menemani nonton drama Korea, Sadina sibuk menatap layar ponsel sambil sesekali mengetik di sana.
Lama-lama Sajaka curiga. Apa Sadina punya pacar?
Sajaka tidak berani bertanya, soalnya mereka tidak sedekat itu untuk berbagi hal pribadi. Meski mereka pernah dekat waktu kecil dulu, sepertinya hanya Sajaka yang ingat. Jadinya ia hanya mampu melanjutkan kebiasaan memerhatikan Sadina dari jauh walau penasaran terus mengganggu.
"Kamu selalu lihatin anak baru itu. Kenapa sih sama dia? Suka?" Satu kali Davia bertanya.
Entah mengapa Sajaka menangkap ketidaksukaan Davia setiap ia membahas Sadina. Dulu setelah pindah rumah, Davia memang orang pertama yang mengajak Sajaka main di lingkungan baru. Mereka bertetangga. Sajaka mengerti, karena selama ini mereka bersama-sama, mungkin Davia tidak siap kalau sahabatnya menyukai gadis lain.
"Kalau suka enggak masalah, kan?"
"Ya ... enggak sih," katanya terdengar ragu.
Padahal matanya jelas meneriakan ketidaksetujuan. Davia memalingkan muka agar Sajaka tak membaca ekspresinya lebih jauh. Cewek berambut sebahu itu melepar bola basket pada Sajaka. Kemudian mereka main basket sampai lelah seperti pembahasan sebelumnya tidak pernah ada.
Sebenarnya Sajaka khawatir sikap Davia yang seperti menjaga barang kesayangannya agar tidak direbut orang lain ini akan menimbulkan masalah.
Terhitung dari Sadina tinggal di rumah Sajaka, Davia berhenti berkunjung. Biasanya setiap hari libur Davia akan berisik. Berkali-kali Sajaka mengajak Davia berkenalan dengan Sadina, supaya Sadina punya teman juga. Davia selalu punya banyak alasan untuk menolak. Anehnya lagi setiap Sajaka bersama Davia, Sadina tampak menghindar. Kecurigaan Sajaka bertambah kala tidak sengaja melihat Davia keluar dari toilet bersama tiga cewek teman sekelasnya dan tidak lama Sadina juga keluar. Raut ketakutan Sadina membuat Sajaka tertegun.
Ini ada yang salah.
"Di sekolah ada yang mengganggu kamu tanpa sepengetahuan aku?"
Sadina tersentak pintu kamarnya ditahan. Mereka saling berhadapan di depan celah pintu. Raut wajah Sajaka sangat serius. Sadina tak berdaya pintu kamarnya didorong hingga terbuka lebar. Jarak mereka menjadi sangat dekat. Tinggi Sajaka mengharuskan Sadina mendongak ketika bicara.
"Sadina, jawab. Aku nggak terima kamu bohong ya. Kamu tahu kan aku bakal menghajar siapa aja yang ganggu kamu?"
Justru itu, Sadina takut Sajaka melakukan hal menakutkan tanpa mau bicara baik-baik dulu.
"Enggak ada, Jaka," jawab Sadina menunduk. Suaranya sangat pelan.
Kedua mata Sadina bergetar tak tenang, sedangkan kedua tangan saling bertautan. Dari sana Sajaka yakin cewek di hadapannya ini menyembunyikan sesuatu.
"Oke. Kalau gitu aku cari tahu sendiri," pungkas Sajaka balik badan meninggalkan kamar Sadina.
Tangan Sadina mengambang di udara, gagal mencegah Sajaka pergi. Keberaniannya untuk berkata jujur tak sebesar ketakutannya kini. Firasatnya mengatakan sebentar lagi masalah besar akan datang.
Sadina menghela napas lesu. Diraihnya ponsel di dalam saku celana. Akhir-akhiri ini ia bergabung ke dalam sebuah web. Di sana ia mendapatkan teman-teman yang lambat-laun memiliki kecocokan dengannya. Ada seseorang yang menarik perhatian Sadina sejak awal perkenalan.
Redzzona : Rico?
Entah mungkin karena Sadina punya kenangan bersama anak bernama Rico waktu kecil, jadi ia merasa ikatan secara emosional dengan Rico dalam web itu. Sadina sulit akrab dengan orang baru, tetapi dengan Rico tidak begitu. Padahal mereka dalam web menggunakan nama samaran, tidak tahu nama asli, tidak tahu bagaimana rupa sebenarnya. Berada di sana, Sadina seperti telah menemukan kehidupan yang ia inginkan.
Rico tidak membalas. Terakhir mereka saling bertukar pesan kemarin malam. Tatapnya tertuju pada pop up panggilan tak terjawab dari sang kakak. Di saat seperti ini ia memang membutuhkan teman bicara, tetapi bicara pada Deral ... masih belum bisa. Jika mendengar Sadina mengeluh sedikit saja pasti Deral akan menjemputnya dari sini. Serba salah. Sadina melempar ponselnya sembarang arah di tempat tidur.

**
Tempat dimana biasa Sajaka duduk menyantap makan malam dilirik lagi, kosong. Setelah percakapan tadi sore, Sajaka tak terlihat. Sadina khawatir cowok itu melakukan sesuatu.
Selesai makan, Sadina bantu-bantu Selin membereskan piring kotor. Saat bersamaan Sajaka masuk rumah menarik tangan seseorang. Sadina terbelalak, sama sekali tak menyangka Sajaka membawa orang itu.
"Davi? Kemana aja baru kelihatan?" Selin menyapa. Kelihatan sekali mereka akrab.
Davia tersenyum canggung, menyalami ibunya Sajaka. Sudah lumayan lama tidak main di rumah keluarga Argajaya. Biasanya rumah Sajaka adalah rumah keduanya dikala bosan. Kini kehadiran seseorang di tengah keluarga itu membuat Davia enggan. Sekilas tatapan Davia menyerukan permusuhan pada seseorang yang mematung di dekat meja makan.
Sajaka menyaksikan itu semua. Ia menelengkan kepala meminta Sadina ikut dengan mereka ke lantai atas. Dari gestur tak ingin dibantah Sajaka kemungkinan mereka akan membahas hal lumayan serius. Sadina terpaksa menuruti permintaannya usai meja makan bersih.
Jujur, debaran tak enak mengiringi langkah kakinya dari mulai menaiki tangga. Sadina berjalan menuju balkon tempat Deka ngopi sore-sore. Seseringnya balkon dipakai kumpul Band The Lost Island.
Keduanya kompak menoleh begitu Sadina muncul di pintu. Mereka berdiri saling berjauhan. Sangat terasa ketegangan di sana.
"Aku mau semuanya clear. Sebenarnya ada masalah apa antara kalian berdua?" Pertanyaan Sajaka tanpa tedeng aling-aling.
Davia memalingkan muka, mempertahankan gaya angkuhnya melipat tangan di d**a. Sementara Sadina menunduk takut. Suasana ini sangat ia hindari.
Sajaka berkacak pinggang . Salah satu teman Davia mengaku bahwa mereka mengacam Sadina agar berhenti dekat-dekat dengannya. Jadi kejadian yang Sajaka lihat Davia dan kedua temannya keluar toilet menyusul Sadina dengan raut ketakutan itu ternyata bukan kali pertama. Mereka diam-diam mengancam Sadina tanpa sepengetahuan Sajaka.
"Kita sahabatan udah lama, Dav. Kenapa hal kayak gini harus terjadi?" Sajaka kecewa. "Diomongin baik-baik kan bisa. Nggak harus melabrak Sadina di belakang aku segala. Apa salah Sadina?"
"Salah dia?" Davia balas menatap tajam. Ingin rasanya meluapkan amarah, tapi itu tak mungkin. Davia sadar kemarahannya nanti hanya akan menghancurkan persahabatan mereka. "Dia pasti ngadu, kan? Ngomongin aku yang nggak-nggak."
"Sadina nggak bilang apa-apa, Dav. Aku yang nyari tahu sendiri. Mau dipaksa gimanapun Sadina nggak akan pernah jujur dia dilabrak sama siapa. Dav, ini ada apa sih? Kalau ada masalah sini sekarang selesaikan lah. Jelek banget main labrak-labrakan."
Sekarang Sadina menjadi saksi dua sahabat ini berdebat. Ini yang ia hindari dengan tak mengatakan hal sebenarnya pada Sajaka. Sadina takut gara-gara dirinya persahabatan mereka renggang.
"Masa orang yang aku lindungi disakiti sama orang terdekat aku sendiri? Minta maaf sama Sadina."
Bukan hanya Davia, tapi Sadina juga mendongak. Panas telinga Davia mendengar perkataan Sajaka seolah posisinya tak lebih penting dari anak baru itu. Kini Sajaka sahabatnya sendiri tidak membela. Sajaka telah berubah.
Davia berdiri, mengakhiri diskusi ini. "Nggak akan pernah," katanya sengaja menubruk Sadina sambil berlalu.
"Dav--"
Sajaka hendak melayangkan protes jika Sadina tak mencekal tangannya. Sadina menggeleng, "Aku nggak mau Davia tambah marah ke aku."
Sesungguhnya dua gadis itu menempatkan Sajaka dalam dilema.