CHAPTER 1

821 Words
Di sisi lain dunia. Jauh dari keramaian kota, tempat yang jarang dijamah oleh kaki manusia… Di sudut desa yang terpencil, berdiri sebuah panti asuhan kecil bernama Asahi House, lokasinya tersembunyi di pelukan hutan rindang. Bangunannya sederhana, dengan warna dinding yang mulai memudar dan halaman yang hanya cukup untuk sepuluh anak berlarian. Asahi House ini menjadi rumah penuh kasih yang menyinari harapan, serta memberikan perlindungan dan dukungan agar anak-anak dapat tumbuh mandiri. Semua anak di sini tumbuh tanpa merasakan kehangatan dari orang tua mereka. Anak-anak panti ini beberapa dirawat sejak masih bayi, sementara ada yang dibawa ke panti saat mereka sudah beranjak bocah. Seizaki, seorang laki-laki yang telah tinggal di Asahi House sejak bayi, kini dia berusia lima belas tahun. Sejak dulu, dia bermimpi keluar dari Asahi House, menapaki dunia luas yang selama ini hanya bisa ia lihat dari balik pagar panti. Bukan karena ia membenci tempat ini, bukan pula karena kenangan buruk—tetapi karena ia ingin tahu seperti apa hidup di luar sana, di mana ia bisa menentukan jalannya sendiri. Namun, dunia luar bukan hanya sekedar dongeng. Ia tahu itu. Seizaki tidak memiliki keluarga, tidak ada rumah untuk dituju, dan tidak ada harta selain tekad yang membakar dadanya. Malam ini, ia berdiri di depan jendela kamarnya, menyimak hutan yang dipenuhi oleh suara jangkrik. Angin malam yang kencang menghantam kaca jendela sehingga terdengar bunyi kringggk! yang nyaring, disusul dentingan halus seperti kaca yang bergetar keras. "Inilah waktunya." Seizaki berbisik pada dirinya sendiri. Tatapannya terpaku pada jendela yang menghadap ke hutan. Malam ini terasa lebih dingin dari biasanya, seolah angin malam membawa bisikan takdir. Namun, suara dari belakang menghentikan lamunannya. “Kau yakin ingin pergi, Seizaki?” Seizaki menoleh. Di ambang pintu, Kazumi berdiri, anak seumuran dengannya yang selalu ada di sisinya. Biasanya, mata Kazumi penuh semangat saat mereka berbicara tentang dunia luar, tentang keindahan yang hanya bisa mereka baca di buku. Tapi malam ini berbeda. Ada keraguan di sana, sesuatu yang menahan. "Tentu saja," Seizaki menjawab mantap. "Aku ingin melihat dunia diluar pagar panti ini, Kazumi." Seizaki menatap sahabatnya. "Kau sendiri? Tidak ingin ikut denganku?" "Kau yang selalu menceritakan tentang dunia luar. Bukankah kau juga ingin melihatnya?" Ia mencoba terdengar ringan, meski dalam hatinya ada harapan kecil bahwa Kazumi akan berkata ya. Kazumi menggeleng pelan. "Tidak, aku tidak bisa." Suaranya terdengar lirih. "Aku ingin tetap di sini, membantu Kepala Panti dan Mama Anna mengurus anak-anak lain. Lagipula…" Kazumi menunduk sedikit, suaranya melemah. “Aku masih berharap ada keluarga yang datang dan mengadopsiku. Aku ingin tahu bagaimana rasanya memiliki orang tua yang benar-benar menginginkanku.” Seizaki terdiam. Ia memahami perasaan Kazumi, tetapi mereka memiliki impian yang berbeda. Seizaki tidak menunggu seseorang untuk menyelamatkannya. Ia ingin menyelamatkan dirinya sendiri. Sebelum ia bisa berkata lebih jauh, suara langkah kaki terdengar dari lorong. Kazumi dan Seizaki menoleh bersamaan. Di ambang pintu, berdiri seorang pria paruh baya dengan rambut yang telah memutih. Matanya tajam, sorotnya tegas. Dia adalah Pak Hotaru, kepala panti asuhan Asahi House. Pak Hotaru bukan pria yang banyak bicara, tapi semua anak di sini tahu bahwa di balik ekspresinya yang dingin, ada kasih sayang yang tersembunyi. Ia adalah seorang pendeta dengan penghasilan seadanya, yang membagi waktunya antara mengurus panti dan melayani jemaat kecil di gereja tua di desa. Karena kesibukannya, ia jarang berada di panti, tetapi ia memastikan tempat ini tetap berjalan—meski dengan segala keterbatasan. "Jadi, kau benar-benar akan pergi," katanya dengan suara berat. Seizaki menegakkan tubuhnya. “Ya, Pak Hotaru.” Pak Hotaru terdiam sejenak, lalu menghela napas. Ia memasukkan tangannya ke dalam jubahnya dan mengeluarkan sebuah amplop. "Ini sedikit uang. Tidak banyak, tapi cukup untuk beberapa hari pertama." Seizaki terkejut. Ia tahu Pak Hotaru bukan orang yang mudah memberikan bantuan secara langsung. Ia ragu-ragu sebelum akhirnya menerimanya dengan kedua tangan. “Terima kasih, Pak Hotaru. Aku tidak akan menyia-nyiakannya.” Dari balik tubuh Pak Hotaru, seorang wanita perlahan muncul. Wajahnya lembut, matanya penuh kasih. Dia adalah Mama Anna—wanita yang selama ini berperan sebagai ibu bagi semua anak di Asahi House. Mama Anna tidak sekadar pengurus panti. Dialah yang memasak untuk mereka, yang mengobati luka mereka, yang menemani mereka saat mereka takut. Rambut cokelatnya yang mulai beruban diikat rapi seperti biasa, dan senyumnya tetap hangat meskipun matanya berkaca-kaca. "Kau sudah besar sekarang, Seizaki..." katanya lirih, suaranya sedikit bergetar. Seizaki menunduk sedikit. “Mama Anna…” "Aku tidak akan menahanmu," lanjut Mama Anna, suaranya lebih mantap. “Kau punya hak untuk mencari jalanmu sendiri. Aku hanya ingin kau tahu satu hal, Seizaki…” Seizaki menatapnya dengan saksama. "Asahi House akan selalu menjadi rumahmu," lanjut Mama Anna. Seizaki menggigit bibirnya, mencoba menahan emosi yang membuncah di dadanya. Ia bukan tipe orang yang mudah menunjukkan perasaannya, tetapi mendengar kata-kata itu… rasanya begitu berat. "Aku tidak akan pernah melupakan tempat ini, Mama Anna," katanya akhirnya. Mama Anna tersenyum, meskipun air matanya akhirnya jatuh juga. Ia mengusap kepala Seizaki dengan lembut, seperti yang biasa ia lakukan saat Seizaki masih kecil. (To be Continued...)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD