Bab 1 Memilih

1236 Words
Gorden yang berkumpul di sisi kanan membiarkan cahaya matahari merangkak masuk hingga mengenai tepi ruangan. Suara ketukan terdengar dari balik pintu. Sejak kemarin silih berganti ada yang mengetuk pintu, setelah hening sepanjang malam, ketukan itu hadir kembali. Kali ini suara Deral yang meminta adiknya keluar kamar.  Sadina tak menggubris, terus bersembunyi di dalam kegelapan lemari. Kehilangan ibu menjadi babak baru dalam hidupnya. Ia belum bisa menerima ini nyata atau mimpi. Semalaman menangis di dalam ruang sempit dan gelap tidak membuat kekosongan di dalam hatinya sirna. Sadina malah tambah ketakutan. Di saat seperti ini biasanya ia mendapatkan pelukan hangat yang menenangkan. Sekarang pemberi pelukan itu telah pergi untuk selamanya.  "Sadina ...," panggil Deral lemah.  Pemuda berkulit putih itu menempelkan kening di pintu. Ia bertanggungjawab menjaga Sadina setelah kedua orang tuanya tiada. Keadaan mereka sama-sama yatim-piatu. Berduka ditinggalkan orang tersayang yang dijadikan sandaran hidup, Deral paham betul bagaimana rasanya. Kedua orang tuanya juga telah tiada dari lama.  "Nana, ayo keluar. Dari kemarin pagi belum makan. Ini Deral."  Di sela pintu lemari yang sedikit terbuka, Sadina mengintip keadaan luar. Sadina bukan tega terus mengabaikan kakak sepupunya. Deral begitu perhatian, tetapi yang Sadina butuhkan hanya waktu sendiri. Ia takut jika melangkah keluar lemari yang memberinya rasa aman, kenangan bersama ibu di setiap sudut rumah akan menghancurkannya.  Sadina mengusap lelehan air mata di selasar pipi. Tangannya menarik kembali pintu lemari hingga tertutup rapat.  "Maaf, Kak Dei."  Di luar sana Deral masih berdiri di depan kamar. Bingung harus melakukan apa lagi agar adiknya mau menampakkan diri.  Bahunya ditepuk seseorang, saat menoleh ternyata itu Selin, sahabat dari ibunya Sadina. Deral memberikan gelengan kepala.  "Sadina terpukul sekali dengan kehilangan ibunya. Mereka sangat dekat. Akan butuh waktu menerima semua tak lagi sama."  Tak lagi sama ....  Pandangan Deral lantas tertuju pada potret dua manusia yang menggantung di dinding. Sadina dan ibunya tersenyum lebar ke arah kamera. Kedekatan kedua perempuan berbeda generasi itu lebih terlihat seperti teman dekat daripada ibu dan putrinya. Bagi Sadina kehilangan ibu sama dengan kehilangan bagian hidup.  "Kamu sudah memikirkan bagaimana Sadina setelah ini?" Selin menarik perhatian Deral dari lamunan.  Deral tak serta-merta menjawab. Sesungguhnya belum terpikir sampai sana. Sejak sang tante meninggal dunia, Deral mengurus segala keperluan pemakaman dan acara setelahnya. Deral bahkan belum benar-benar istirahat. Garis hitam di bawah mata menandakan ia kurang tidur.  Sekali lagi Deral menggeleng lemah. Bagaimana bisa ia memikirkan nasib orang lain saat diri sendiri tak tentu arah?  "Kerabat dari ayahnya Sadina bilang siap menjaga Sadina. Mungkin mereka akan membawanya tinggal bersama."  Selin menatap sepasang suami-istri di teras rumah. Dari pintu yang terbuka lebar ia menyaksikan sendiri bagaimana pasangan itu pura-pura berduka. Tangis mereka berlebihan, seolah mereka paling dekat dengan keluarga mendiang. Dari dulu mereka tidak pernah tulus pada keluarga ini.  Selin menghela napas, jadi teringat saat Sadina berusia 13 tahun. Mereka datang membawa surat pengalihan ahli waris dan memaksa anak kecil menandatanganinya. Sadina tak pernah mendapatkan apa pun dari ayahnya. Mereka merenggut hak anak itu.  "Tante tidak percaya mereka," ujar Selin, resmi mendapatkan tatapan heran Deral. Selin mengendikkan bahu enteng. "Kalau kamu tidak keberatan, akan lebih baik Sadina ikut kami saja. Dia sudah seperti putri tante sendiri."  "Tapi-"  "Ini juga wasiat dari mendiang ibunya Sadina. Mendiang minta tante menjaga Sadina, tapi tentu kami menghormati keputusan kamu sebagai keluarganya. Bagaimanapun tante hanya orang luar."  Sesaat Deral termenung. Sejak kecil kedua orang tuanya menanamkan pemikiran bahwa Deral harus menjaga Sadina seperti pada adik sendiri. Sadina itu terlalu rapuh dan mudah menangis. Sebagai seorang kakak, Deral wajib menjauhkan Sadina dari bahaya. Maka dalam keputusan ini jangan sampai salah mengambil langkah. Hidup Sadina dipertaruhkan.  "Aku nggak bisa membebani orang lain, Tante. Sadina adikku. Dia akan ikut aku."  "Tante tidak merasa Sadina sebagai beban, Deral," sahut Selin agak lemah.  Deral tahu, wanita ini sangat menyayangi Sadina. Apalagi sejak putri sematawayangnya meninggal dunia, dia semakin sering mengunjungi Sadina.  Kemungkinan Selin masih berada dalam kondisi berduka juga. Ia menganggap putri orang lain sebagai putrinya sendiri. Mendadak perasaan Deral tak setenang sebelumnya. Takut jika Sadina malah berada di tangan yang salah.  "A-aku akan menjaga Sadina."  Dengan lesu wanita berambut sebahu itu mengulum senyum. Tak bisa berbuat banyak selain menghormati keputusan Deral.  "Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan hubungi tante, ya?"  ** Hari itu tak disangka Sadina keluar dari kamar tepat sebelum Selin meninggalkan kediaman duka. Sadina mencegah sahabat ibunya pergi. Sadina mengatakan bahwa ia ingin mewujudkan keinginan terakhir ibunya untuk tinggal bersama Selin. Perkataan Sadina itu butuh dicerna lama oleh Deral. Ini di luar kendalinya.  Sementara Selin dan suaminya menyambut baik keputusan Sadina. Mereka bagai orang tua yang lama tak berjumpa dengan putrinya. Kehangatan pasangan suami-istri itu memperlakukan Sadina anehnya tidak mengubah keraguan Deral terhadap mereka. Kebaikan Selin masih mengganjal.  "Yakin mau tinggal sama mereka, nggak mau tinggal sama aku, Na?" tanya Deral membantu Sadina mengemas pakaian ke dalam koper.  Sadina balas menatap kakaknya sendu. Mengerti bagaimana kecewanya Deral mendengar pilihan Sadina. Bagaimanapun hal ini telah Sadina pikirkan, ia tidak mau membebani Deral lagi. Hidup Deral sudah cukup sulit akhir-akhir ini.  "Dari kemarin aku mengetuk kamar kamu, Na. Minta kamu keluar. Dengan mudah kamu keluar cuma untuk Tante Selin yang bukan keluarga kamu."  Deral kentara kecewa. Padahal Sadina hanya merasa perkataan ibunya tidak mungkin salah. Tinggal bersama keluarga Selin pasti pilihan terbaik.  "Kak Dei," panggil Sadina sampai mendapat tatapan langsung sang kakak, "jangan khawatir. Bukan berarti aku memilih tinggal bersama keluarga lain, Kak Dei bukan lagi kakakku. Aku tetap adiknya Kakak. Tempat aku pulang."  "Bukan cuma tempat pulang, Na. Aku dan rumahku juga tempat tinggal kamu. Kenapa kamu harus tinggal bersama orang lain di saat kakak kamu masih hidup?"  Tidak ada jawaban dari mulut Sadina yang ternganga. Sadina khawatir jika terus terang alasannya memilih tinggal bersama orang lain agar mengurangi beban Deral, pasti kepergiannya akan dicegah.  "Aku akan sering-sering menghubungi Kakak."  Bukan itu yang Deral ingin dengar!  Dengan membawa kekesalan, Deral beranjak dari sana. Meninggalkan Sadina dalam keterdiaman.  Hingga tiba barang-barang Sadina dimasukkan ke dalam bagasi mobil merah milik keluarga Selin, kehadiran Deral nihil dari pandangan. Sadina mencari ke segala arah, berharap kakaknya muncul. Keputusan sepihak ini ternyata membuat orang setenang Deral bergejolak. Deral selalu memikirkan sesuatu dengan matang, entah apa yang terjadi hal ini sangat menguras emosinya. Deral semarah itu.  "Sadina, ayo!" Seli berseru dari dalam mobil. Kepalanya melongok keluar jendela.  Sadina meminta waktu sebentar, merekam segalanya sebelum pergi. Rumah masa kecil yang penuh kenangan itu telah kehilangan kehangatan. Setiap incinya akan selalu dikenang. Sadina tumbuh di tempat ini, tetapi sekarang kehilangan alasan untuk tetap tinggal.  Tangan gadis berambut sepunggung itu tergepal. Tiupan angin membuat anak rambut bermain di wajahnya. Sadina memejam sebelum akhirnya dengan penuh keyakinan masuk ke dalam mobil.  "Sudah siap?" Senyuman Selin terpantul di kaca rear view.  Binar matanya yang keibuan berhasil menarik Sadina dalam rasa aman dan nyaman. Sadina merasa tak akan kehilangan sosok ibu sepenuhnya jika berada di dekat Selin.  Kendaraan keluarga Selin meninggalkan halaman rumah. Sadina masih enggan melepaskan tatap dari rumah masa kecil, juga harapan Deral yang ia tunggu muncul. Namun, Sadina harus menelan kekecewaan. Deral tidak kunjung terlihat. Mungkin harus begini, perpisahan mereka akan dikenang kurang baik. Sadina menghela napas, kepalanya rebah di punggung kursi. Selain duka kehilangan ibu, kini ia kehilangan kakak.  Tanpa Sadina ketahui, kakaknya bergulat dengan ego di ruang tengah. Mendengar deru mesin kendaraan meninggalkan halaman, Deral berlari terpontang-panting keluar rumah.  "Sadina!"  Sayangnya Deral kehilangan kesempatan bertemu adik kesayangannya. Ia hanya sempat melihat Sadina sekilas dalam mobil yang melaju itu. Kendaraan itu terus membawa Sadina menjauh hingga Deral berhenti mengejar.  Deral terlambat. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD