bc

Jodoh Dari Desa

book_age18+
1
FOLLOW
1K
READ
HE
arranged marriage
kickass heroine
blue collar
drama
small town
secrets
like
intro-logo
Blurb

BlurbMenurut kalian bagaimana pernikahan tanpa cinta?Jalan hidup Nagita Saraswati Andrew penuh drama, gadis kaya nan manja yang selalu hidup mewah dan harus berubah menjadi si miskin tak memiliki apapun.Entah waras atau tidak almarhum ayah dari Nagita menikahi dirinya dengan laki-laki dari Desa. Gita sangat membenci kehidupannya, dia terpaksa melalui pahitnya rumah tangga bersama Ibrahim Dipta Naffatan, atau yang disapa Ibra.Akibat pernikahannya, dia kehilangan segalanya, bahkan sahabat menjauhinya.Gita yang tidak tahan dengan kemiskinan, dia rela meminjam uang dengan jaminan dirinya sendiri. Ibra mengetahui hal itu sangat marah. Uang yang Gita pinjam tidaklah sedikit. Akibat ulah Nagita mereka terpaksa harus kembali ke desa, karena di kota semua orang menghina istrinya. Ibra tak sanggup mendengar hal itu.Melihat kebaikan Ibra Nagita pun mulai ada rasa, namun rahasia besar baru diketahui dan membuatnya marah besar? Dia bahkan meminta cerai. Bagaimanakah Nagita menyakinkan perasaannya? Bisakah Gita dan Ibra bersatu dengan rasa cinta?

chap-preview
Free preview
Bab 1 - Wasiat Dari Ayah
Nagita baru kehilangan sang ayah, dia merasa tidak memiliki siapa-siapa lagi, selain ayahnya. Hati Gita sungguh pilu sambil memeluk makam ayahnya. Kabar buruk pun harus Gita dengar dari pengacara ayahnya. Dia mengikuti arahan dari pengacara, Gita pulang bersama adik dan ibu tirinya. "Wasiat itu pasti salah? Ayah tidak mungkin menyuruhku menikah?" gerutu Nagita. Pengacara ayahnya baru saja membacakan surat wasiat, dia tidak mendapatkan warisan apapun karena ayahnya terlilit hutang, namun sang ayah meminta Nagita menikahi seorang pria bernama Ibrahim Dipta Naffatan, anak dari sahabat ayahnya. Ibra, laki-laki desa yang bekerja sebagai petani, malam harinya Ibra mencari ikan untuk dijual pada pagi hari. "Nagita, tolong ini wasiat ayahmu, kamu harus penuhi. Dan jika kau ragu akan memanggilkan saksi saat Pak Darmawan Andrew membuat surat wasiat." Gita terdiam seketika, belum juga rasa kehilangannya berlalu, sekarang dia harus menanggung beban menikah dengan pria yang sama sekali tidak dia kenal. "Kenapa harus aku?" protes Gita. Bak seorang putri dia mendadak tidak harus membayangkan hidup tanpa rumah istana, tidak ada namanya shopping, hangout, hidup Gita bisa terasa hampa. "Kalau masalah itu lebih baik kamu tanya langsung di kuburan Pak Darma," sahut Arta pengacara dari ayah Nagita. "Gita, kamu harus penuhi wasiat ayah," ucap Sinta ibu tirinya. Tinggal ngomong doang sih enteng. Kenapa nggak anaknya aja yang nikah? Kenapa juga harus Nagita? Ya Allah, miris amat hidup Gita, jika dia bisa memilih, dia minta ayahnya bangkit sebentar untuk menghilangkan wasiat gila itu, lalu boleh deh mati sebentar. "Iya, lagian umur lo udah cukup buat nikah!" "Jangan ikut campur!" bentak Gita pada adiknya. Tahu apa tentang dia pernikahan, Gita dan Nayla memang tidak pernah akur, dari dulu Gita sendiri tidak menyukai anak dari ibu tirinya. "Gita! Jaga bicara kamu, dia itu adik kamu." Gita tertawa miris. "Adik tiri!" ucap Gita tegas. Gita tidak merasa memiliki adik, selama ini mereka memiliki hubungan karena ayahnya, namun sekarang hubungan apalagi. "Boleh saya lanjut lagi?" tanya Arta sembari memegang lembaran berkas milik Pak Darma. "Maaf Arta atas keributan yang terjadi," ucap Sinta. Bukan saja Gita yang harus meninggalkan rumah, tapi Sinta dan Nayla juga. "Silakan Om!" Gita memasang muka melas, telinganya harus siap-siap mendengar ucapan pengacara satu ini. Mungkin saja ayahnya akan buat Gita jantungan setelah ini. "Rumah ini akan dijual untuk membayar hutang pak Darma, dan kalian harus meninggalkan rumah ini besok." Syok! Nagita benar-benar terkejut, dia harus pergi kemana coba, masa harus menguntit ibu dan adik tirinya. "Dan untuk mbak Gita, tuan sudah mempersiapkan rumah untuk tinggal bersama suami mbak nanti." Nagita terduduk, rasanya dia ingin pingsan, Gita nggak sanggup harus menghadapi masalah ini. "Suami? Jadi saya harus menikah dulu?" Arta mengangguk mantap. Tamat sudah kehidupan Gita. Apa dia harus penuhi wasiat sang ayah, tapi jika tidak ayah Gita pasti tidak akan tenang. Dia pun merasa dilema melanda dirinya. *** Menikah bukanlah pilihan Nagita, dia berjalan tertatih ditemani Arta. Gita kembali ke makam sebelum dia bertemu calon suaminya. Kekesalan mulai muncul menatap foto sang ayah yang berada tak jauh dari batu nisannya. "Ayah kok tega sih jodohin Gita, nggak nanya dulu lagi," sungut Gita, meski tahu tidak akan ada jawaban dari kegundahannya. "Gita itu belum siap nikah yah, Gita masih muda masa disuruh nikah. Awas aja calonnya gak kayak ayah." Bagi Gita ayahnya yang terbaik, dan Gita ingin sosok suami seperti cinta pertama dia, siapa lagi kalau bukan ayahnya. "Mbak Gita, kita berangkat sekarang? Saya takut pulang kemalaman." Arta tidak pulang terlalu karena merasa kasihan dengan Nagita, sekarang gadis ini tidak memiliki siapa-siapa lagi. "Sebentar lagi ya." Gita memeluk batu nisan ayahnya dengan erat. "Yah, Gita kangen tau! Gita sedih nggak ada ayah lagi, sekarang nggak ada yang akan mendengar ocehan Gita," ucap Gita. Butiran kecil pun mengalir dari matanya. Kesedihan masih dia rasakan, dia tidak setelah ini hidupnya akan seperti apa, selama ini Gita selalu bergantung hidup dengan ayahya, sekarang tidak ada lagi tempat dia bergantung. Setelah itu Nagita membaca doa untuk ayahnya, lalu dia beranjak pergi dari tempat itu. Dia melanjutkan perjalanannya bersama Arta. "Mas Arta, udah pernah ketemu laki-laki yang mau dijodohkan dengan aku?" tanya Gita saat dalam perjalanan. Arta yang menyetir tersenyum, dia tidak memberitahu tentang calon Gita, karena ia tahu Gita pasti langsung menolaknya. "Belum Mbak! Pak Darma hanya pernah menceritakan sekali," ujar Arta membuat Gita mendesah. Ih masa nggak tau apa-apa, minimal tampangnya deh. "Seriusan Mas Arta nggak tau? Ayah kok tega ya jodohin Gita." Arta terkekeh kecil. "Ih malah ketawa lagi, lagian Gita masih muda, ngapain pake dijodohin, Gita bisa cari suami sendiri." Lagi-lagi Arta terkekeh mendengar ocehan gadis berkulit putih ini. "Pak Darma pasti mau yang terbaik untuk Mbak Gita." Terbaik apanya, dia bahkan nggak yakin mau nikah. Pernikahan itu bukan kayak orang pacaran, Gita nggak nikah lalu cerai, cukup ayahnya yang pernah gagal Gita nggak mau. Nagita sendiri pesimis bisa menerima perjodohan dari sang ayah, sekarang bukan jaman perjodohan lagi. Untuk dijodohkan jika masih cari sendiri, dia juga nggak jelek kok, udah kayak nggak laku tau pake acara dijodohin. Sebuah mimpi buruk datang begitu saja, wasiat yang diberikan ayah dari Nagita membuat gadis ini terpaksa melaksanakan perjodohan ini. Dihari yang sama Gita harus menghampiri jodoh pilihan ayahnya. Dan tak terasa perjalanan mereka menuju rumah pria itu cukup jauh, namun mata Gita terbelalak saat harus memasuki jalan terpencil. "Tempat apa ini Mas Arta?" tanya Gita terheran melihat tempat tersebut. "Desa Mbak," jawab Arta. "Kok kita malah ke desa ya, Mas. Mas Arta nggak salah jalan kan?" Gita terus celinguk kanan kiri secara bergilir, laki-laki seperti apa di desa. Ya Allah, banyak banget dosanya sampai harus dapat calon suami di tempat terpencil seperti ini. "Nggak Mbak! Ini benar kok." Sebenarnya laki-laki model apa yang telah dijodohkan dengannya. Gita sama sekali tidak pernah menelusuri tempat seperti ini, jalanannya becek, tidak gedung mewah, atau sekadar rumah yang layak ditempati. "Mas, Gita nggak bisa nikah sama salah satu dari mereka!" Gita melihat para petani yang dia lewati, pakaian dekil, sebagian tubuhnya dikotori lumpur. "Tapi ini wasiat pak Darma." "Nggak peduli Gita mau pulang! Sekarang juga putar balik!" *** Nagita melirik pria yang ada di hadapannya, dia merasa jijik lantaran penampilannya sangat kotor, celana kain hitam yang sebagian terlapis lumpur, rambutnya acak-acak. "Astaga! Jadi Gita harus nikah sama dia!" Mendengar ucapan Gita, Ibra seolah mengerti, gadis ini yang telah dijodohkan dengannya. "Kamu Nagita?" tanya Ibra. "Iya. Tapi gue nggak mau nikah sama lo! Gue kesini mau batalin semua itu." Ibra tanpa marah membuka pintu rumah yang terbuat dari kayu. "Masuk dulu kita ngobrol di dalam." "Gue nggak mau!" "Lebih baik kita masuk dulu, kita bicara dengan tenang," ucap Arta, sebagai orang kepercayaan pak Darma, dia hanya menuntut Gita hingga pernikahan, namun setelah itu pekerjaan Arta selesai. "Tapi Gita nggak mau nikah sama dia, Mas." Gita berharap ada cara lain untuk membatalkan perjodohan ini, beneran tega ayahnya, masa jodohin Nagita dengan laki-laki beginian, kayak di Jakarta kehabisan stok sampai harus cari di desa. "Kalian mau mi—" "Gak usah! Gue nggak haus." Bahkan lebih baik dia menahan haus, daripada harus minum dari rumah, dia yakin tidak higienis. "Ya sudah. Silahkan duduk!" Gita mendesah kesal. Pria ini kenapa tampak santai, nggak ada tuh muka panik seperti dia. "Gue nggak mau nikah sama lo!" Ibra bersikap tenang tak heran dengan reaksi Gita yang menolaknya. "Tapi saya tidak bisa menolak, karena ini wasiat. Saya tidak mau pak Darma tidak tenang, karena penolakan kita," ucap Ibra membuat Gita ternganga tak percaya. Kepala Gita merasa mendidih tak karuan, dia ingin sekali mencakar-cakar muka pria ini, keputusannya bisa membuat hidup Nagita hancur. Bagaimana tidak? Gita sama sekali tidak siap untuk menikah, meski umurnya cukup matang tapi mental sungguh tersiksa. Gita sudah merasa gerah, dia terpaksa duduk atas kursi yang tak layak, apalagi hanya terbuat dari kayu biasa, rumahnya juga sangat sempit membuat Nagita terus mengeluarkan keringat dari dahinya. "Boleh saya bicara?" Dengan suara bass Ibra berkata dengan sopan, dia duduk berhadapan di depan Nagita. Wanita itu hanya menatap sinis Ibra. "Lo punya mulut kan? Ya udah tinggal ngomong kok susah," ketus Gita. Arta sampai tak habis pikir dengan sikap anak dari almarhum bosnya ini. "Saya tahu kamu pasti keberatan kita menikah, tapi ini wasiat. Kamu nggak mau kan buat pak Darma kecewa?" Gita menggeleng. Tentu saja tidak, selama ini dia belum pernah membuat ayahnya bahagia, sampai waktu menghembuskan nafas terakhir, dia masih sibuk dengan urusan tidak pentingnya. Gita menyesal tidak merawat ayahnya saat-saat terakhir. "Kalau kamu nggak keberatan kita nikah KUA, setelah itu kamu bisa tinggal bersama saya di sini!" lanjut pria itu. "Maksudnya setelah menikah kita tinggal di rumah ini?" Nggak punya otak ini orang, masa tinggal rumah yang lebih besaran kamarnya. Nagita seharusnya berpikir seribu kali untuk menikah, tapi wasiat dari ayahnya membuat Gita merasa dilema. Miris sekali jika dia harus tinggal di sebuah desa terpencil, kehidupannya akan berubah 180 derajat. Tidak bisakah satu orang saja menolong dirinya dari masalah ini. "Iya." "Gue nggak mau." "Baik aku akan ikuti mau kamu," ucap pria itu. Ibra sadar menikah bukan perihal menyatukan dua orang menjadi satu, tapi tentang kesetiaan, saling mengerti, menyatukan dua keluarga sedangkan mereka tidak saling mengenal. Sebelum pak Darma meninggal, pria itu menitipkan Gita pada Ibra, bahkan tanpa basa-basi meminta menikahi Nagita, padahal saat itu Ibra belum jawab, namun demi membayar hutang budi dia akan tetap menikahi Nagita. Tidak ada rasa tertarik pada gadis manja seperti Nagita, bahkan dia terpaksa membuang jauh perasaan pada salah satu wanita desa ini. Tanpa Ibra sadari Nagita tengah memperhatikan wajahnya, Gita ingin bicara namun enggan. Laki-laki ini tampak tampan, gagah, namun penampilan tidak enak dipandang. Terlalu standar untuk kriteria Nagita, dia pun mengalihkan pandangan tersadar pria ini melihatnya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
13.6K
bc

My Secret Little Wife

read
98.7K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.2K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook