BAB 2 - Rumah Baru Dan Angan Yang Kembali Ke Masa Lalu

1375 Words
Kepindahan itu sendiri, bahkan tidak sampai menggemparkan penduduk sekitar yang kini sudah berkembang pesat dibandingkan dahulu. Di masa kedatangan pasangan suami istri tersebut dua puluh tahun lalu, tempat itu belumlah menjadi sebuah perkampungan. Mereka yang menetap disitu, hanyalah merupakan sekelompok penduduk yang berjumlah tak lebih dari sekitar lima belas kepala keluarga saja. Kini; meskipun masih tetap memiliki akses terbatas, namun jumlah penduduknya telah berkembang menjadi sekitar seratusan keluarga. Joko Putranto adalah salah satu pioner yang telah berhasil membuat kampung tersebut menjadi maju seperti sekarang ini. Kedatangan mereka dulu, telah membawa kemajuan yang berarti untuk kemakmuran serta kesejahteraan. Hari itu mereka berpamitan, bukan sebagai keluarga yang akan selamanya pergi meninggalkan tempat tersebut. Sang ayah hanya mengatakan jika mereka telah memiliki sebuah tempat tinggal lain, yang akan ditempati secara bergantian dengan rumah lama. Sejatinya mereka tidak benar-benar pindah, melainkan tetap menjadi anggota masyarakat setempat. Alasan lebih sederhananya adalah, saat ini mereka memiliki sebuah persinggahan lain agar lebih mudah mengakses pendidikan bagi sang anak. Karena, rumah yang ada di desa beserta semua lahan pertaniannya akan selalu disambangi secara berkala. Walaupun, sebenarnya  Joko Putranto juga sudah memiliki petani penggarap yang diserahi tanggungjawab untuk menjaga dan mengerjakannya. ***  “Wah ... ayah dan ibu sama sekali belum pernah bercerita kalau memiliki rumah sebagus ini,” demikian komentar Lintang sambil memandang kagum pada rumah barunya. Mereka sudah bisa berbincang santai setelah para tetangga dari desa yang mengantar kepindahan telah meninggalkan tempat itu. Keluarga tersebut memang tidak mau terlalu repot membawa barang-barang perabotan, karena rumah baru  memang sudah dilengkapi dengan semua perlengkapan rumah tangga. Hanya barang-barang pribadi termasuk buku-buku pelajaran dan benda-benda penting saja yang mereka angkut ke tempat tinggal sekarang. “Ha-ha ... ini kejutan untuk kalian, sayang ... dan lihatlah, semua adalah merupakan tabungan yang didapatkan dari hasil hutan serta bertani selama berpuluh tahun,” jawab sang ayah dengan bangga. “Wooww ... semua ini dibeli dari hasil pertanian kita?” tanya sang adik dengan heran. “Tentu saja tidak semuanya. Sebagaian berasal dari hasil simpanan Bunda, juga tabungan mata uang asing semasa ibumu remaja.” “Wahhh ... Bunda hebat. Aku mau rajin nabung biar bisa seperti Bunda nanti ... hi-hi ...,” demikian komentar si gadis remaja sambil tertawa ceria. Sang Ibu hanya menanggapi dengan senyum penuh misteri. Karena saat itu juga, mendadak ia seperti diingatkan kembali tentang asal-usul darimana dirinya datang. “Terima kasih, ayah ... Bunda. Kalian adalah yang terbaik bagi kami. Sekarang, kita jadi memiliki tempat tinggal yang lebih dekat dengan apa yang dibutuhkan saat ini.” “Itulah yang kami cita-citakan. Ayah dan Bundamu memang menginginkan semua yang terbaik bagi kalian. Semoga dengan berpindahnya kita ke tempat ini, kalian bisa menuntut ilmu dengan lebih mudah lagi. Dan tentu saja, komunikasi dengan Bagas akan lebih lancar nantinya.” “Iya, Yah ... walaupun Bagas pasti akan sangat merindukan tempat lama kita,” Jawab si anak sulung. “Kita tidak kehilangan tempat itu, karena sampai saat ini masih menjadi milik kita juga. Dan, ayah akan selalu berada di sana walau tak setiap hari. Kamu juga, tentunya akan menyempatkan diri ke sana bila sedang liburan.” “Tentu saja, Ayah ... dimana lagi tempat terbaik untuk bisa menggunakan senapan jika bukan di sana?” “Ha-ha-ha ... benar juga katamu. Dan, ayah akan mengakui secara jujur serta jantan. Kemampuan menembakmu, jauh lebih baik dibandingkan ayah yang katanya dulu adalah orang terbaik dalam menggunakan senapan penembak jitu,” Jawab sang ayah dengan bangganya. “He-he ... ayah terlalu merendah. Yang terbaik adalah ayah ... karena dari sang ahli, Bagas bisa mempelajari semua tehnik terbaik,” jawab si anak dengan nada bangga yang tak ditutupinya. --- Keempat  orang dalam keluarga itu, terus saling berbicara saat melepas penat akibat kepindahan hari ini. Sambil mengamati sekitar rumah yang memiliki halaman cukup luas, mereka juga belajar untuk menyesuaikan diri dengan suara keramaian kendaraan yang lalu lalang di depan tempat tinggal sekarang. Jika di tempat lama begitu sunyi sepi dan damai, sepertinya malam ini mereka akan sulit tertidur akibat bising suara mesin-mesin kendaraan beserta klaksonnya yang sering membuat kaget. Joko Putranto sendiri tidaklah begitu terpengaruh dengan suasana seperti itu. Karena selama ini, ia sudah terbiasa mencair bersama penduduk kota kecil yang kini mejadi tempat tinggal mereka. Tanpa ada manusia lain yang menyadari, sosok yang selama ini secara tetap mengunjungi kota, adalah seseorang yang dengan cermat selalu mengawasi kemajuan serta perkembangan jaman. Untungnya, semua tindakannya selama itu selalu dianggap wajar oleh orang-orang yang ditemui. Karena bila ada yang mengamati dengan cermat, tentu saja akan menjadi heran saat melihat seorang paruh baya yang gemar sekali mengunjungi rental internet di kota tersebut. Tujuan berbaurnya laki-laki yang kini menginjak usia sekitar pertengahan abad tersebut, adalah untuk mengamati serta selalu belajar mengikuti perkembangan berita dan jaman. Jika dahulu ia hanya memiliki kemampuan sebatas pengetahuan basis terkait pengkodean komputer, saat ini orang tak mungkin menduga akan keahlian sang lelaki setengah baya itu terkait akses internet dan pembobolan data rahasia. Jaman boleh berubah, namun kemampuan yang terus diasah dengan baik dengan mengambil cara yang benar, pasti akan mebuahkan hasil yang tak mengingkari usahanya. Demikian juga dengan orang ‘buangan’ satu ini;  yang mungkin setelah sekian lama, sekarang sudah dilupakan oleh para ‘pendidiknya’ pada masa dahulu. *** Semenjak kecil, orang memangilnya denngan sebutan : Surya Kelana, sebuah nama yang diberikan kepadanya entah oleh siapa ... Anak lelaki tampan dan pendiam semenjak ia dilahirkan itu, tinggal dan hidup bersama dengan puluhan anak lain di dalam sebuah panti asuhan. Sebuah kehidupan keras bagi seorang bocah yang telah dipaksa untuk tidak mengenal kasih sayang orangtua semenjak bayi. Waktu berputar, dan perjalanan telah membawa si yatim piatu itu hingga menyelesaikan masa sekolah dengan predikat sangat memuaskan. Selulus dari sana, ia bergabung dengan kesatuan elite militer. Namun karena jalannya nasib, ia direkrut secara rahasia oleh sebuah lembaga tak bernama yang memiliki tujuan mulia. Tentu saja, untuk turut serta mempertahankan eksistensi tumpah darah bagi semua anak bangsa. Disitulah, karir Surya Kelana menjadi sedemikian gemerlap dan maju pesat. Berbagai sekolah yang mengajarkan keterampilan senjata serta bahan peledak, sabotase, intelejen maupun kontra intelejen dan semua yang membutuhkan kecerdasaan tinggi; telah ia ikuti dengan sedemikian baik dan mengesankan. Hingga akhirnya, sebuah pergolakan telah memanggil dirinya bersama sembilan orang pemuda yang menjadi tanggungjawabnya. Perintah resmi, mereka terjun dengan cara menyusup dan mencair bersama penduduk setempat untuk melakukan mata-mata sebagai aksi penangkal semua potensi kerusuhan yang mungkin saja terjadi. Lalu ... semua berjalan dengan begitu cepat. Sebelum ia sendiri menyadari, situasi telah menjadi chaos dan tak terkendali. Dan akhirnya, semua kekacauan tersebut telah menghilangkan jiwa kesembilan anak buahnya. --- Ingatan Surya Kelana kembali pada masa lalu, DUAPULUH TAHUN SILAM ... Dengan lebih waspada, ia melangkah sambil merunduk di tengah kegelapan malam. Setiap jejak kaki ia perhitungkan dengan matang agar tak menimbulkan suara jika mengenai sesuatu yang tak terlihat dalam kegelapan itu. Perlahan, ia menuju sebuah titik yang sudah dihapalnya sebagai akses keluar tercepat dan termudah.  Membawa sebuah beban benda yang cukup berat, memang menjadi satu kesulitan tersendiri untuk tetap menjaganya agar bisa melakukan gerakan cepat dan ringan. Mata Surya Kelana fokus pada semak-semak yang menutupi terowongan jalan keluar agar bisa segera mengetahui jika ada hal yang mencurigakan di sana. Hingga  saat ia hampir tinggal setindak untuk  menerobos menuju pagar belakang area bangunan mangkrak itu, semua terlihat baik-baik saja. Sampai akhirnya ... dari belantara semak yang menyamarkan keberadaannya, ia bisa melihat kembali penerangan lampu jalan di depan sana. Dan semua yang didapatinya kini, ternyata persis dengan yang ia bayangkan semula. Di pinggir jalan, ia melihat satu kendaraan militer terparkir berjajar dengan sebuah mobil ambulance. Tempat itu memang sudah dijaga, meskipun tidak terlalu ketat dan kentara. Untuk sementara itu, ia hanya melihat seorang laki-laki berbadan gempal berdiri tak jauh dari pagar yang menghalangi mereka. --- Saat ia akan melangkah untuk keluar dari kegelapan ... tiba-tiba saja, “Ohhh ... jangan ... aah mmmfffftt ...” ia mendengarkan suara teriakan seorang wanita yang lalu terdiam saat sebuah suara lain membentaknya. “Diam ... atau kamu akan kubunuh!” demikian seorang lelaki membentak.     Mendapati satu hal janggal yang ada di dekatnya, lelaki misterius berbaju gelap itu segera meletakkan barang bawaannya. Kembali ia mengendap-endap untuk mendekati gerakan-gerakan bayangan hitam yang nampak sekilas di balik pagar tertutup tanaman perdu, persis di sebelah pagar roboh yang merupakan jalan darurat yang akan dipergunakan dirinya untuk keluar. ***   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD