CHAPTER 2

868 Words
Ini bukan kebakaran biasa. Seseorang ... telah menguncinya. Mama Anna terpaku sejenak, pikirannya berpacu mencari jawaban. Namun, ia segera menenangkan diri. Dengan cepat, ia menarik napas dalam dan berpikir keras—anak-anak tidak boleh panik. Setelah beberapa detik, ia menoleh ke Seizaki dan berkata dengan nada tegas, "Kau tidak boleh masuk." "Mama sengaja menguncinya," lanjutnya, suaranya tetap stabil meskipun hatinya berdebar. "Di dalam terlalu berbahaya." Kebohongan itu keluar begitu saja. Bukan untuk menipu, melainkan untuk melindungi. Anak-anak tidak boleh tahu bahwa seseorang di panti ini mungkin telah melakukan sesuatu yang mengerikan. "Kalian semua, cepat keluar dari panti sebelum kebakarannya semakin besar!" seru Mama Anna. Anak-anak saling berpandangan, lalu tanpa banyak bertanya, mereka mengangguk. "Baik, Mama!" jawab mereka serempak sebelum mulai bergegas menuju pintu keluar. Namun, sebelum mereka melangkah ke pintu depan, dua sosok kecil muncul dari arah kamar Pak Hotaru. Lilicya dan Lalaquin, wajah mereka masih ketakutan, napas mereka tersengal. "Lili, Lala, di mana Pak Hotaru?" tanya Mama Anna, nada suaranya mengandung urgensi. Lili menggigit bibirnya, matanya dipenuhi kebingungan. "Kami sudah mengetuk kamarnya beberapa kali, tapi... Pak Hotaru tidak menyahut." "Apa...?" Jantung Mama Anna kembali berdegup kencang. Pak Hotaru masih tertidur lelap dengan semua kegaduhan ini. Namun, ini bukan saatnya untuk kebingungan. "Baik, kalian berdua cepat keluar juga. Aku akan ke kamar Pak Hotaru serta menyelamatkan Yusuke dan Tetsu terlebih dahulu." Yusuke dan Tetsu, dua bayi yang berusia 10 bulan dan 1 tahun yang masih terlelap di kamar bayi. "Aku ikut, Mama!" Suara tegas terdengar dari belakang. Denji. Anak laki-laki berusia 10 tahun itu menatap Mama Anna dengan tekad bulat. "Aku juga!" Kazumi menimpali. "Aku juga!" Seizaki maju selangkah. Namun, sebelum ia sempat berkata lebih jauh, Kazumi menoleh padanya dan berkata, "Kau tidak usah ikut, Seizaki. Kau jaga anak-anak yang lain keluar dari panti." Seizaki membuka mulut, ingin membantah. Tapi kemudian ia menatap anak-anak kecil yang masih ketakutan di belakangnya. Kazumi benar. Setelah berpikir sejenak, Seizaki mengepalkan tangannya lalu mengangguk. "Baik. Aku yang akan mengantar mereka keluar." Mama Anna menatap mereka sejenak sebelum memberikan anggukan singkat. "Terima kasih, Nak. Sekarang cepat." Dengan itu, mereka berpencar. Seizaki menggiring anak-anak keluar, sementara Mama Anna, Kazumi, dan Denji bergegas menyusuri lorong. Saat mereka menyusuri lorong, Mama Anna berhenti di depan sebuah pintu yang terkunci. Kamar bayi. Di luar kamar itu, tak jauh dari pintu, terdapat sebuah laci kayu tua—tempat menyimpan semua kunci kamar anak-anak. Ia menoleh ke Kazumi dan Denji. "Kazumi, Denji, kalian ke kamar Pak Hotaru dan bangunkan dia. Jika dia masih tidak menyahut, coba dobrak pintunya. Setelah aku mengambil Yusuke dan Tetsu, aku akan membantu kalian jika pintunya masih belum bisa didobrak." "Baik, Mama." Kazumi mengangguk, lalu bersama Denji, mereka melanjutkan langkah menuju kamar Pak Hotaru. Mama Anna menarik napas dan membuka laci. Namun, begitu melihat isinya, keningnya berkerut. Aneh. Segalanya masih dalam keadaan rapi. Buku-buku di dalam laci tetap miring sedikit ke kanan—seperti yang ia tinggalkan. Di bawah buku-buku itu, sebuah kotak kecil masih berada di tempatnya. Ia membukanya. Di dalamnya ada pasir dan tiga manik-manik yang tersusun sejajar secara vertikal di tengah. Tak satu pun berpindah. Mama Anna menatapnya dalam diam, hawa dingin merambat ke tengkuknya meskipun udara di sekeliling terasa panas. Mustahil. Ia sengaja menyusunnya sebagai tanda. Anak panti sering mencoba masuk ke kamar bayi, dan mengganggu tidur mereka. Begitu Mama Anna menyadarinya, ia akan segera menegur dan menghukum mereka. Namun semuanya tetap rapi. Tak ada yang mengusiknya. "Tidak mungkin! Bagaimana caranya...?" Jantung Mama Anna berdegup lebih kencang. Mama Anna tidak ingin memikirkan itu sekarang. Ada hal yang lebih penting. Ia segera mengambil kunci kamar bayi yang ada di lapisan paling bawah laci, menggenggamnya erat, lalu bergerak cepat menuju pintu. Tangannya sedikit gemetar saat memasukkan kunci ke lubangnya. Klik. Pintu terbuka. Udara di dalam kamar terasa lebih tenang, belum terkontaminasi oleh asap pekat yang merayap di lorong. Dalam kegelapan yang hanya diterangi lampu kamar kecil, Mama Anna melihat dua bayi mungil—Yusuke dan Tetsu—tidur nyenyak di dalam box bayi mereka. Mama Anna tak membuang waktu. Ia segera menggendong keduanya dengan hati-hati, menahan napas sejenak saat Yusuke menggeliat kecil dalam tidurnya. "Maaf, Nak... tapi kita harus pergi sekarang," bisiknya pelan. Dengan bayi di kedua lengannya, Mama Anna keluar dari kamar, menguatkan langkah menuju kamar Pak Hotaru. *** Di sisi lain… Denji dan Kazumi berdiri di depan kamar Pak Hotaru. mereka mengetuk dengan panik. "Pak Hotaru! Bangun, Pak!" Kazumi memanggil keras. "Panti kebakaran! Cepat keluar!" Hening. Denji mencoba lagi, kali ini lebih keras. "Pak! Kita harus keluar sekarang!" Tak ada jawaban. Mereka saling berpandangan, wajah keduanya menegang. "Denji." Kazumi menelan ludah. "Sepertinya kita memang harus mendobrak pintunya." Denji mengangguk tegas. "Ya, benar." Tanpa ragu lagi, mereka mundur beberapa langkah, bersiap mendobrak pintu itu dengan segenap tenaga. BRAK! Suara benturan keras menggema di sepanjang lorong saat Denji dan Kazumi menghantam pintu kamar Pak Hotaru dengan bahu mereka. BRAK! Denji menggertakkan giginya. Napasnya mulai memburu, tetapi ia tak menyerah. "Lagi!" serunya. BRAK! Kazumi mengerang pelan, menahan sakit di pundaknya. "Sial... kenapa pintunya sekeras ini?" Mereka saling berpandangan sejenak, keringat menetes di pelipis. Namun tak ada waktu untuk mengeluh. Denji menarik napas dalam. "Sekali lagi, Kazumi! Kali ini lebih keras!" BRAK! Tiba-tiba, suara langkah cepat terdengar dari lorong. Tap! Tap! Tap! (To be Continued...)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD