3. Putri Tidur

2245 Words
---Sejuta bayang menyapa di kegelapan malam, --- Andaikan pagi segera berganti, --- Inginku berlari saja memeluk dirimu, *** Ghibran masuk ke dalam rumah sederhana yang bahkan ukuran rumahnya pun mungkin tak lebih besar dari kamar tidur Lila, memandang miris pada perabot rumah yang tampak usang. Dia membuka kemejanya dan berjalan ke kamar, melemparkan kemeja itu ke keranjang pakaian kotor, memandangi wajahnya di cermin, mengangguk yakin dengan mata berkilat. Hingga seorang wanita muda menerobos masuk ke kamarnya. “Lho tumben kakak sudah pulang?” wanita itu meletakkan tas selempangnya di ranjang Ghibran dan duduk bersila di atasnya. Dialah Anandera Shafaya. Adik Ghibran satu-satunya. Wanita bertubuh tinggi dengan rambut panjang sepunggung, melihat dari wajahnya yang justru terlihat berbeda contour dengan Ghibran, orang tak akan menyangka bahwa mereka kakak beradik, ditambah kulit Ghibran cenderung putih sementara Dera justru eksotis atau sawo matang, namun tetap terlihat manis. “Tadi kakak sudah transfer biaya wisuda dan semesteran kamu yang sempat menunggak,” Ghibran mengambil handuk dari belakang pintu dan menyampirkan di lehernya. “Serius? Punya uang dari mana kak?” “Sebentar lagi kakak mau nikah,” “Oiya sama siapa?” Ghibran tersenyum membayangkan wajah Lila, wanita cantik putri konglomerat yang bisa merubah hidupnya dan adiknya tentu saja. “Anak pak Vincent, direktur utama tempat kakak kerja,” Dera menyemburkan tawanya, dia bahkan sampai menutup mulut karena geli, pasti dia berpikir kakaknya mulai gila sekarang. Bagaimana bisa menikahi anak konglomerat. “Kakak-kakak, kenapa sih jadi gila gini ckckckk, kasian Dera lihatnya,” Dera mengambil tasnya dan berniat keluar kamar Ghibran, ditepuk bahu sang kakak, “Hidup memang berat kak, tapi please menghayalnya nggak usah ketinggian,” ledeknya. “Sembarangan kamu, kakak serius, nih kalau nggak percaya,” Ghibran menyodorkan ponselnya yang tadi sempat mengabadikan fotonya dengan Lila di café dengan latar belakang rumah sang gadis. Dera menganga tak percaya, tampak sekali terlihat hubungan kakaknya dengan wanita itu cukup dekat. “Ka-kakak,” “Kita sebentar lagi akan jadi orang kaya Der, kita enggak perlu lagi mengirit dengan makan telur berdua atau sepiring mie instan berdua lagi. Kita bisa tinggal dirumah bagus, makan makanan yang enak, kamu bisa beli apapun yang kamu mau, karena itu nanti saat bertemu dengan Lila, kamu jadi adik yang baik ya,” Ghibran mengusap kepala adiknya dengan sayang. Dera mengangguk dia akan membantu mewujudkan keinginan sang kakak untuk menikahi putri konglomerat tersebut karena dia tahu, masa depannya tergantung dari pernikahan kakaknya ini. Dera tersenyum senang, sebentar lagi dia akan terbebas dari kemiskinan. Semua berkat kakaknya dan tentunya wajah tampan yang dimilikinya. *** Ghibran datang kerumah Lila di siang hari, karena tadi pagi dia harus menyelesaikan beberapa urusan pekerjaan, pelayan membawa Ghibran menuju Lila yang sedang menulis di café, sebuah sofa panjang berwarna putih yang ada di salah satu sudut café menjadi tempat favoritnya untuk menulis. Ghibran menyempatkan diri membeli sebuket bunga di perjalanan, bunga berwarna pink dan kuning cerah menjadi pilihannya. “Selamat siang princess,” tuturnya menyerahkan bunga itu, Lila tersenyum menghirum aroma bunga tersebut. “Satu yang harus kamu tahu Ban, aku suka warna putih,” kekeh Lila, Ghibran tertawa dan duduk disamping gadis itu. “Aku tahu, tapi hidup itu penuh warna Lila, enggak selalu hitam dan putih, coba untuk mencintai warna lainnya,” Ghibran mengusap kepala Lila, menyurai rambut gadis itu yang dibiarkan tergerai. Tentu dia tahu karena sejak awal bertemu Lila, wanita itu selalu mengenakan baju berwarna putih. “Ya, tapi butuh waktu,” Lila tersenyum, mengangguk pada seorang pelayan wanita berseragam hitam putih tak jauh dari tempatnya duduk, wanita itu menghampiri Lila dan mengambil buket bunga di tangan Lila. “Tolong masukin Vas, campur dengan bunga favorit Lila ya,” “Baik nona,” ucap pelayan muda itu, pamit undur diri. Ghibran hanya tersenyum samar dan terus mengusap rambut Lila, dan entah kenapa Lila sangat menyukai perlakuan lelaki itu yang tampak memanjakannya. “Lagi nulis novel?” tanya Ghibran, kemarin Lila sudah menceritakan tentang hobinya menulis. Lila mengangguk dan Ghibran melongokkan kepala melihat laptop gadis itu. Tampak tulisannya yang tersusun rapih, pemilihan katanya pun tepat. Sedang menceritakan suatu daerah destinasi wisata di Indonesia. “Ini yang tentang traveler perempuan itu?” “Kamu masih inget?” “Tentu, nggak ada yang terlupa dari percakapan kita kemarin,” tangan Ghibran merangkul pinggang Lila, membuat wanita itu tercekat dan harus menahan nafas karena jantungnya seolah ingin meloncat keluar lagi. “Kamu sudah pernah kesana? Detail banget ceritanya,” Lila menggeleng. “Nggak dapat izin dari papa,” Lila menunduk dan menutup laptopnya. “Gimana kalau nanti saat honeymoon kita menjelajahi tempat-tempat yang kamu inginkan? Papa kamu pasti setuju, karena sejak akad nikah, kamu adalah tanggung jawab aku,” Ghibran berbisik di telinga Lila, membuat wanita itu berdesir. Menoleh dan mendapati wajah Ghibran yang sangat dekat dengannya, bahkan dia bisa mencium aroma mint dari mulut lelaki yang sebentar lagi akan menjadi suaminya tersebut. Ghibran memajukan wajah dan mengecup bibir Lila sekilas. Lalu memundurkan wajahnya mengusap pipi Lila yang bersemu merah. Uncle Ko dan beberapa pelayan ikut tersipu melihat pemandangan itu, baru pertama kali mereka melihat ekpresi lain Lila yang tak pernah ditunjukkan pada siapapun, senyum hangatnya yang terkembang, selama ini Lila memang sering menyapa dan tersenyum pada mereka, namun senyumnya berbeda seolah tak ada kehidupan, dan kini, senyum nona muda itu benar-benar terkembang, wajahnya terlihat bercahaya tak pucat seperti biasanya. Dan lihatlah bahkan nona muda itu mengenakan lipstick berwarna nude, padahal sehari-hari dia hanya biasa menggunakan pelembab bibir saja. Cinta memang dapat membuat perubahan pada orang lain. Vincent menghampiri mereka berdua di café, duduk di sofa tunggal yang berukuran lebih besar dari sofa panjang yang ditempati Lila dan Ghibran, menunjuk pada Uncle Ko seolah memesan sesuatu yang biasa diminumnya. “Sudah makan siang Ghibran?” tanya Vincent, Ghibran hanya tersenyum tidak enak, dia tadi sempat mengambil jarak tempat duduk saat melihat Vincent yang berjalan kearah mereka. “Belum berarti, kita makan siang bersama ya,” tawar Vincent. Ghibran mengangguk. “Bagaimana kalau bulan depan papa adakan pesta pernikahan kalian? Papa rasa waktunya cukup, sudah waktunya papa memberi tahu kolega dan seluruh orang bahwa papa punya putri cantik pada saat pesta pernikahan kalian,” “Lila terserah papa aja, tapi bagaimana dengan Ghibran?” Lila menoleh ke arah Ghibran yang melemparkan senyuman hangat padanya. “Aku terserah kamu saja, anggota keluargaku tidak banyak jadi tidak apa-apa,” tampak sekali mata Lila berbinar, dia mempunyai pesta pernikahan impiannya sendiri meskipun dia tak yakin mengundang teman-temannya karena selama hidup satu-satunya teman dekatnya adalah Eros. Dan kini lelaki itu sedang fokus pada kesembuhan istrinya pasca melahirkan. Mungkin pestanya nanti akan sangat membosankan karena yang datang adalah orang-orang yang merupakan rekan bisnis Vincent yang mungkin sepantar dengannya. Uncle Ko datang dan membisikkan sesuatu pada Vincent, Vincent mengangguk dan mempersilakan uncle Ko meninggalkan mereka. “Makan siang sudah siap, yuk kedalam,” Vincent berdiri, mengulurkan tangannya pada Lila, Lila menyambut tangan Vincent dengan erat dan memegang lengannya. Berjalan berdampingan menuju ruang makan yang cukup jauh dari café mereka. Sementara Ghibran mengikuti mereka di belakang. Ghibran dapat melihat bahwa kedua orang tersebut saling menyayangi, hal yang sungguh tak pernah dilakukannya pada kedua orangtuanya, karena sejak Dera lahir, kasih sayang mereka hanya tercurah pada Dera. *** Hidangan yang tersaji di meja makan rumah Lila memang lain dari yang lain, hidangan sekelas restaurant mewah, yang tertata rapi di sepanjang meja makan, padahal meja besar itu hanya diisi oleh tiga orang saja. Ghibran berusaha membiasakan diri dengan perlakuan ini, karena sungguh demi apapun, bahkan sampai usianya dua puluh tujuh tahun, dia belum pernah makan di restaurant mewah. “Saya sudah membeli satu rumah di cluster tak jauh dari sini untuk kamu dan adikmu tempati, kalian bisa menempati rumah itu hari ini juga,” tutur Vincent santai seolah membeli rumah sama seperti membeli makanan cepat saji. Ghibran menoleh pada Lila yang duduk disampingnya, wanita itu mengangguk. “Terima kasih Pak,” jawab Ghibran rona bahagia terbit di wajahnya, selama ini dia bertahan dirumah peninggalan orang tua mereka yang sebenarnya sudah tak layak huni, gaji Ghibran tak cukup merenovasinya karena dia juga harus membiayai kuliah adiknya yang cukup mahal. Jurusan multimedia yang dipilih adiknya mengharuskan dia mengeluarkan kocek yang cukup besar. “Dan satu mobil sudah tersedia dirumah itu, pakai saja kapan pun,” Ghibran benar-benar bersyukur bisa bertemu Lila dan mendapatkan hatinya. Baru dua hari sejak dia memutuskan melamar wanita itu, dia sudah mendapatkan mobil dan rumah, juga uang tak sedikit yang masuk ke rekeningnya sejak awal dia berjabat tangan dengan ayah Lila, yang menyetujui dirinya menjadi suami dari putri satu-satunya itu. Bukan tanpa pertimbangan Vincent menyerahkan Lila pada Ghibran, namun melihat track record Ghibran yang diselidikinya tampak lelaki itu tumbuh menjadi lelaki kuat dan baik, tak ada catatan buruk tentang Ghibran termasuk pergaulannya selama ini. Ghibran sangat bekerja keras untuk hidupnya. Dan Vincent yakin Ghibran bisa mencintai putrinya seperti cinta putrinya untuknya. Terlihat dari sikap lelaki itu yang tampak menyayangi dan memuja Lila. *** Semenjak hari itu, Ghibran seolah banyak disibukkan dalam urusan pekerjaan, Vincent jelas memberikan proyek untuk Ghibran, apalagi Eros sudah bisa menemani Lila lagi, dan Ghibran pun di daulat Vincent untuk menemani Lila saat malam hari nanti ketika mereka menikah, jadi siang hari biar Eros yang menjaganya seperti biasa. Tak ada raut keberatan dari Ghibran karena dia tahu bahwa Eros telah mencurahkan seluruh hidupnya untuk Lila selama ini. Apalagi Ghibran juga perlu belajar tentang manajemen dan bisnis, Vincent hanya punya satu penerus yaitu Lila dan tentu semua kekayaannya akan jatuh pada Lila, apalagi kabarnya dia tak pernah meresmikan pernikahan dengan dua wanita yang menjadi selirnya yang tentu hanya mengincar hartanya saja. Tapi tak masalah selama dia mendapatkan apa yang diinginkan termasuk pelayanan dari dua wanita itu bergantian. Usia Vincent belum terlalu tua dan kondisinya masih prima untuk memadu kasih dan mendapatkan kesenangan pribadinya. Lila tak pernah mempermasalahkan itu asal ayahnya tak mempunyai anak lain dari dua wanita itu dan tentu tak akan punya anak lagi karena Vincent telah melakukan kontrasepsi pada alat vitalnya yang dioperasi di luar negeri setelah kehilangan istrinya. Dia tak mau menghianati Lila, harta satu-satunya dengan memiliki anak lain.  Tiga kali dalam seminggu, Ghibran mengunjungi Lila, meski hanya sekedar mengajaknya makan diluar seperti keinginan sederhana Lila yang ingin menikmati jajanan pasar atau makan di angkringan. Dan untuk pertama kalinya Lila mengenakan jeans karena Ghibran mengajaknya naik motor menjelajah pinggiran kota. Atau hanya sekadar makan es krim berdua di taman kota sambil berangkulan, melihat pemandangan para remaja bermain skate board, atau ikut berfoto di jembatan layang yang dihiasi lampu berwarna warni, dan sepanjang masa itu Lila selalu tertawa bahagia. Membuat ayahnya selalu memberikan izin ketika Ghibran ingin mengajaknya keluar rumah. Pesta pernikahan akan diadakan seminggu lagi, entah kenapa Lila sangat cemas, pasalnya sebulan ini dia belum tidur panjang seperti saat penyakitnya kumat itu. Dia takut tertidur saat pesta pernikahan dan membuat gempar tamu undangan. Malam sudah mulai larut, Ghibran masih berada di kamar Lila menemaninya hingga terlelap, duduk di sofa yang ditarik ke arah ranjang besar milik wanita itu. Lila meminta Ghibran berbaring disampingnya, Ghibran tentu menolak dia lelaki normal yang bisa saja tergoda untuk meniduri Lila sebelum waktunya padahal tinggal seminggu lagi sampai mereka resmi menjadi suami istri. Namun Lila merajuk, membuatnya tidak tega. Ghibran melepas alas kakinya dan naik ke ranjang, melingkarkan tangannya ke leher Lila dan menepuk bahu wanita yang berbaring di dadanya itu. “Aku pikir selama ini aku aja yang deg-degan, tapi ternyata kamu juga,” Kekeh Lila mengusap d**a Ghibran. Ghibran mengecup pucuk kepala Lila. Lila mendongak dan memberanikan diri memulai mencium Ghibran lebih dulu padahal biasanya Ghibran yang selalu berinisiatif mengecupnya. Ghibran membalas ciuman Lila dan entah kenapa malam ini dia sangat berhasrat, mungkinkah dari sate kambing yang mereka makan di depan perumahan tadi? Tangan Ghibran mengusap pinggang Lila, mengelusnya dengan lembut turun naik hingga menyentuh bagian samping p******a Lila. Hasratnya sangat bergelora malam ini. Ciuman Ghibran turun ke leher Lila, menjilatnya dan menghisapnya dengan rakus, hingga menurunkan resleting yang berada di depan baju wanita itu mengecup d**a Lila, Lila meremas rambutnya, sepertinya dia juga didera gairah yang tinggi sama sepertinya, beberapa kali Lila mengerang pelan, mereka tak perlu khawatir karena kamar ini kedap suara meskipun di dekat kamar Lila sudah berdiri seorang pelayan yang selalu stan by di tempat jaganya. Jemari Ghibran memanjakan p******a Lila meski masih dari luar gaunnya, sementara ciumannya terus turun menuju bukit kembar milik wanita itu yang baru terbuka sebagian. Namun Ghibran merasa aneh karena tangan Lila lunglai dan seolah tak ada pergerakan lagi. Ghibran mengangkat wajahnya dan menemukan Lila yang tampak tertidur pulas, awalnya dia menyangka Lila pingsan mencoba membangunkan wanita itu, namun Lila tak jua membuka matanya. Ghibran panik, ditutup baju Lila lagi dan dia berlari keluar menemui petugas keamanan yang berjaga, petugas itu berbicara melalui earphone yang tersambung di telinganya, dan dengan cepat beberapa orang termasuk seorang yang memakai baju khusus perawat masuk ke dalam kamar Lila. “Tadi kami masih berbicara namun dia tiba-tiba tertidur,” Ghibran berusaha menjelaskan pada perawat wanita itu. Perawat itu mengecek Lila dengan stetoskop dan melihat tensi darahnya, semuanya normal. “Nona Lila sudah memasuki fase tidur panjangnya tuan,” ucap perawat tadi. Seluruh yang bekerja dirumah Lila memanggilnya tuan sejak tahu bahwa lelaki itu adalah calon suami dari nona mudanya. Ghibran menghembuskan nafas lega. “Yakin dia tidak apa-apa? Perlu diinfus sekarang atau tidak?” “Saya biasa memberinya infus delapan jam setelah dia tertidur dari waktu pertama kali tertidur panjangnya, saya pamit keluar dahulu,” tutur perawat itu undur diri. Ghibran mengangguk, duduk di ranjang membetulkan letak selimut Lila dan mengusap kening wanita itu, lalu mengecupnya pelan. “Tidurnya jangan lama-lama ya, jangan sampai pernikahan kita batal, cepat bangun, karena banyak rencana yang telah kita susun dengan rapih kan?” Ghibran mengecup bibir Lila dan tersenyum geli. Dia merasa sangat panik tadi, dia khawatir perlakuannya menyakiti Lila dan membuatnya pingsan, ternyata wanita itu hanya tertidur panjang. Jelas saja karena ini pertama kalinya dia menyaksikan wanita itu tertidur, beruntung mereka berada di kamar, Ghibran pasti akan sangat panik jika Lila tertidur dijalan. Karena itu benar kata Vincent untuk selanjutnya dia akan membawa mobil ketika mengajak Lila pergi. ***  bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD