Kenangan Terlarang di Balik Pintu Terkunci

899 Words
Angel mengangkat wajah perlahan, matanya tampak sedikit sembap, tapi ia tersenyum paksa, mencoba menyingkirkan bayangan yang menggantung. "Tadi sampai mana, ya..." gumamnya, pura-pura berpikir sambil mengaduk-aduk sisa nasi di wadah. Kemudian ia menjentikkan jarinya, ingat sesuatu. "Oh iya! Saat Asahi House baru berdiri, kita cuma berempat—aku, kamu, Pak Hotaru... dan Kak Misa." Seizaki menoleh dengan cepat, tapi diam, membiarkan Angel lanjut. "Waktu itu Kak Misa ngajak aku keliling panti. Kami sampai di area belakang, dan di sanalah... kami nemuin gudang itu," lanjut Angel, nada suaranya kini pelan tapi penuh beban kenangan. "Kebetulan pintunya nggak terkunci hari itu. Kami penasaran, dan ya kami pun masuk ke gudang itu.” Ia menelan ludah, lalu menghela napas dalam. "Tapi yang paling aku inget... adalah suara bentakan Pak Hotaru." Suaranya kini menurun drastis, seperti bisikan yang berat. "Hari itu ... untuk pertama kalinya, dan satu-satunya sampai sekarang, aku melihat Pak Hotaru benar-benar marah." Angel menatap Seizaki, serius. "Marahnya... bukan cuma keras. Tapi... dingin. Seperti petir yang datang tanpa hujan. Rasanya... aku nggak bakal lupa seumur hidup." Ekspresi wajah Seizaki menegang. Matanya menyiratkan pemikiran mendalam, mencoba memutar ulang cerita itu di kepalanya. Namun ketegangan itu langsung pecah saat Angel tiba-tiba menyuapkan suapan terakhirnya dengan gaya dramatis. "Nyam nyam... habiissss~!" serunya riang, seperti lupa dengan beban barusan. Ia menoleh ke wadah makan Seizaki yang kini juga kosong. "Seperti biasa ya... kamu tuh makan bersih banget, Seizaki. Nggak pernah ada sisa sebutir pun." Seizaki tersenyum lebar, lalu tertawa kecil. "Hahaha iya, Kak. Aku nggak mau ada makanan yang terbuang. Sayang banget. Aku sangat bersyukur bisa makan sampai kenyang kayak gini." Ia menegakkan tubuhnya, lalu berdiri dari kursinya. "Sini, Kak. Sampahnya biar aku aja yang buang," ucap Seizaki cepat sambil mengulurkan tangan. Tak menunggu persetujuan, ia langsung mengambil wadah bekas makan dari tangan Angel—gerakannya gugup tapi tulus. Angel berkedip, agak terkejut oleh sikap sigap itu, namun tersenyum hangat. "Makasih... kamu baik banget, Seizaki," ujar Angel lembut, suaranya tulus. Seizaki mengangguk cepat, mencoba terlihat santai. Namun pipinya memerah, dan kata-katanya terucap dengan sedikit gugup. "Bu—bukan... bukan masalah besar kok. Cuma buang sampah." "Hahaha!" tawa Angel meledak, ringan dan penuh kemenangan. "Ya ampun, kamu jadi salting gitu? Hahaha, lucuuu!" ejeknya sambil bertepuk tangan. Wajah Seizaki makin merah. Tanpa banyak bicara, ia berbalik buru-buru dan melangkah menyusuri lorong rumah sakit. Angel memandangi punggung Seizaki yang menjauh dengan senyum kecil mengembang di bibirnya. "Seizaki..." panggilnya lirih, nadanya hangat dan penuh makna. Langkah Seizaki langsung melambat. Gerak tubuhnya yang semula normal kini tampak kikuk dan kaku, tubuhnya belum memutuskan apakah harus berhenti... atau terus berjalan. Angel masih tersenyum, mencondongkan tubuh ke depan. "...aku tunggu di dalam, ya. Mungkin Mama Anna dan Pak Hotaru udah selesai ngomong." lanjutnya. Seizaki tetap melangkah tanpa menoleh. Tapi dari gerak dagunya yang sedikit turun, Angel tahu ia mendengarnya. "Ya ... oke." jawabnya pelan. Langkahnya tak lama kemudian berhenti saat matanya menangkap tempat sampah tak jauh di depan. Di dekat situ, ada tanda toilet yang terpampang jelas, serta sebuah vending machine minuman yang berdengung pelan dengan cahaya warna-warni. Di ujung lorong, dua sosok melangkah cepat dengan ritme tegang. Seorang pria dewasa berjas rapi tampak kesal—rahangnya mengeras, langkahnya berat namun tertahan. Di sampingnya, seorang gadis muda berparas cantik berjalan sejajar sambil menggertakkan gigi pelan. Gaun glamor berpotongan elegan membalut tubuhnya, lengkap dengan tas mahal, sepatu heels berkilau layaknya berlian, dan topi bundar berhias renda yang mempermanis penampilannya. Usianya tampak tak jauh dari Seizaki, tapi sorot mata dan gesturnya jelas menunjukkan bahwa ia tumbuh di dunia yang berbeda. Mereka berbicara dengan nada rendah namun ketus, seolah tak ingin percakapan mereka terdengar siapa pun, namun terlalu sulit untuk diredam. Setelah beberapa langkah, pria itu menghela napas keras dan berbalik arah menuju toilet. Sementara gadis itu menghentikan langkah dan menjatuhkan tubuhnya dengan anggun ke kursi panjang yang ada di depan vending machine. Ia menyandarkan punggung, menyilangkan kaki, dan mengedarkan pandangannya ke sekitar lorong. Matanya bertumbuk pada sosok Seizaki yang tengah berjalan mendekat, membawa bungkusan sampah di tangan. Seketika, tubuhnya menegang. Wajahnya terpaku. Bola matanya berbinar tak terkendali. “Kyaaaa... dia ganteng banget. Ya ampun, kenapa aku baru lihat dia sekarang?!” pikirnya histeris dalam diam. Dengan senyum malu-malu, ia menyapu rambutnya ke belakang telinga, lalu memanggil dengan nada selembut kelopak bunga jatuh. "HAI!!" teriaknya dari kejauhan, suara lembutnya memantul di lorong sunyi. Seizaki, yang menyadari sapaan itu, hanya melirik sekilas. Ia membalas dengan anggukan kecil—sopan, namun datar. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia terus melangkah ke tempat sampah. Beberapa detik kemudian, terdengar suara dari dalam toilet yang menggema samar. “Ayo kembali. Tuan Besar akan memarahiku kalau terjadi apa-apa padamu.” Pria berjas tadi melangkah keluar, wajahnya menegang dan sorot matanya langsung mengarah pada gadis yang masih duduk dengan santai. Gadis itu menghela napas panjang, lalu menjawab setengah malas, “Aaa... nggak mau. Aku bosan nemenin Kakak di kamar terus.” “Tapi Tuan Besar menyuruhmu untuk menjenguk Kakakmu, bukan duduk-duduk di lorong,” desak pria itu dengan nada makin serius. “Kalau kamu mau pergi, yaudah pergi aja sendiri,” balas gadis itu, masih dalam posisi duduk, santai tapi menusuk. “Kalau aku pergi, siapa yang jagain kamu? Tugasku kan ngawal kamu ke mana pun,” suara pria itu mulai frustrasi. “Huft... aku cuma mau di sini sebentar. Lagipula, jarang-jarang Ayah izinin aku keluar kayak gini. Aku cuma mau ngerasain ‘jadi orang biasa’, boleh nggak?” (To be Continued...)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD