Keputusan di Ambang Api

864 Words
"Kau akan pergi besok pagi, kan?" tanyanya. Seizaki mengangguk. “Ya. Aku akan pergi setelah matahari terbit.” Mama Anna menarik napas dalam, lalu mengangguk. “Kalau begitu, tidurlah lebih awal. Besok akan menjadi hari yang panjang.” "Ya," jawab Seizaki. Pak Hotaru dan Mama Anna meninggalkan kamar lebih dulu, membiarkan Seizaki dan Kazumi berdua. Kazumi tersenyum tipis. “Aku harap ... kau menemukan apa yang kau cari.” Seizaki menatap sahabatnya itu. Kazumi tidak menahannya. Tidak marah, tidak menghakimi. Hanya memberi dukungan. "Terima kasih, Kazumi," ujar Seizaki. Malam kian larut. Seizaki kembali menatap jendela, seperti yang sering ia lakukan bersama Kazumi. Ada sesuatu yang menenangkannya saat menatap langit malam—seolah dunia di luar sana memanggilnya untuk pergi, menjelajah, dan menemukan arti hidup. Esok, saat mentari terbit, segalanya akan berubah. Hidupnya tak akan pernah sama lagi. Kazumi menghela napas pelan, lalu beranjak ke pintu. "Baiklah… Aku keluar dulu," ucapnya, suaranya terdengar sedikit berat. Kazumi terdiam sejenak. Tatapannya menyapu seluruh sudut kamar Seizaki, seakan ingin membangkitkan kembali kenangan dan mengabadikan momen terakhir ini dalam sunyi. Kemudian, dia pun mengangguk pelan dan menutup pintu perlahan di belakangnya. Seizaki tanpa sadar, matanya mulai memanas. Dan saat ia menyentuh pipinya, setetes air mata jatuh. Ia mengingat semua kenangan-kenangannya di Asahi House. Ia menghela napas, lalu melangkah keluar dari kamarnya, menyusuri lorong yang gelap dan sepi. Setiap langkahnya menggema pelan di lantai kayu tua. Setibanya di depan sebuah kamar yang sudah begitu akrab, ia mengangkat tangannya, lalu mengetuk pintunya perlahan. Tok. Tok. Tok. Tidak ada jawaban. Ia mengetuk sekali lagi, lebih pelan dari sebelumnya. Tok. Tok. Kali ini, suara dari dalam terdengar samar. Suara langkah kaki mendekat, lalu gagang pintu berputar dan pintu pun terbuka. "Seizaki…?" tanyanya. Seizaki menundukkan kepala nya. "A-Aku hanya… aku ingin tidur di sini malam ini," ucapnya pelan. Mama Anna mengusap kepala Seizaki dengan lembut, seperti yang selalu ia lakukan saat ia masih kecil. "Tentu saja, kau akan selalu menjadi anakku, Seizaki," Suaranya penuh kehangatan. “Tidak peduli sejauh apa pun kau pergi, rumah ini akan selalu terbuka untukmu.” Seizaki menggigit bibirnya, berusaha menahan isakan yang hampir pecah. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa seperti anak kecil lagi—yang hanya ingin berlindung dalam pelukan ibunya. Dan untuk malam terakhirnya di Asahi House, Seizaki tidur tenang dielus oleh Mama Anna. Namun, kedamaian itu tak berlangsung lama. "TIDAAAAAAK!!" Teriakan melengking membelah keheningan malam. Mama Anna tersentak dari tidurnya, matanya terbuka lebar. Suara itu datang dari lorong. Napasnya masih tersengal saat ia segera bangkit, membuka pintu dengan panik. Dua sosok kecil berlari tergesa-gesa ke arahnya—Lilicya dan Lalaquin, saudari kembar berusia enam tahun. Wajah mereka pucat pasi, mata mereka membelalak dengan air mata menggenang. "M-Mama Anna!!" Lilicya tersedu, suaranya hampir putus. “K-Kak Seizaki... Kak Seizaki...!!” "Lili, Lala? Apa yang terjadi, Nak?" Mama Anna meraih bahu mereka, mencoba menenangkan, tapi tubuh kecil mereka gemetar hebat. "Mama Anna!! Kamar Kak Seizaki...!!" Lalaquin menarik napas tersendat, wajahnya penuh ketakutan. “Asap! Kak Seizaki di dalam! Mama... tolong selamatkan Kak Seizaki!!” "Apa...?!" Mama Anna nyaris tak bisa berpikir. Namun, saat ia mencium bau asap yang mulai menyusup ke dalam hidungnya, dia langsung mengerti. Tanpa membuang waktu, ia berlari menyusuri lorong dengan langkah panik. Dan begitu sampai di depan kamar Seizaki, napasnya tertahan. Api. Lidah-lidah merah-oranye menyembur keluar dari celah pintu. Suara kayu terbakar berderak mengerikan, dan panas yang menyengat langsung menusuk kulitnya. Asap pekat bergulung ke langit-langit, menyebar dengan cepat ke seluruh lorong. Namun, ada satu hal yang membuatnya tersadar—Seizaki tidak tidur di kamarnya malam ini. Mama Anna menghela napas, sedikit lega di tengah kepanikannya. "Lili, Lala, cepat ke kamar Pak Hotaru! Bangunkan dia dan beritahu tentang kebakaran ini!" ucapnya tegas. "Ya, Mama Anna!" seru Lalaquin sebelum mereka berlari secepat mungkin menuju kamar Pak Hotaru. Tanpa membuang waktu, Mama Anna bergegas ke ruang utama. Dengan tangan gemetar, ia menarik tuas alarm darurat. Suara lonceng keras menggema ke seluruh panti, membangunkan setiap penghuni dalam kepanikan. Setelah itu, ia segera berlari ke telepon tua di dinding dan menelpon nomor pemadam kebakaran. "Semoga masih sempat," gumamnya. Mama Anna kembali ke lorong, dia melihat Seizaki berdiri bersama Kazumi dan 3 anak lainnya, menatap pintu kamar dengan ekspresi penuh kecemasan. Dari celah pintu, asap pekat merayap keluar, bergulung di udara. Hawa panas menyengat mulai merambat ke sepanjang lorong. "Mama Anna!" Seizaki berseru, suaranya tegang. “Bisa buka kunci pintu kamarku? Aku harus mengambil buku favoritku!” "Pintu kamar Seizaki Terkunci?" gumam Mama Anna, suaranya hampir tak terdengar. Namun, tatapannya segera beralih ke pintu kayu. Di gagangnya, ada kain melilit di sana—bekas tangan seseorang yang mencoba membukanya sebelumnya. Matanya kembali ke Seizaki, menyadari sesuatu. "Kau mencoba masuk ke kamarmu?!" Nada suaranya menajam, kini lebih terdengar seperti teguran. Seizaki terdiam, ragu untuk menjawab. tanpa menunggu lebih lama, Mama Anna meraih kenop pintu dan mencoba memutarnya. Namun— Tak bergerak. Pintu itu benar-benar terkunci. Jantungnya mencelos. "Kenapa terkunci?" suaranya pelan. Sejak Asahi House berdiri, Tak satu pun kamar anak-anak pernah dikunci. Hanya kamar penghuni panti yang berusia 18 tahun keatas, serta kamar bayi, yang memiliki kunci—itu pun semata untuk mencegah anak-anak lain masuk. Tapi… Situasi ini. Sebuah firasat buruk mencengkeram benaknya. (To be Continued...)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD