4. Wedding

1776 Words
--- Hanya dengan melihat senyummu, --- langit menjadi cerah, --- Secinta itulah aku padamu... *** Keesokan harinya, pagi sekali Ghibran sudah sampai di kediaman Lila, sejak diberikan rumah oleh Vincent dia menempati rumah itu bersama adiknya, rumah dua lantai dan berada di cluster yang cukup mewah, Dera senang bukan main, sekarang dia tak perlu lagi kesusahan saat hujan besar datang karena beberapa tempatnya bocor dan tak bisa diperbaiki. Bahkan dengan uang yang dimiliki Ghibran, mereka bisa menyewa satu pembantu rumah tangga yang berada dua puluh empat jam dirumah itu. Ghibran membuka pintu kamar Lila, tampak Vincent menggenggam erat tangan sang putri dan mengecupnya berkali kali. Ghibran melangkahkan kaki menghampiri Vincent dan tersenyum. Tangan putih Lila sudah dialiri selang infus. Vincent menoleh ke arah Ghibran dan tersenyum dipaksakan padanya. “Beginilah Lila jika sedang memasuki fase tidur bulanannya,” Vincent kembali melihat wajah anak gadisnya mengusap kening Lila dengan sayang. “Dia tetap cantik meskipun sedang sedang tidur,” “Saya hanya mempunyai Lila di dunia ini, Ghibran saya benar-benar menitipkan Lila pada kamu, dia gadis yang manja dan senang merajuk, semua karena saya yang terlalu memanjakannya. Saya sangat takut kehilangannya seperti kehilangan istri saya, namun usia saya semakin tua. “Jika saya mati nanti, tolong jaga Lila saya tahu saat ini mungkin kamu masih belum jatuh cinta padanya, saya mohon pada kamu untuk tetap bersikap baik pada Lila meskipun sampai akhir kamu tetap tidak bisa mencintainya seperti cintanya padamu,” Vincent menunduk, mengecup tangan sang putri kembali dan meneteskan air mata. “Saya menyayanginya Pak, sungguh, saya berjanji akan menjaganya,” jawab Ghibran mantap, dia memang merasa telah menyayangi Lila, namun untuk mencintainya Ghibran masih ragu karena dia belum bisa memastikan hatinya yang pernah patah apakah telah pulih dan siap jatuh cinta lagi? “Kamu pria baik Ghibran, saya tahu itu, tolong jaga dia hari ini ya, mungkin akan membosankan berada di samping wanita yang tertidur seharian, kamu bisa melakukan pekerjaan kamu dari sini, saya yakin jika kamu disampingnya, Lila akan segera terbangun.” Vincent berdiri dan menepuk bahu Ghibran. Ghibran mengiyakan permintaannya dan duduk di kursi samping ranjang Lila. Saat menutup pintu kamar Lila, dia menunduk dan mengusap air yang menggenang di pelupuk matanya. Dia sangat ingin putrinya mendapatkan kebahagiaan dan cinta yang tulus dan dia berharap Ghibran bisa mewujudkan cita-citanya. Vincent bukan ayah yang tak peduli, karena dia selalu membaca karya sang gadis yang tampak sekali mendambakan cinta dalam hidupnya. Karena itu ketika Lila mengutarakan ingin menikah, dia segera mewujudkannya dia tidak tahu, siapa yang akan lebih dulu menemui istrinya di dunia dia kah? Atau Lila? Karena Lila seperti bom waktu yang bisa saja menghembuskan nafas terakhir dalam tidur panjangnya. Dan dia tak ingin putrinya tak sempat merasakan cinta sebelum waktunya tiba, dia sangat takut akan hal itu. Dia harus yakin Ghibran bisa mencintai putrinya dan dia akan memberikan apapun untuk lelaki itu. Demi kebahagiaan putrinya. *** Ghibran menepis rasa bosan dengan membaca novel karya White Flower yang tak lain adalah buatan Lila. Melihat karya gadis itu cukup mengusir jenuhnya dan dapat mengenal Lila lebih dalam, ternyata banyak sekali tempat yang ingin Lila kunjungi di Indonesia sendiri. Memang Indonesia adalah surga bagi para wisatawan, banyak sekali tempat rekreasi yang bahkan berada di pelosok dan sangat Indah seolah masih perawan dan tak tersentuh oleh jaman. Ditambah kultur budaya yang beragam, dan Lila dengan sangat pandai menggambarkannya padahal dia hanya coba browsing dan mengikuti akun ** para traveler saja. Ghibran memandang sedih pada Lila, dia juga belum banyak mengunjungi tempat wisata, itu karena dia berhemat untuk biaya sekolahnya dan adiknya, beda dengan Lila yang mungkin dengan jentikkan jarinya saja sudah bisa pergi ke benua-benua lain. Ditambah fasilitas yang dimiliki Vincent dari pesawat jet pribadi, kapal pesiar juga helikopter. Ghibran tahu karena pesta pernikahan di hari kedua akan digelar di kapal pesiar sesuai keinginan Vincent. Sesekali Ghibran mengecek kerjaan di laptop yang memang dibawanya, tadi Vincent menyuruhnya bekerja dari rumah, itu sebabnya dia bisa melakukan banyak hal meski seharian di kamar Lila dan pelayan bergantian membawakan makanan atau minuman untuk Ghibran. Ghibran memutuskan mandi dikamar Lila dan mengganti bajunya dengan kaos serta celana pendek, tadi dia meminta izin untuk menemani Lila tidur, tentu saja Vincent mengizinkannya dia justru senang sebentar lagi tidur putrinya akan ditemani seseorang yang akan menjaganya saat malam tiba. Ghibran mematikan lampu kamar Lila dan masuk ke dalam selimutnya, memeluk Lila dan meletakkan kepala gadis itu di dadanya, pikirannya menerawang, benarkah yang dia lakukan kini? Dia masih ingat betapa saat Dera sekolah dasar, anak kecil itu dihina karena sepatunya yang sudah robek dan bawahnya bolong, tentu basah jika dia menginjak genangan air. Dera menangis seharian dirumah, sedangkan dia baru SMP, sekecil itu dia sudah menghasilkan uang, menjadi penjaga parkir di minimarket bergantian dengan teman-temannya. Uangnya tak banyak, namun cukup untuk membeli mie instan untuk dimakan berdua, jika ada orang baik yang memberinya makanan sepulang dari belanja, dia akan sangat senang dan berlarian kerumah untuk memberi makanan itu ke Dera kecil. Dan Dera akan tertawa riang, melupakan kesedihannya akan pakaian yang usang dan sepatu yang robek. Meskipun hidup dalam kemiskinan tak membuat Ghibran menjadi jahat, tak ada keinginan sedikitpun untuk mencuri meskipun seringkali setan di hatinya menyuruhnya melakukan itu. Setelah beberapa minggu akhirnya uang Ghibran terkumpul untuk membelikan sepatu Dera. Dera sangat bahagia, dan Ghibran berjanji jika suatu saat nanti dia punya uang banyak, dia akan membelikan apapun yang diinginkan Dera. Keluarganya satu-satunya. Ghibran terlelap sambil mengusap rambut Lila yang harum, karena meskipun dia tertidur, perawat dan pelayan tetap membersihkan tubuhnya dan mengganti bajunya. Sehingga tetap terawat kulit dan pakaiannya. *** Lila terbangun ketika pagi hari, melihat jarum infus di tangannya membuatnya sedih, padahal dia baru saja mengalami hal yang menegangkan sekaligus menyenangkan baginya hal yang baru pertama terjadi dalam hidupnya ketika seorang menyentuh bagian sensitifnya. Namun dia justru tertidur. Lila mendongak mendengar deru nafas teratur dari seorang pria yang memeluknya, dia langsung duduk dan menutup mulutnya. Ghibran kaget karena gerakan tiba-tiba Lila. Dia membuka mata dan ikut duduk, dengan spontan memeluk Lila erat. “Kamu sudah bangun?” Ghibran merasa lega. Lila memundurkan tubuhnya, “aku tidur berapa lama? Apakah aku melewatkan pernikahan kita?” Lila hampir menangis kalau saja Ghibran tak segera menggeleng, menepis prasangka Lila. “Kamu tidur dua hari, dan masih ada waktu tiga hari untuk pernikahan kita,” Ghibran kembali membaringkan diri, masih terlalu dini untuk terbangun sekarang. Lila kembali berbaring namun dia seolah ingat sesuatu, tangannya menjangkau telepon di kamar, memanggil perawat untuk membuka infusnya. Perawat datang tak sampai lima menit, Ghibran yang belum tidur pulas itu hanya memandang Lila yang meringis ketika perawat itu menarik jarum infusnya. Lalu meletakkan plester di tangannya. “Terima kasih,” tak lupa Lila mengucapkan terima kasih pada perawat yang beberapa tahun ini menjaganya, menggantikan perawat sebelumnya. Perawat itu mengangguk dan keluar dari kamar Lila, Lila kembali mematikan lampu di kamarnya dan berbaring di samping Ghibran. Ghibran memiringkan tubuhnya dan memeluk Lila dari samping. Lila merasa aneh, jantungnya terus saja berdetak cepat. Dia memutuskan berbaring miring membelakangi Ghibran, yang justru membuat Ghibran semakin mengetatkan pelukannya dan menempel padanya. Lila dapat merasakan kejantanan Ghibran menyentuh bokongnya yang masih tertutup gaun tidurnya. Ghibran berdehem, dengan suara beratnya dia berujar, “abaikan junior dibawah, sudah biasa dia bangun saat pagi,” Hati Lila seolah mencelos, Ghibran santai sekali berucap hal itu padahal dia sangat berdebar dipeluk sepeti ini. Bahkan Ghibran mungkin tak menyadari karena telah tertidur pulas bahwa tangannya tepat berada di depan p******a Lila. Lila hanya tersenyum dan merasa tak sabar mengalami malam panjang yang Indah bersama suami yang dicintainya itu beberapa hari lagi. Pasti rasanya menyenangkan. Ya kan? *** Pesta pernikahan yang sangat mewah digelar di sebuah hotel milik Vincent, hotel bintang lima yang berdiri tegak seolah menantang langit Jakarta. Banyak sekali tamu undangan yang hadir di pesta itu, termasuk seluruh karyawan dari seluruh Vincentius Group yang mencakup bisnis perhotelan, rumah sakit, apartmen, kontraktor juga mall besar. Bahkan yang baru saja di luncurkan adalah taman bermain raksasa sekaligus arena kebun binatang yang berada di Jawa Tengah. Lagu pernikahan terus dialunkan oleh penyanyi terkenal, beberapa tamu undangan yang terdiri dari selebritas ataupun penyanyi ikut menyumbang lagu, diluar dari artis-artis yang memang dibayar untuk mengisi acara. Lila sangat cantik sekali malam ini, mengenakan gaun putih selembut sutera dengan mahkota kecil di kepala, menambah kesan cantik natural yang ditonjolkan oleh periasnya. Para pria akan berdecak kagum melihat kecantikan Lila. Sementara Ghibran mengenakan setelan tuxedo berwarna putih, rambutnya disisir rapi tampak berkali lipat lebih tampan dari biasanya, semua tamu undangan perempuan pasti tak bisa lepas dari menatap wajahnya yang rupawan. Lila dan Ghibran tampak bahagia malam ini, juga Vincent yang terus saja tersenyum, dua ibu tiri Lila ikut serta menyambut para tamu, namun mereka selalu berada di tempat yang berbeda. Terserah lah Lila tak pernah mempedulikan kehadiran dua wanita yang selalu bersikap sok peduli terhadapnya itu. “Capek?” tanya Ghibran sambil meminta petugas pesta menyetop tamu undangan yang ingin memberikan salam kepada mereka. Lila mengangguk dan duduk di kursi pelaminan, bahkan dia tak sempat menduduki tempat itu sejak pesta dimulai. Para tamu undangan, memberikan tempat luas di depan pelaminan untuk penari masuk, tarian tradisional untuk menghibur para tamu sekaligus kedua mempelai yang berada diatas itu. Ghibran memberikan Lila air mineral dan memberikan kembali gelas itu pada pramusaji berbaju hitam putih tersebut. “Bagus ya tariannya?” Lila berdecak kagum pada penari yang mulai menarikan tarian tradisional yang berasal dari jawa timur. Ghibran menoleh pada penari yang berputar menghadap kedua pengantin dan melakukan persembahan dalam bentuk tarian pada mereka berdua. Mata Ghibran terbelalak, melihat salah seorang penari itu, berwajah manis khas wanita Indonesia, kulitnya yang kuning langsat dan senyum merekah. Wanita itu sama terkejutnya dengan Ghibran namun dia bersikap professional dengan terus menari meskipun senyumnya tampak mulai luntur. Ghibran menarik nafas panjang dan meminta minuman dingin pada waitress, dia harus menetralkan jantungnya, melihat wanita yang bahkan sampai kini masih lekang dalam ingatannya. Wanita yang pernah menancapkan cinta di hatinya namun dengan mudahnya mematahkan hati itu hingga beberapa bagian, lima tahun lalu. Dialah Bunga Dewinta, kekasih Ghibran sejak sekolah menengah atas, wanita yang merupakan cinta pertama Ghibran, yang meninggalkannya saat Ghibran tengah terpuruk. Wanita yang menjadi kekasihnya selama lima tahun dan karena terhalang restu dari orang tua Bunga, membuat Ghibran mundur dan memilih pergi dari kehidupan Bunga untuk selamanya. Ghibran mengalami sakit yang teramat sangat, apalagi ketika orang tua Bunga yang terus saja mencelanya karena dari keluarga miskin dan hanya bekerja sebagai pelayan minimarket saja, padahal saat itu Ghibran kerja sambil kuliah. Bahkan setelah lima tahun berlalu, Ghibran masih merasa merindukan wanita itu, wanita yang mempersembahkan tarian di hadapannya. “Kamu sakit, wajah kamu pucat?” Lila menjulurkan tangannya, namun dengan Refleks Ghibran memundurkan wajah seolah tak ingin disentuh Lila, dia memandang ke sekitar ternyata banyak yang memperhatikan mereka. Ghibran melihat ekpresi Lila yang pias, juga Bunga yang menyelesaikan tariannya dan tersenyum pada kedua mempelai, senyum dipaksakan. Bahkan Ghibran bisa melihat mata Bunga yang berair. *** 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD